Katoliknews.com – Para pemimpin Gereja di Filipina menyambut putusan pengadilan yang menolak gugatan untuk melegalkan pernikahan sesama jenis.
Mahkamah Agung Filipina menguatkan putusan sebelumnya merespon gugatan tersebut yang pernah disebut-sebut sebagai bersejarah bagi negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik itu.
Pengadilan menyatakan, gugatan itu tidak memiliki “argumen substansial,” demikian dilansir UCAN, media Katolik Asia, Selasa, 7 Januari 2020.
Uskup Auksilier Manila, Mgr Broderick Pabillo memuji keputusan itu dan mengatakan negara tersebut sudah memiliki begitu banyak masalah yang memengaruhi kehidupan orang miskin dan yang membutuhkan.
Dia mengatakan pemerintah seharusnya fokus pada masalah-masalah seperti kemiskinan, pekerjaan, migrasi dan perubahan iklim.
Uskup Honao Ongtioco dari Cubao mengatakan, Gereja Katolik akan selalu menjunjung tinggi ajaran Yesus tentang pernikahan, terlepas dari hukum apa yang diperkenalkan oleh negara.
Pastor Melvin Castro, mantan ketua Komisi Keluarga dan Kehidupan Para Uskup, mengatakan kegembiran atas keputusan pengadilan itu “tidak lengkap.”
Hal itu terait dengan pernyataan dalam putusan Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa Konstitusi Filipina tidak secara eksplisit melarang pernikahan sesama jenis.
Dinyatakan bahwa “konstitusi tidak mendefinisikan, atau membatasi, pernikahan berdasarkan jenis kelamin, gender, orientasi seksual atau identitas atau ekspresi gender.”
Pastor Castro mengatakan keputusan akhir ada di tangan legislator yang dapat membuat undang-undang yang memungkinkan pernikahan sesama jenis.
Dia mengatakan putusan pengadilan itu “menantang kita untuk waspada dan selalu was-was.”
Pendeta Kristen Eduardo Villanueva, yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat, memuji keputusan pengadilan tersebut, dan mengatakan Kitab Undang-undang Keluarga negara itu dibuat “untuk mencerminkan nilai-nilai historis, tradisional dan keagamaan orang Filipina dalam pernikahan.”
Pasal 1 dan 2 dari Kitab Undang-undang Keluarga membatasi pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita sementara artikel 46 (4) dan 55 (6) menyebutkan lesbianisme atau homoseksualitas sebagai dasar untuk pembatalan dan pemisahan secara hukum.
“Pernikahan, sebagai institusi sosial yang tidak dapat diganggu gugat dalam kehidupan orang Filipina, selalu dipahami antara seorang pria dan seorang wanita,” kata Villanueva.
Dia mengatakan untuk membatalkan Kitab Undang-undang Keluarga yang ada “akan sama saja dengan menyangkal identitas kita sebagai manusia dan mengkhianati moral kita yang dipegang teguh.”
Komentar