Bersama Gereja sejagat, hari ini kita memasuki hari Minggu Paskah IV dalam kalender Liturgi Tahun B/II. Oleh Gereja Katolik, hari Minggu ini ditetapkan sebagai Hari Minggu Panggilan Sedunia yang ke-61.
Bertepatan dengan perayaan Minggu Panggilan Sedunia ini, Gereja Katolik menempatkan bacaan-bacaan suci yang bertitik fokus pada refleksi tentang panggilan utama para pengikut Kristus, yakni menjadi pelayan bagi sesama atau dalam bahasa Injil hari ini, panggilan menjadi “gembala” bagi sesama yang lain.
Barangkali muncul pertanyaan dalam benak kita, bagaimana menjadi gembala bagi sesama? Apa maksud menjadi “gembala” itu? Bertolak dari keseluruhan narasi bacaan suci hari ini, sekurang-kurangnya kita dapat menemukan dua jawaban ini.
Pertama, panggilan menjadi “gembala” berarti bersiap sedia menjadi pribadi yang responsif. Artinya punya kemampuan untuk selalu peduli pada rintihan dan keluh-kesah sesama terutama mereka yang berkekurangan dan yang sedang menderita.
Dalam bacaan I, yang diambil dari Kitab Kisah Para Rasul, kita mendengar kesaksian Rasul Petrus yang telah melakukan karya pelayanan yakni menyembuhkan seorang lumpuh. Meski mendapatkan tantangan yang tidak sedikit seperti kritikan, cemoohan dan bahkan teguran keras dari Mahkamah Agung agama Yahudi, Petrus tetap pada komitmennya untuk melakukan kebaikan kepada sesama terutama seorang yang lumpuh.
Keberanian Rasul Petrus untuk mengambil bagian dalam usaha membebaskan atau menyembuhkan si lumpuh anonim (tak bernama) hendak memperlihatkan kepada kita bahwa ia adalah seorang pribadi yang responsif. Petrus benar-benar tanggap dan peduli pada orang yang menderita dan yang membutuhkan pertolongan, tanpa menghiraukan pihak-pihak yang menghalangi dirinya. Ini tentu membutuhkan komitmen yang kuat.
Sebab terkadang dalam kenyataan hidup zaman ini, ada begitu banyak orang yang tidak bertahan dalam usaha untuk melakukan kebaikan demi kesejahteraan orang lain. Yang terjadi adalah orang lain sering kali dijadikan sebagai tumbal untuk kepentingan privat dan demi meraup profit sebesar-besarnya.
Kebanyakan orang lebih sering tergoda dalam apa yang disebut sebagai konflik kepentingan. Demi kepentingan pribadi dan keluarga, sesama yang lain, entah sesama manusia maupun alam lingkungan dengan sangat mudah dijadikan objek pemuasan hasrat atau ambisi pribadi.
Dari kesaksian Rasul Petrus, kita kemudian mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang panggilan menjadi “gembala”. Bahwasanya, menjadi seorang gembala berarti berani meninggalkan ego sektoral atau sentimen primordialisme demi kebahagiaan dan keselamatan semua orang. Karena itu, kita perlu belajar dari Rasul Petrus untuk selalu menjadi pribadi yang mau peduli dengan kebutuhan sesama dan bukan pura-pura tuli apalagi menutup diri terhadap sesama yang menderita.
Usaha untuk menolong sesama tidak harus ketika kita sudah punya segala sesuatu atau hidup mapan. Dalam hal-hal yang paling kecil dan sederhana pun kita mestinya harus peduli dengan sesama, misalnya meluangkan waktu untuk mengunjungi saudara yang sakit atau menghibur mereka yang berduka.
Paus Fransiskus dalam sebuah audiensinya di Basilika St. Petrus pada medio Oktober 2019, pernah menegaskan bahwa bencana kemanusiaan yang sering kali melanda kehidupan kita saat ini sebetulnya bukan karena faktor dari luar diri manusia, tetapi justru karena orang tidak mau peduli dengan sesama. Sikap tidak peduli itulah yang menjadi akar dari semua ketidakadilan di segala sektor kehidupan manusia.
Kedua, panggilan menjadi “gembala” berarti berani mengorbankan diri demi keselamatan sesama. Tentang hal ini, kita perlu belajar dari Yesus, Sang Guru agung kita.
Dalam narasi Injil hari ini, Yesus dengan tegas katakan: “Aku-lah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh. 10:11). Dalam dan melaui perkataan-Nya ini, Yesus sesungguhnya ingin menggarisbawahi tentang pentingnya semangat pengorbanan. Orang yang mencintai pekerjaan dan tugas pelayanannya mesti mampu mengorbankan diri demi kebaikan semua orang yang dilayani.
Yesus sendiri telah menunjukkan hal itu. Ia rela menderita sengsara dan bahkan wafat di Kayu Salib untuk menjadi tebusan bagi banyak orang, Ia rela mengorbankan diri-Nya: tubuh-Nya yang kudus rela dicabik-cabik, dan darah-Nya yang suci rela tertumpah dari atas kayu salib. Semuanya itu dilakukan Yesus demi keselamatan kita umat manusia dari genggaman dosa dan maut.
Mari kita belajar dari pola dan gaya hidup Yesus, yang senantiasa rela terluka demi kebahagiaan sesama. Kita dipanggil untuk menjadi “gembala” yang mampu memberikan diri kita demi kebaikan semua orang, mampu menuntun sesama kepada jalan yang benar sesuai dengan kehendak Tuhan sendiri. Ini tentu tidak mudah. Butuh komitmen yang kuat. Namun, itu tidak berarti kita menyerah dan kalah. Kita mesti selalu berusaha dan terus berjuang.
Kalau usaha untuk menjadi “gembala” cukup sulit bagi kita, minimal berjuanglah untuk tidak membuat orang lain sulit menggembalakan kita. Jika kita tidak mampu menjadi “gembala” yang menuntun sesama, sekurang-kurangnya berjuanglah untuk tidak mencerai-beraikan sesama atau merusak kerharmonisan keluarga, komunitas atau di manapun kita berada. Hanya dengan cara demikian, kita dapat menjadi tanda dan sarana kasih Allah bagi sesama.
Ardus Endi, imam Keuskupan Ruteng-Flores. Saat ini berkarya sebagai formator di Seminari Menengah Petrus van Diepen, Sorong.
Komentar