Hari ini, kita memasuki Hari Minggu Biasa Ke-21. Gereja Katolik menempatkan bacaan-bacaan suci hari ini dengan bertitik fokus pada pewartaan tentang pentingnya memiliki iman yang kokoh, iman yang mantap, iman yang terarah kepada Allah. Allah adalah kasih dan sumber keselamatan. Beriman kepada-Nya serentak membuka jalan keselamatan bagi kita. Sebaliknya, sikap berpaling dari hadapan Allah lalu berbalik mencari jalan lain justru membawa kita kepada kehancuran dan kenestapaan dalam hidup. Nah, sudahkah kita beriman secara total kepada Allah? Kita mestinya tidak perlu bimbang dan ragu. Kita mutlak perlu punya satu pilihan yakni beriman kepada Allah dan bukan kepada yang lain. Dalam kaitannya dengan itu, narasi bacaan-bacaan hari ini menyadarkan kita bahwa iman kepada Allah butuh dua hal dari kita, yakni komitmen dan konsisten.
Pertama, perlu komitmen yang kuat dari kita untuk terus setia beriman kepada Allah. Apa pun situasi dan tantangan hidup sehari-hari, kita tidak pernah boleh berpaling dari Allah. Allah mesti menjadi titik start sekaligus titik tujuan dari seluruh dinamika kehidupan kita. Dalam bacaan I, kita mendengar kisah tentang perjumpaan Yosua dan suku-suku Israel di tanah Sikhem. Dalam pertemuan itu, Yosua mengkritik orang-orang Israel yang kerap kali berpaling dari jalan Allah, suka mengeluh dan protes terhadap Allah. Padahal Allah selalu hadir dan terus menyertai mereka dari waktu ke waktu dan memastikan mereka selamat dari perbudakan Mesir dan malah membawa mereka masuk di tanah terjanji, Kanaan, tempat berlimpahnya susu dan madu. Di hadapan 12 suku Israel, Yosua menegaskan komitmennya untuk tetap beriman kepada Allah, meski dalam banyak hal dia menderita dan mengalami tantangan yang begitu hebat. Ketika Yosua menanyakan komitmen orang-orang Israel, pada akhirnya mereka pun punya sikap yang tegas untuk tetap beribadah kepada Allah dan bukan kepada dewa-dewi hasil buatan tangan mereka. “Kami pun akan beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah kita” (Yos. 24:18b). Ini adalah wujud komitmen orang-orang Israel.
Pengalaman serupa ditampilkan dalam narasi Injil Yohanes. Ada begitu banyak orang yang tidak sanggup mendengar perkataan dan sabda yang diajarkan Yesus sendiri. Bahkan sebagian orang menilai bahwa “perkataan ini keras! Siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yoh. 6:60) lalu mereka pergi meninggalkan Yesus. Kepada ke-12 rasul, Yesus menantang mereka dan lalu menanyakan: “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh. 6:67). Pertanyaan itu dijawab Simon Petrus, demikian: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Sabda-Mu adalah sabda hidup yang kekal. Kami percaya dan tahu bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (Yoh. 6:68-69). Jawaban ini sesungguhnya hendak menegaskan komitmen para rasul untuk tetap setia berkanjang dalam rangkulan kasih Sang Guru dan juga dalam iman kepada Allah Tritunggal Mahakudus.
Kedua, selain perlunya komitmen juga yang tidak kalah penting adalah perlunya sikap konsisten untuk menunjukkan iman itu, tidak hanya kepada Allah tetapi juga dihayati dalam kehidupan bersama yang lain. Apa yang dimaksudkan di sini adalah upaya kita untuk selalu menjadi pribadi yang mau peduli, mampu mengasihi dan terus berbagi dengan sesama. Hal inilah yang ditegaskan oleh Rasul Paulus dalam bacaan II. “Saudara-saudara, hendaklah kamu saling merendahkan diri dan saling mengasihi satu terhadap yang lain… hai isteri tunduklah kepada suamimu… hai suami kasihilah isterimu” (Ef. 5:21.22.28).
Dalam relasi itu, kasih Kristus mesti menjadi dasar dan pijakan utama. Seperti Kristus telah mengasihi dan mencintai kita, demikian kita juga wajib saling mengasihi. Seperti Kristus rela merendahkan diri-Nya bahkan sampai wafat di kayu salib untuk keselamatan banyak orang, kita pun hendaknya demikian, mengorbankan diri demi kebahagiaan sesama. Ini adalah wujud atau ekspresi iman yang paling sempurna. Bahwa iman itu, tidak hanya berurusan dengan Tuhan tetapi memiliki dampak sosial yakni membangun persaudaraan yang sejati. Teologi Paulus lebih banyak mengajarkan bahwa sesama adalah tubuh kita yang lain, karena itu wajib kita jaga dan rawat. Hal itu dianalogikannya dengan hubungan suami-isteri. Bagi Rasul Paulus, seorang isteri itu adalah tubuh “yang lain” dari sang suami. Karena itu, relasi kasih, komunikasi yang baik serta rasa tanggung jawab mesti dijunjung tinggi demi sebuah kedamaian dan keharmonisan dalam hidup bersama.
Mari kita belajar dari cara Allah mencintai dan mengasihi kita, semoga kita tidak pernah lelah berbuat baik. Karena itu, kita juga memohon kekuatan dari Allah sendiri agar kita mampu merawat iman kita untuk selalu terarah kepada-Nya dan sekaligus berani mengekspresikan iman itu dalam relasi dengan sesama saudara kita.
Semoga Tuhan berkenan memberkati kita semua. Amin.
*RD Eduardus Endi. Berkarya di Seminari Menengah Petrus van Diepen, Sorong-Papua Barat.
Komentar