Katoliknews.com – Konferensi Waligereja Jepang menerbitkan sebuah laporan terkait pelecehan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh para klerus di negara itu.
Uskup Agung Nagasaki, Mitsuaki Takami yang juga Ketua Konferensi Waligereja Jepang mengatakan, laporan itu berdasarkan penelitian yang dilakukan sejak 2002.
Ia menjelaskan, publikasinya sangat terlambart karena mereka kesulitan dalam memahami situasi ketika pelehan itu terjadi dan metode survei yang tidak memadai.
“Sebagai pemimpin Gereja Katolik di Jepang kami ingin memakai kesempatan ini untuk meminta maaf kepada para korban dan semua yang terkena dampaknya,” katanya.
“Di atas semuanya, kami menanggapi laporan ini dengan serius dan bertekad untuk melakukan yang terbaik untuk mencegah hal-hal seperti itu terjadi lagi,” tambahnya.
Laporan yang diterbitkan pekan lalu itu mengungkap adanya 16 kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur sejak 1950-an, di mana para korbannya antara lain satu anak di bawah usia enam tahun, lima orang berusia antara 6-12 tahun dan enam orang berusia 13-17.
Pelecehan terjadi di sejumlah tempat, termasuk kamar imam, gedung-gedung gereja, dan fasilitas lainnya yang ditangani biara termasuk panti asuhan, demikian menurut laporan itu yang diunggah di situs resmi Konferensi Waligereja Jepang pada 7 April.
Laporan itu menyebutkan bahwa para pelaku terdiri dari tujuh imam diosesan dan delapan religius atau misionaris – di mana tujuh di antaranya adalah warga asing, satu warga Jepang, dan satu tidak terindentifikasi.
Dijelaskan bahwa dalam empat kasus, pelaku mengakui kasus pelecehan yang terjadi, sementara ada lima yang membantah.
“Dalam tujuh kasus lain, tidak diketahui apakah terdakwa mengakui atau menolak tuduhan itu,” kata laporan itu.
Laporan itu juga menemukan bahwa dalam banyak kasus para pelaku tidak dihukum, bahkan beberapa dikeluarkan dari gereja. Dikatakan juga bahwa ada dua imam yang dipecat, satu meninggalkan komunitas, delapan dipindahkan ke luar negeri maupun di dalam negeri, dan hasil dari lima kasus tidak diketahui.
Laporan itu juga menyatakan, dalam proses penanganan kasus-kasus itu, ada diskusi antara korban dan lainnya dan uskup diosesan atau pemimpin tarekat religius atau misionaris.
Jika pelaku mengakui tuduhan itu, demikian menurut laporan itu, maka Gereja membuat tanggapan yang sesuai dengan keinginan korban.
Laporan itu mencatat bahwa ada banyak kasus di mana prosesnya berakhir dengan respons yang tidak memadai seperti permintaan maaf oleh uskup atau pemimpin tarekat.
”Dari para pelaku yang diketahui, empat telah meninggal dunia, dua telah dilaisasi, tiga telah dipindahkan ke keuskupan lain, dua melanjutkan kerja di keuskupan yang sama tanpa sepengetahuan masyarakat tentang kasus yang terjadi, dan satu dalam perawatan medis.”
Dalam kesimpulannya, laporannya tersebut mengatakan bahwa keuskupan dan tarekat religius dan misionaris yang menjadi subjek penyelidikan “akan membentuk panel investigasi pihak ketiga yang baru.”
“Panel-panel ini akan memeriksa apakah kasus ditangani dengan tepat, dan uskup akan melaporkan hasilnya kepada Ketua Konferensi Waligereja dalam waktu enam bulan,” kata laporan itu.
Para pemimpin gereja mengatakan bahwa meskipun subjek investigasi adalah pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, mereka juga akan memperluas cakupan terhadap pelecehan yang terjadi pada kelompok rentan.
Gereja dan lembaga-lembaganya disebut akan bekerja untuk memberantas pelecehan seksual dan kekerasan seksual di Gereja, termasuk lembaga pendidikan dan lembaga terkait lainnya.
Komentar