Katoliknews.com – Kasus pengungkapan skandal para imam yang menjadi ramai setelah Felix Nesi, seorang penulis mengungkapnya di media sosial Facebook telah mendapat tanggapan dari Keuskupan Atambua, pihak yang dituding.
Kurang dari sepekan setelah isu ini ramai dibicarakan, pada Rabu, 8 Juli, pihak keuskupan yang wilayahnya berbatasan dengan Timor Leste itu menyampaikan respons resmi.
Dalam pernyataan yang dibacakan Romo Paulus Nahak, Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian, disebutkan bahwa mereka mengikuti berbagai komentar yang memojokkan pihak gereja dalam kasus ini.
“Ada tanggapan yang bersifat sangat subyektif, tanpa memahami latar belakang peristiwa, dan bahkan ada yang menjelajah masalah secara tidak proporsional,” katanya dalam pernyataan yang sudah diunggah di website resmi keuskupan.
Banyak dari komentar-komentar itu, jelas dia, yang menuding bahwa keuskupan “tidak memiliki keseriusan dalam penanganan masalah para imamnya.”
Padahal, kata Romo Paulus, Uskup Atambua, Mgr. Dominikus Saku “sejak mengetahui adanya masalah yang dilakukan seorang imamnya dengan seorang gadis sudah melakukan tindakan hukum sesuai dengan ketentuan Kitab Hukum Kanonik.”
Kasus ini ramai didiskusikan menyusul aksi Felix yang mendatangi rumah para imam di kompeks SMK St Pius XI Bitauni, Kabupaten Timor Tengah Utara pada 3 Juli sebagai bentuk protesnya karena imam yang ia sebut Romo A dipindahkan ke sekolah itu sejak Januari dari paroki tempat dia terlibat masalah dengan perempuan.
Saat itu Felix merusak jendela dan kursi di rumah itu, di mana ia kemudian dilapor ke polisi dan sempat ditahan tetapi dibebaskan keesokan harinya dengan status wajib lapor.
Dari balik tahanan, ia menulis di Facebooknya yang menjadi viral, di mana ia mengungkapkan kekecewaannya pada keuskupan karena membiarkan Romo A ditugaskan di sekolah itu, di mana terdapat lebih dari 100 siswi.
Dalam tulisannya, ia menyebut gereja menerapkan pola yang sama dalam menyikapi imam bermasalah, di mana hanya dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.
Romo Paulus mengatakan, kasus Romo A itu telah diselesaikan secara hukum adat dan hukum Gereja dan sejak 22 Oktober tahun lalu ia telah diberi suspensi pastoral.
Ia menyatakan, untuk sementara imam itu ditempatkan di SMK St. Pius XI Bitauni “dalam rangka pengolahan diri, sambil menanti kesempatan kursus penyegaran rohani untuk pengambilan sikap selanjutnya.”
Dalam pernyataan itu yang juga diunggah di Youtube, Romo Paulus juga mengomentari kasus pidana yang kini dihadapi Felix.
Ia menyatakan, kasus itu “dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dengan prinsip keterbukaan hati untuk mengungkap kebenaran demi mencapai keadilan dan perdamaian.”
Ia juga berharap “semua komentar, opini dan analisa” terhadap kasus ini “hendaknya dilakukan secara proporsional yang didasarkan pada fakta.”
Felix dikenal sebagai penulis, di mana novelnya Orang-orang Oetimu mendapatkan penghargaaan dari Dewan Kesenian Jakarta pada 2018.
Novel itu mengisahkan tentang para imam yang melindungi kebusukan imam lain. Dalam unggahan di Facebook-nya, Felix sempat menyinggung kisah dalam novel itu.
“Apakah saya baru saja melihatnya di dunia nyata ini?” tulisnya.
Ia menyatakan, saat menggarap novel itu, ia pernah mewawancarai seorang bapak yang mengasingkan anak perempuannya ke kampung sesudah anak tunggalnya itu dihamili seorang pastor.
“Bapak itu menangis sambil bercerita. Antara putus asa dan terluka, tetapi tetap mengasihi anak perempuan (dan cucu)-nya. Hanya ia yang menangis, tetapi kami sama-sama terluka,” tulis Felix.
Beragam Reaksi
Kasus ini telah melahirkan gelombang reaksi yang beragam, antara yang pro dan kontra.
Marjin Kiri, penerbit novel Orang-orang Oetimu, menyatakan mendukung niat Felix membongkar segala impunitas yang melibatkan para tokoh agama dalam kasus sejenis.
“Kami menuntut agar laporan kasus Felix segera dicabut,” kata mereka.
“Kaca jendela yang rusak sama sekali tidak sebanding dengan masa depan yang rusak akibat praktik pembiaran berbungkus nama baik institusi keagamaan,” demikian dikutip dari akun Instagram mereka.
Senada dengan itu, Romo Franz Magnis-Suseno SJ, Guru Besar Emeritus di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta menyebut tindakan Felix merusak rumah para imam merupakan kasus kecil dan alasan di balik tindakannya yang justru harus direspons secara serius.
’’Soal memecahkan kaca, buat saya masalah kecil itu. Nggak usah diusut, ganti saja,’’ katanya, seperti dilansir Jawa Pos.
Sebaliknya, lanjut Romo Magnis, penempatan seorang pastor yang punya rekam jejak buruk dengan perempuan di sebuah sekolah yang banyak muridnya perempuan adalah problem yang lebih substansial.
BACA JUGA: Romo Magnis Dukung Pengungkapan Kasus Pelecehan Seksual dalam Gereja
Sementara itu, peneliti Made Supiratma menulis di Facebooknya bahwa ia memahami alasan tindakan Felix dan mempersoalkan cara pandang yang mengganggap kasus seperti ini sebagai aib yang tidak boleh dibuka.
“Argumen seperti itu, yang menjalar dari kepala sampai ujung kaki di dalam Gereja Katolik, tentu saja sangat bermasalah,” tulisnya.
Ia menjelaskan, “aib harus dibuka, diperiksa kebenarannya, diakui keberadaannya.”
“Gereja Katolik selalu adalah gereja yang berdosa. Apa salahnya gereja mengaku dosa di depan umatnya dan bertobat? Sama persis seperti yang diajarkan gereja kepada umatnya?” tulis Made.
Sementara itu, Dominggus Elcid Li, seorang peneliti dan Direktur Eksekutif Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) yang berbasis di Kupang menulis panjang di Katolikana.com, di mana ia menyebut aksi Felix adalah “sebuah ajakan untuk masuk ke laut yang lebih dalam.”
Ia mengatakan, sebelum kasus perusakan rumah oleh Felix dibawa ke polisi, perlu ada ruang untuk dialog.
“Pertanyaannya, mengapa hanya kepada para imam toleransi untuk belajar kembali diberikan, sedangkan kepada Felix, si bekas calon imam itu pinalti langsung dijatuhkan?” tulis Elcid.
“Mengapa standar ganda semacam ini tidak disadari oleh para imam sebagai sebuah kekerasan struktural terhadap umat?,” tambahnya.
Ia juga berharap, upaya Felix mengungkap masalah ini juga diterapkan dalam kasus para tentara di perbatasan yang sudah menjadi rahasia umum melecehkan perempuan setempat.
“Apakah mungkin Felix melakukan hal yang sama di markas TNI, seperti yang Felix lakukan terhadap pastor? Karena para tentara perbatasan juga kerap meninggalkan anak-anak di rahim para perempuan setempat dan mereka lupakan setelah masa tugas di perbatasan selesai,” tulisnya.
Ia mengatakan, kasus-kasus ini juga tidak pernah dibuka secara institusional oleh TNI AD.
“Mungkin pula kritik terhadap Gereja Katolik adalah langkah awal sebelum membuka kasus tentara perbatasan,” tulisnya, mengingat dalam novel Felix, kritik terhadap tentara juga ia sebutkan.
“Mungkin dari kemauan gereja untuk menatap para korban, institusi TNI AD juga akan ikut,” kata Elcid.
Komentar