Katoliknews – “[Saya] malu sebagai orang Indonesia,” kata Muhammad Kurniawan (65), Selasa malam, 7 Mei 2024, di Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat.
Kurniawan, sapaannya, bicara hal itu kepada Katoliknews usai mendengar kejadian seorang Ketua RT di Setu, Tangerang Selatan, yang membubarkan secara paksa kegiatan doa Rosario mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam), Tangerang-Banten.
Ayah tiga anak itu hari-hari bekerja sebagai juru parkir di Toko Kemenangan Jaya, Jalan Percetakan Negara Raya, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
“[Ketua RT itu] kurang bergaul,” katanya dengan ketus.
Menurut Kurniawan yang juga seorang supporter fanatik Timnas Indonesia, negara ini milik semua, bukan milik kelompok tertentu dan semua orang berhak berdoa sesuai keyakinannya.
“Berdoa itu boleh-boleh aja,” ungkapnya, “kita masing-masing punya agama.”
Melansir Tirto.id, pada Minggu, 5 Mei 2024 malam, sejumlah mahasiswa yang mayoritas asal Unpam menggelar doa Rosario bersama, sebuah tradisi dalam Katolik setiap Mei dan Oktober.
Beberapa warga kemudian dilaporkan merasa terganggu dengan kegiatan mahasiswa itu. Tokoh sekitar seperti RT lantas menegur dan mengingatkan agar bubar. Alasannya sudah terlalu malam.
Namun, hal ini justru menimbulkan kesalahpahaman. Acara tak kunjung bubar, hingga terjadi adu mulut dan adu fisik antara warga sekitar dengan kelompok mahasiswa itu.
Selama terjadi keributan, beberapa warga lain dilaporkan mencoba untuk melerai. Namun, nahas, ia justru malah terkena pukulan. Para jemaah peribadatan Doa Rosario itu juga ada yang mengalami luka bekas sabetan senjata tajam. Korban seorang mahasiswa Unpam.
Aparat keamanan melalui Polres Metro Tangerang Selatan sudah melakukan upaya penyelidikan terhadap kasus dugaan kekerasan yang dialami mahasiswa Unpam ketika melakukan ibadah.
Sampai tulisan ini diturunkan, melansir CNN Indonesia, pihak kepolisian sudah menetapkan empat tersangka dalam kejadian itu.
Keempat tersangka masing-masing berinisial D laki-laki usia 53 tahun, I laki-laki usia 30 tahun, S laki-laki usia 36 tahun dan A laki-laki usia 26 tahun.
“Tersangka D berperan meneriaki dengan suara keras dengan nada umpatan dan intimidasi kepada korban bersama temannya dengan maksud teman lainnya turut bersama-sama menyerang korban dan teman-temannya yang dianggap mengganggu lingkungannya,” kata Kapolres Tangerang Selatan AKBP Ibnu Bagus Santoso kepada wartawan, Selasa, 7 Mei, seperti dikutip CNN Indonesia.
“(Peran) tersangka S membawa senjata tajam jenis pisau dsngan maksud untuk melakukan ancaman kekerasa guna menakut-nakuti korban dan temannya yang berada di TKP agar supaya segera pergi dan membubarkan diri,” ucap Ibnu.
Lalu, untuk peran tersangka A sama dengan S. Yakni membawa senjata tajam untuk mengancam dan menakut-nakuti korban agar segera membubarkan diri.
Keempat tersangka dijerat Pasal 2 ayat 1 UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan atau Pasal 170 KUHP dan atau Pasal 351 ayat 1 KUHP dan atau Pasal 335 ayat 1 KUHP Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Indonesia Masih Darurat Toleransi
Peristiwa di Setu, Tangeran Selatan, itu menambah deretan panjang peristiwa intoleransi berbaju agama di Indonesia.
Melansir Kbr.id, pada 18 November 2023 lalu, Wakil Direktur Direktorat Sosial Budaya Baintelkam Polri, Chaerul Yani dalam forum “Pemberdayaan FKUB dalam Mendukung Sukses Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024 yang Aman dan Damai” mengatakan, puluhan kasus intoleransi terjadi di Indonesia sejak 2019–2023.
Dari data yang dipaparkan, terjadi 7 kasus intoleransi di 2019, 14 kasus di 2020; 11 kasus di 2021; 3 kasus di 2022; dan 30 kasus di 2023.
Chaerul menjelaskan, jika dilihat data per polda, pada rentang waktu 2019-2023, catatan terbanyak ada di Jawa Barat dengan 17 kasus, disusul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 10 kasus, dan di Jawa Timur, 8 kasus.
Sementara, jika dilihat data per Polda sepanjang 2023, kasus terbanyak tercatat ada enam di DIY, kemudian masing-masing empat kasus di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan dua kasus di Lampung.
Kata Yani, bentuk tindakan intoleransi agama yang terjadi seperti pengrusakan dan pelemparan tempat ibadah, penolakan tempat tinggal dijadikan tempat ibadah, unjuk rasa penolakan pembangunan tempat ibadah.
Kemudian, tambahnya, ada juga pembubaran ibadah, penyegelan dan pemberhentian aktivitas ibadah, pembakaran gedung tempat ibadah, dan penutupan akses jalan menuju tempat ibadah.
Negara Tidak Boleh Diam
Rohaniwan Katolik sekaligus budayawan Indonesia Romo Franz Magnis Suseno SJ dalam sebuah kesempatan “Dialog dan Kerjasama Lintas Iman” mengatakan, Indonesia itu negara yang toleran, dalam arti di mana-mana minoritas bisa hidup dan beribadah di tengah mayoritas tanpa kesulitan serta tanpa takut. Komunikasi juga terjalin dengan baik, tanpa membedakan mayoritas dan minoritas.
Namun, lanjutnya, jika tindak-tindak intoleransi dibiarkan saja, maka bisa merusak kehidupan bersama.
“Jadi Negara Republik Indonesia harus intoleran terhadap intoleransi. Mereka yang mau merusak toleransi kita tidak boleh ditoleransi,” ucap pakar Filsafat itu, Rabu, 20 Nevember 2019, seperti dicatat Kompas.com.
“Secara sederhana bahwa acuannya adalah hukum, dan tentu undang-undang dasar yang berlaku,” imbuhnya.
Kata Magnis, jika misalnya alat negara [POLRI] membiarkan massa yang beringas melakukan penutupan tempat ibadah, atau memaksa upacara keagamaan, acara sebuah diskusi dibatalkan, itu signal yang sangat buruk. Hal itu tidak boleh terjadi, sebab akan menghancurkan toleransi.
“Yang terjadi di dalam rangka hukum harus dilindungi, dengan segala konsekuensi. Masyarakat harus tahu bahwa sikap toleran dilindungi, dan sikap intoleran tidak dibiarkan,” katanya.
Sementara Muhammad Kurniawan, si juru parkir itu, mengatakan, “Polisi harus tindak tegas [ketua RT dan pelaku lainnya],” ucapnya dengan nada tegas mengakhiri obrolan soal peristiwa di Setu, Tangerang Selatan.
Ia lalu pamit untuk merebahkan tubuhnya yang lelah seharian mengatur kendaraan yang keluar-masuk di Toko Kemenangan Jaya, yang di Jalan Percetakan Negara itu.
Komentar