Oleh: RP DESIDERAMUS ANSBI BAUM, OFM
Seringkali, orang kecil hadir lebih sebagai teka-teki, dari pada sebagai pribadi. Mereka ada sebagai komoditi, daripada sebagai manusia. Mari kita lihat.
Pertama, omongan dan segala usaha kepeduliaan dan perhatian pada orang kecil kalau tidak hati-hati malah dapat jatuh pada jenis penindasan baru. Karena kita menganggap diri lebih kaya, lebih hebat, lebih pintar, lebih terdidik-berpendidikan, lebih modern-maju, kita memaksakan kehendak, gagasan dan konsep kita, cara pandang kita tentang segala hal, baik tentang dunia, Tuhan maupun manusia, agar dipakai, dihidupi, dilaksanakan, dihayati oleh orang kecil.
Atau, kita dengan sekuat tenaga berjuang ‘memberdayakan’ orang-orang kecil, seolah-olah tak ada hal yang pantas dipelajari dari mereka. Seolah-olah tak ada kebijaksanaan yang datang dari orang kecil, seolah-olah mereka sama sekali tak berdaya, tak berbudaya dan tak beradab.
Lantas, kita menganggap mereka orang-orang pinggiran, terasing, terbelakang dan berakhir dengan memaksa-maksakan kebenaran-kebaikan yang sepenuhnya tergantung pada saya dan kelompok saya. Kebenaran-kebaikan pokoknya sesuai dengan yang saya dan kelompok saya pikirkan, hayati dan alami, sementara orang-orang kecil wajib mengikutinya.
Kedua, dengan dalih ‘peduli pada orang kecil’ seringkali kita mungkin malah menjual orang sederhana dan miskin. Dengan mengumbar gagasan tentang mengusahakan kesejahteraan rakyat kecil, kita malah menipu mereka untuk mengeruk keuntungan dari padanya. Dalam rangka ini, kita barangkali sering memperalat dan memanfaatkan keluguan, kekurangan informasi pada orang-orang kecil untuk memperkaya dan memuaskan diri dan kroni-kroni saya.
Ketiga, sebaliknya, di tengah situasi yang serba susah-serba kurang baik, serba penuh penderitaan, orang-orang kecil mulai menginginkan dan mengangankan keadaan yang sempurna yang bakal dibawa oleh penyelamat, oleh mesias. Tetapi malahan akhirnya jatuh pada penyelamatan jenis palsu, mesias jenis ini: harta, kuasa dan nafsu. Seolah-olah hanya itulah yang pantas diperjuangkan, didambakan, diidam-idamkan, dihormati di dunia ini.
Nah, kalau kita mampu melakukan diskresi, mampu dengan jeli melihat roh apa yang sedang bekerja di belakang dan dalam ‘romantisme orang kecil dan kepeduliaan padanya’, kita bisa sedikit paham makna doa Yesus hari ini: “Aku bersyukur kepada-Mu, Ya Bapa, Tuhan langit dan bumi, sebab misteri kerajaan Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil (Mat 11:25).
Ia sama sekali tidak alergi dengan orang bijak dan pandai, tetapi Ia mau mengoreksi, memberikan awasan dan menunjukkan sesuatu, mau menyatakan hal tertentu kepada kita: tentang relasi antara orang bijak- pandai dan orang kecil, tentang Diri-Nya, tentang Misteri Kerajaan.
Semua ini penting dilihat sebagai satu kesatuan.
Pertama, yang dimaksudkan Yesus dengan orang bijak-pandai adalah orang yang merasa diri paling benar, merasa diri sudah tahu segala hal bahwa dunia harus dihidupi begini, bukan begitu, hidup harus dijalankan begitu, bukan begini, bahkan sudah tahu bahwa Allah berkarya seperti ini, tidak seperti itu. Orang-orang jenis ini sulit menerima bahwa ada kebenaran di luar apa yang diketahuinya, apa yang dipahaminya, apa yang dihayatinya. Apalagi dalam diri orang kecil, mereka sulit melihat ada kebaikan-kebenaran, ada kebijaksanaan tertentu. Dan bahkan mereka sulit melihat bahwa Allah justeru dapat memakai cara-cara yang tidak biasa, tidak rutin dan tidak lumrah untuk bertindak: mengutus Yesus menjadi orang biasa-kecil seperti kita, manusia.
Orang bijak dan pandai yang disebut Yesus dalam doa-Nya adalah orang yang mempertahankan pemikiran, kukuh-kokoh dengan keyakinan pengetahuannya, teguh dengan isi kepalanya. Padahal hidup itu tidak sekedar hanya pengetahuan dan isi kepala, tetapi terutama adalah relasi. Seperti Yesus yang menyapa Allah sebagai Bapa, justeru karena Ia memiliki relasi-perjumpaan dengan Allah itu.
Kedua, Yesus mensyukuri anugerah misteri kerajaan yang diperoleh orang kecil, justeru karena Dia sendiri melewati jalan dan menjadi orang kecil, manusia seperti kita. “Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda” (Zak 9:9). Dia datang dalam kesederhanaan bukan dalam segala kemewahan yang membawa macam-macam kekayaan dan pengetahuan. Ia datang dalam ‘kelemah-lembutan’ sehingga tidak menakutkan, tidak membuat orang kehilangan kebebasannya.
Ia tidak datang memperalat orang kecil, tetapi Ia memilih menjadi orang miskin, sederhana dan kecil, sehingga orang bisa berelasi secara erat dan dekat dengan Dia, sehingga orang-orang kecil merasa dihargai, diberi tempat dan di situlah muncul saling percaya, tumbulah iman dan kebenaran sejati. Kalau Yesus sendiri menjadi orang kecil, agaknya memalukan bila kita mengaku diri sebagai orang bijak dan pandai.
Kita juga adalah orang-orang kecil yang harus belajar banyak, mendengar banyak, mengerti banyak. Yang sadar bahwa kita orang-orang lemah, rapuh karena itu membutuhkan bantuan orang lain, mau belajar dari orang lain, belajar dari aneka macam kebijaksanaan-pengetahuan hidup, belajar dari Kristus sendiri yang telah menjadi orang biasa. Kalau seperti itu kesadarannya, kita akan mampu bersyukur. Dan orang yang mampu bersyukur akan menemukan jalan lapang dalam penghayatan hidupnya, tidak menggantungkan diri pada penyelamat-penyelamat palsu, mesias-mesias tipu-tipu.
Ketiga, sampai di sini, kita harusnya sadar bahwa kita semua adalah orang kecil-biasa-rapuh-rentan dan karena itu berwaspada selalu pada mesias-mesias palsu yang bisa datang dengan aneka tawaran yang dengan mudah mengganggap misteri kerajaan Allah sama sekali sama saja dengan kesejahteraan akan uang, harta dan kuasa, padahal di balik jargon kesejahteraan yang didengungkan ada kepentingan memperkaya diri-menancapkan pengaruh-melestarikan dan membesarkan kelompok sendiri.
Lantas, sebagai orang beriman, kita mesti sadar bahwa misteri kerajaan itu sejatinya terletak dalam relasi yang baik-benar dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan alam semesta dan dengan Allah sendiri. Misteri Kerajaan itu terletak dalam relasi yang utuh dengan dunia-alam semesta, dengan Tuhan dan dengan Manusia. Misteri kerajaan itu tidak menekankan sisi tertentu lalu mengabaikan aspek lain, tidak berhenti di sebelah sini, lalu lupa yang sebelah sana, tidak hanya sibuk di sebelah sana lalu abai pada yang sebelah sini. Dan sebagai Misteri, renungan saya ini tentang Kerajaan itu, tidak sepenuhnya benar.
Penulis adalah seorang Fransiskan, tinggal di Meratus, Kalimantan Selatan
Komentar