Aktivis hak asasi manusia menyatakan kecemasan terkait dampak langkah pemerintah yang memberi label teroris kepada kelompok pro-kemerdekaan di Papua dan menyebut hal itu akan membuat perdamaian menjadi makin sulit di daerah ujung timur tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mohammad Mahfud MD telah mengumumkan pada 29 April bahwa Kelompok Kriminal Bersenjata – sebutan resmi pemerintah bagi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan Organisasi Papua Merdeka -yang melakukan kekerasan massif adalah teroris.
Ia juga menyebut bahwa pemerintah akan segera mengambil langkah untuk menangani mereka sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Mahfud mengklaim bahwa 92 persen warga Papua tetap mau bergabung dengan Indonesia dan “di dunia internasional tidak ada satu pun forum resmi yang mau membicarakan lepasnya Papua dari Indonesia.”
“Masalah Papua yang sekarang sedang ditangani dengan sebaik-baiknya adalah isu penataan lingkungan hidup, kesejahteraan dan sebagainya, bukan isu kemerdekaan,” katanya.
Langkah pemerintah itu diambil setelah pada 25 April, aparat mengklaim bahwa para pemberontak membunuh Jenderal TNI, I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, Kepala Badan Intelijen Negara di Papua, yang kemudian memicu keprihatinan Presiden Joko Widodo.
BACA JUGA: Imam Katolik di Papua Desak Para Uskup Bersuara Tegas demi Keselamatan Umat Papua
Kelompok pro-kemerdekaan di Papua yang mempersoalkan Perjanjian New York pada 1968 ketika Papua Barat diserahkan ke Indonesia oleh Belanda telah menuntut hak penentuan nasib sendiri dan melakukan serangan terus-menerus dengan target aparat keamanan dan warga sipil yang mereka klaim sebagai mata-mata aparat.
Pastor John Djonga, imam akitivis di Papua mengatakan, label teroris kepada kelompok pro-kemerdekaan itu itu akan membuat kondisi di Papua makin tidak stabil ke depan.
“Selama ini kekerasan sudah terus terjadi, di mana korban paling banyak adalah warga sipil. Dengan label itu, saya khawatir bahwa situasinya akan parah,” katanya.
“Itu juga akan menjustifikikasi penambahan pasukan ke Papua. Padahal selama ini pendekatan keamanan yang dianggap sebagai salah satu akar masalah Papua,” kata imam tersebut, yang pernah menerima penghargaan hak asasi manusia nasional Yap Thiam Hien Award.
Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty Internasional Indonesia menyatakan label teroris untuk Organisasi Papua Merdeka sebenarnya tidak konsisten dengan undang-undang terorisme karena undang-undang itu mengecualikan tindak pidana politik
“Sementara, kegiatan yang dilakukan Organisasi Papua Merdeka sangat lekat dengan aspek politik karena berhubungan dengan ekspresi politik mereka yang diakui oleh hukum internasional,” katanya.
Ia menyatakan, dengan memberlakukan undang-undang itu maka makin banyak orang Papua yang ditangkap tanpa didasarkan bukti-bukti karena undang-undang itu memungkinkan siapa saja yang dianggap mencurigakan untuk ditahan 7- 21 hari tanpa adanya tuduhan, lebih lama dari tindak pidana biasa yang hanya membolehkan penahanan 1 x 24 jam.
“Proses hukum dengan tuduhan ini dapat menjadi lebih keras dibanding pasal-pasal makar yang selama ini kerap kali dituduhkan kepada orang Papua,” katanya.
Hamid menyatakan,“pemerintah seharusnya fokus untuk menginvestigasi dan menghentikan pembunuhan di luar hukum serta bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya.”
Ia menyatakan, sejak Februari 2018 hingga kini terjadi setidaknya 52 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan total 87 korban.
Sementara itu, Hendardi dari Setara Institute for Democracy and Peace menyatakan, pelabelan sebagai teroris itu dan tindakan operasi lanjutannya adalah kebijakan terburuk Presiden Joko Widodo atas Papua.
“Ini akan menutup kesempatan Jokowi dan pemerintah untuk membangun Papua secara humanis, sebagaimana yang dijanjikannya dalam berbagai kesempatan,” katanya.
BACA JUGA: Imam Pribumi Papua: Lantang Bersuara demi Masa Depan Manusia Papua
Hal itu, kata dia, “menggambarkan ketidakcakapan pemerintah dalam mengelola dan meniti resolusi konflik di Papua dan ekspresi sikap putus asa yang tidak kunjung tuntas menangani kelompok perlawanan Papua.”
“Selain kontraproduktif, mempercepat dan memperpanjang spiral kekerasan, langkah pemerintah ini juga rentan menimbulkan pelanggaran HAM yang serius,” katanya.
Komentar