Pastor Markus Solo, SVD, imam asal Flores yang kini bertugas di Vatikan, berbincang-bincang dengan salah seorang tokoh Muslim moderat terkemuka asal Indonesia, Sumanto Al Qurtuby, yang kini berada di Arab Saudi melalui Zoom pada 15 Juli lalu.
Dalam unggahan di Twitter-nya, imam yang biasa disapa Padre Marco itu menulis bahwa rencana awal hanya ngobrol selama 30 menit, tapi kemudian sampai satu setengah jam. “Vatikan dan Arab Saudi bertemu lewat orang-orang Indonesia. Banyak titik temu, satu perjuangan, satu visi dan misi: menuju masyarakat dunia yang lebih human dan religius,” tulisnya.
Usai pertemuan itu, Qurtuby rupanya menulis kesannya lewat Facebook baik tentang topik obrolan dengan Padre Marco, pengalaman perjumpaannya dengan orang-orang Katolik dan prediksinya tentang relasi agama-agama di Arab Saudi. Berikut adalah tulisannya, dengan perubahan redaksional seperlunya:
Beberapa hari lalu saya mendapat email dari seorang pastor Indonesia yang sudah 14 tahun bertugas di Dewan Kepausan Vatikan untuk Dialog Antarumat Beragama atau Pontifical Council for Interreligious Dialogue.
Pastor itu bernama Markus Solo, SVD (biasa disapa Padre Marco) yang berasal dari Flores. Konon, dalam sejarahnya, Romo Markus merupakan satu-satunya pastor dari Indonesia di Vatikan. Dalam email itu, ia minta kesediaan saya untuk ngobrol via Zoom. Ajakannya saya iyakan. Maka, ia pun mengirim link Zoom dengan judul, Vatican and Saudi Arabia in Dialogue through Indonesia.
Kami bicara panjang-lebar selama sekitar 1,5 jam tentang banyak hal: tentang sejarah dan geo-kultural Arab Saudi dan Arab Teluk (Gulf), situasi keagamaan dan relasi antaragama di Indonesia dan Arab Saudi, hingga program-program yang diadakan oleh lembaganya di Vatikan.
Di antara program itu adalah berbagai aktivitas yang berkaitan dengan dialog antaragama maupun pembangunan perdamaian seperti konferensi, seminar, workshop, dlsb.
Salah satu program yang menarik adalah semacam workshop atau short course selama kurang lebih enam bulan di Vatikan yang melibatkan peserta dari berbagai agama di berbagai penjuru dunia.
Workshop ini dimaksudkan selain memperkenalkan seluk-beluk agama Katolik juga dalam rangka untuk mempererat jalinan silaturahmi antarumat agama serta meminimalisir kesalahpahaman dan memperkuat kesalingpemahaman antarkelompok agama.
Tujuan akhirnya tentu saja terciptanya iklim perdamaian dan harmoni di masyarakat yang dilandasi oleh semangat respek dan toleransi.
Dalam kesempatan itu, Romo Markus juga meminta kesediaan saya kalau suatu saat diminta menjadi narasumber konferensi, seminar, workshop atau diundang ke Vatikan. Kalau aktvitas yang berkaitan dengan dialog agama-agama atau peacebuilding saya oke-oke saja dilibatkan.
Belum lama ini saya juga diminta menjadi salah satu “penasehat” sebuah film dokumenter tentang perdamaian Muslim-Kristen yang diprakarsai oleh sekelompok aktivis perdamaian dan sutradara dari Amerika, Kanada, Palestina dan lainnya.
Perjumpaan saya dengan umat Katolik khususnya bukan hal baru. Dulu, saya bersama almarhum Romo Pujo (Pujasumarta), mantan Vikjen dan Uskup Agung Semarang, banyak melakukan kegiatan kemanusiaan, diskusi, dan dialog antaragama, baik di keuskupan, seminari, gereja, maupun institusi-institusi publik milik umat Islam: kantor ormas, kampus, masjid, pesantren, dlsb.
Oleh karena itu ketika Romo Pujo wafat saya sangat kehilangan sekali karena sudah seperti “auliya” atau “teman plek” (sohib dekat). Itulah sebabnya dulu saya sempatkan berziarah ke makamnya di Kentungan, Yogyakarta, yang makamnya bersebelahan dengan makam Romo Mangun, seorang romo, aktivis, sarjana, dan penulis cemerlang di zaman Orde Baru, yang juga sahabat karib Gus Dur.
Dalam obrolan dengan Romo Markus itu, saya memperkenalkan temanku dulu saat kuliah di Virginia yang bernama Romo Paulus Rahmat, yang ternyata Romo Markus juga mengenalnya. Dengan Romo Paul dulu saya juga banyak diskusi. Romo Paul juga sering mengundang saya untuk acara-acara ngobrol dan makan-makan dengan teman-teman Katolik di Virginia.
Tak lupa, Romo Markus juga menanyakan tentang prospek hubungan antaragama di Arab Saudi.
Dalam hal relasi antaragama ini ada beberapa perkembangan menarik dan signifikan di Arab Saudi. Tahun 2007, mendiang Raja Abdullah (kakak Raja Salman) melakukan pertemuan bersejarah dengan Paus Benediktus XVI. Tahun berikutnya, beliau mengundang berbagai sarjana dan tokoh agama dari berbagai negara untuk melakukan pertemuan antaragama di Makah.
Raja Abdullah, bersama pemimpin dari Austria dan Spanyol, kemudian kelak (pada 2012) turut memprakarsai pendirian King Abdullah International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue, sebuah organisasi antarpemerintah yang bermarkas di Vienna, Austria, yang bergerak di bidang dialog dan perdamaian antaragama.
Pada tahun 2017, Raja Salman (dan Putra Mahkota MBS) juga mengadakan pertemuan khusus di Riyadh dengan pemimpin tertinggi Gereja Maronite Lebanon, Patriarch Bechara Boutros Al-Rahi. Dan pada tahun 2018, Raja Salman juga mengadakan pertemuan di Riyadh dengan Kardinal Jean-Louis Tauran (bersama delegasi), Ketua Pontifical Council for Interfaith Dialogue, Vatikan, tempat dimana Romo Markus bekerja. MBS juga banyak melakukan pertemuan dengan para tokoh agama di Inggris, Amerika dan lainnya.
Berbagai pertemuan para elit Saudi dengan tokoh-tokoh agama (khususnya Kristen) tersebut tentu saja akan berdampak cukup penting nantinya dalam hal relasi antarumat agama di Arab Saudi.
Pelan tapi pasti, saya memprediksi agama-agama diluar Islam akan mendapat tempat yang layak di Arab Saudi seperti tetangganya di kawasan Teluk: Bahrain, Oman, Kuwait, dan Uni Emirat Arab.
Syarat membangun hubungan harmoni antarumat agama itu gampang sebetulnya: kelompok bigot fanatikus agama (dan politikus rasis) harus “diruwat” dan “disebul” dulu pakai “kemenyan Semar Bodronoyo” karena merekalah, antara lain, yang menjadi sumber dan biang kerok kebencian dan permusuhan dengan umat agama lain. Kita lihat saja nanti seperti apa dinamika dan perkembangannya.
Komentar