Bersama segenap umat beriman di seluruh dunia, pada hari ini kita merayakan Hari Minggu Palma, atau sering juga disebut Hari Minggu Daun-Daun. Mengapa disebut demikian? Secara sederhana, karena kita semua datang misa dengan membawa daun palma di tangan. Agak beda dengan hari-hari minggu lainnya. Perayaan hari ini mengantar kita semua untuk merenungkan kembali peristiwa yang terjadi pada 2000-an tahun silam, di mana Yesus, Sang Guru Agung memasuki kota Yerusalem.
Dalam kebiasaan masyarakat Yahudi zaman itu, setiap raja yang datang harus disambut dengan penuh sukacita dengan mengangkat daun di tangan dan ini menjadi pesta besar. Masyarakat Yahudi menyebut hari raya ini sebagai Hari Raya Pondok Daun. Dan, Yesus datang sebagai Raja, Dia adalah Mesias karena itu Ia disambut dengan penuh sukacita dan sorak-sorai oleh masyarakat Yahudi dengan menyorakkan seruan: “Hosana Putera Daud! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan. Hosana di tempat yang maha tinggi” (Mrk. 11:9-10). Seruan itu disorakkan sambil melambaikan daun-daun Palma di tangan, bahkan ada juga yang menghamparkan pakaian di jalan.
Kenyataan ini mau memperlihatkan kepada kita bahwa kehadiran Yesus sebagai Mesias sejati sungguh dinantikan dengan penuh rindu oleh semua orang. Kiranya, kita juga punya perasaan dan kerinduan serta sukacita yang sama untuk bertemu Yesus. Dan karenanya kita datang dengan membawa daun palma di tangan untuk menyambut Yesus, Sang Mesias Sejati. Sebagaimana orang banyak menyambut Yesus di gerbang Yerusalem dan menatang Yesus masuk kota itu, semoga kita juga segera membuka pintu gerbang hati kita agar Yesus dapat masuk dan tinggal di dalam hati kita dan menjadikan hati kita sebagai istana cinta-Nya.
Sambil bersukacita dalam pesta penyambutan Yesus, Putra Daud, kita diajak secara bersama-sama merenungkan bacaan-bacaan suci hari ini. Inti terdalam dari seluruh pewartaan dan misteri perayaan hari ini adalah ajakan bagi kita menjadi “Sarana Belas Kasih Allah” atau dalam bahasa Injil hari ini, menjadi “Keledai tunggangan Yesus”. Hal ini terungkap jelas dalam bacaan Injil di mana Yesus, Sang Raja Daud memilih dan menjadikan keledai sebagai sarana tunggangan-Nya untuk masuk kota Yerusalem.
Keledai adalah simbol diri sekaligus sebagai pesan bagi kita untuk berani menjadikan seluruh diri kita dengan semua organ di dalamnya sebagai sarana untuk melakukan kebaikan Allah bagi sesama. Sama seperti seekor keledai memberikan dirinya untuk dipakai Yesus menjadi tunggangan-Nya, kita pun diundang untuk terus mengantar atau lebih tepatnya menghadirkan Yesus kepada semua orang dan mengantar semua orang kepada Yesus.
Ungkapan menjadi “Keledai tunggangan” dalam konteks bacaan hari ini berarti menjadi bentara; menjadi jembatan; menjadi penyalur berkat bagi sesama. Hal itu dapat kita tunjukkan melalui tutur kata, pola pikir, sikap, dan tingkah laku kita setiap hari. Barangkali muncul pertanyaan dalam benak kita bagaimana upaya kita agar seluruh diri kita menjadi sarana belas kasih Allah bagi sesama?
Bila kita menyimak bacaan I dan II, kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Dalam bacaan I, Nabi Yesaya secara jelas menyebut dua organ penting dalam tubuh kita, yakni lidah dan telinga.
Pertama: lidah. Tanpa lidah kita tidak dapat mengecap rasa pada makanan; tanpa lidah juga kita tidak dapat melafalkan kata atau mengucapkan kalimat dengan jelas.
Bacaan suci hari ini mengajak kita agar lidah kita dapat menjadi sarana belas kasih Tuhan. Karena itu, kita mesti menggunakannya sebaik-baiknya demi kebaikan sesama, seperti terus memotivasi dan memberikan peneguhan kepada orang lain, mendoakan sesama, dll. Bukan malah sebaliknya. Tentang hal ini, Nabi Yesaya mengatakan, “Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataanku aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu” (Yes. 50:4). Mari kita pakai lidah dan mulut kita untuk hal-hal yang baik. Sebagaimana hari ini kita menyoraki seruan pujian: HOSANA PUTRA DAUD untuk menyambut Yesus, Sang Mesias Sejati, dalam relasi dengan sesama juga kita mesti pakai lidah dan mulut kita untuk terus memotivasi dan memberi semangat kepada orang yang letih lesu, seperti yang dikatan Nabi Yesaya.
Kedua: telinga. Nabi Yesaya juga menyinggung tentang telinga. Telinga kita ada dua, lebih dari jumlah lidah. Nah, muncul pertanyaan, kenapa telinga ada dua dan dipasang bagian kiri dan kanan, sedangkan lidah dan mulut hanya satu? Barangkali Allah ingin menyadarkan kita agar lebih banyak meluangkan waktu untuk mendengar daripada menghabiskan banyak waktu dengan berbicara, apalagi menyangkut hal-hal yang kurang baik atau hoax. Jika sering mendengar, kita banyak menampung pengetahuan. Namun, jika suka berbicara, kita jadi sibuk memboroskan tenaga.
Kalau kita perhatikan bentuk telinga kita, jika dua telinga disatukan akan membentuk lambang love, cinta. Pesannya untuk kita adalah agar ketika kita mendengarkan orang, kita mendengarkan dengan cinta, penuh perhatian dan sungguh mendengarkan dengan hati yang tulus. Simpati dan sikap belarasa justru muncul ketika kita mendengar dengan tulus hati dan penuh cinta. Persis inilah yang dimaksudkan Nabi Yesaya dengan mengatakan: “Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid” (Yes. 50:5).
Ketika kita menggunakan lidah dan telinga kita dengan baik, maka di sana kita hadir sebagai sarana belas kasih Allah bagi sesama atau keledai tunggangan Yesus. Karena kata-kata yang keluar dari mulut kita selalu menghadirkan berkat dan penghiburan bagi banyak orang dan bukan luka dan derita. Demikian juga dengan telinga kita, kita mendengarkan dengan hati dan tulus ikhlas. Persis inilah yang menjadi spirit keledai yang dimaksudkan tadi di mana kita bijaksana dalam bertutur kata dan rendah hati dalam mendengarkan dan siap melaksanakan tugas tanpa berontak.
Konsep diri sebagai sarana belas kasih Allah itu mesti sama seperti yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri, Sang Guru Agung kita. Yesus datang ke dunia bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang. Tentang hal ini, Rasul Paulus dalam bacaan II menulis dengan amat jelas: “Yesus Kristus telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan Diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu Salib” (Flp. 2:7-8).
Di sini kita melihat spiritualitas pengorbanan Yesus. Ia rela menderita dan bahkan sampai wafat di kayu salib demi keselamatan kita. Sama seperti Yesus, kita diajak menjadikan seluruh diri kita sebagai sarana atau alat di tangan Tuhan untuk menghadirkan Kerajaan Allah atau kerajaan kasih di dunia ini. Singkatnya, kita diajak untuk senantiasa melayani sesama. Motivasi untuk melayani mesti didasarkan pada kesadaran bahwa Allah telah lebih dahulu melayani kita bahkan memberikan nyawa-Nya demi kita. Ketika kita mengalami bahwa Allah telah dengan leluasa melayani kita, maka kita pun pada gilirannya mesti dengan leluasa melayani sesama tanpa batas dan tanpa pandang bulu.
Semoga Sabda Tuhan hari ini terus menginspirasi kita untuk selalu menjadi sarana belas kasih Allah bagi sesama, baik lewat tutur kata, sikap maupun tingkah laku kita setiap hari. Semoga setiap tutur kata kita tidak menimbulkan luka dan mendatangkan derita bagi sesama, melainkan berkat dan penghiburan. Demikian pula sikap dan tingkah langkah kita, semoga mampu memancarkan kasih Kristus yang berdaya menyelamatkan sesama dan bukan menyesatkan.
Daun palma adalah simbol kedamaian dan sukacita, maka ketika kita membawa pulang ke rumah daun palma yang kita pegang dalam Ekaristihari ini, kita juga mesti membawa pulang sukacita, kedamaian dan berkat Tuhan untuk dibagikan kepada sesama. Hanya dengan cara demikian, kita hadir sebagai berkat bagi sesama, sebagai keledai tunggangan Yesus.
RD Ardus Endi, imam diosesan Ruteng, Flores. Saat ini bermisi sebagai formator di Seminari Menengah Petrus van Diepen, Sorong.
Komentar