Oleh: RD HIRONIMUS BANDUR
Saya bukan orang Minang dan tidak tahu tentang seluk beluk adat Minang. Namun, di mana-mana saya bisa temukan orang Minang. Di daerah-daerah diaspora, tanah rantau, orang Minang populer dengan makanan khasnya, yang dikenal dari tulisan di rumah makan; Warung Minang, Rumah Makan Minang, Masakan Padang. Hampir di setiap rumah makan Minang ada simbol rumah adatnya. Aksesoris rumah makan yang indah menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap konsumen.
Tentu ada yang lebih dalam dari sekadar gambaran visual di atas. Ada banyak tokoh nasional berdarah Minang. Dewasa ini kita misalnya mengenal Buya Syafii Maarif, seorang tokoh Muhammadiyah yang begitu peduli dengan isu pluralisme. Kita bangga, oleh pemikiran Buya Syafii Maarif, kita diajak untuk terus menikmati keberbedaan sebagai satu Indonesia.
Singkatnya, kita semua bangga punya aneka adat istiadat dan agama. Betapa berharganya “engkau yang berbeda” di wajah ke-Indonesia-anku. Keberbedaanmu melengkapi rasa jenuhku dalam kesendirian. Engkau yang berbeda menggelorakan semangat ke-Indonesia-anku. Aku bangga jika adat dan budayaku membanggakan orang yang berbeda denganku.
Demikian juga agama. Orang Kristen Padang (Minang) pun juga terlalu bangga dengan adat Minang. Makanya Injil diadaptasikan, seperti adat, syarak dan Kitabullah.
Namun ketika Injil berbahasa Minang menjadi sebuah polemik, orang bertanya-tanya, ada apa dengan keragaman di tanah Minang?
BACA JUGA: Aplikasi Injil Bahasa Minang: Mengapa Jadi Polemik?
Injil Bahasa Minang tampil beda sesuai dengan adat Minang, hal yang pada prinsipnya biasa bagi Gereja universal. Firman Allah harus berakar dalam budaya. Tujuannya sederhana, supaya setiap pengikutnya bisa memahami dan mengenal Tuhan, tidak merasa asing dengan Tuhan yang diimani.
Jadi, terjemahan Alkitab dalam banyak bahasa adalah bagian inheren dari upaya intensifikasi (pendalaman) iman Gereja. Apa yang dilakukan Lembaga Alkitab Indonesia, dengan menterjemahkan Kitab Suci ke dalam banyak bahasa daerah, termasuk bahasa daerah saya, adalah sesuatu yang bagus.
Sama seperti prinsip orang Minang yang menjunjung tinggi adat, Injil dalam bahasa daerah pun bertujuan supaya sapaan Tuhan masuk dalam nilai rasa dan bahasa setempat. Hal itu bukan bukan upaya Kristenisasi, apalagi proselitisasi, karena toh Injil itu bukan untuk kaum non-kristen.
Agamamu tetap bagimu, agamaku tetap bagiku. Kekhasan agama Abrahamistik, ya begitu. Di mana-mana ada simbol agama, di ruang-ruang publik mana pun ditemukan simbol-simbol agama misi.
Keputusan menghapus Injil berbahasa Minang menuai polemik. Faktanya, Gereja Padang menolak keputusan sang gubernur Irwan Prayitno, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dua periode ini.
Gereja Padang juga mengerti Bahasa Minang, sebab jika mereka tidak mengerti, tentu Gereja Padang adalah kelompok pertama yang harus menolak terjemahan Injil dalam Bahasa Minang.
Keputusan menghapus Injil berbahasa Minang dari Google Play Store, hemat saya merupakan babak lanjut dari pengelolaan keragaman yang belum tuntas. Ya keputusan itu sangat problematis. Keputusan itu sekaligus menguji ke-Indonesiaan kita, mengasah mental kepulauan (archipelago) kita.
Peristiwa budaya dan agama saudara-saudara di Padang adalah bagian dari peristiwa budaya dan agama saudara-saudara di pulau lain. Beda pulau tetapi satu rasa, satu bangsa.
Dalam bidang keragaman agama, Sumatra Barat sedang tidak baik-baik saja. Provinsi itu, menurut survei Kementrian Agama 2019, menduduki peringkat kedua dengan indeks kerukunan antarumat beragama di bawah standar untuk seluruh provinsi di Indonesia. Artinya, toleransi dan keberagaman “babak belur” di Sumatra Barat, membeku dalam eksklusivitas.
Pemerintah terperangkap dalam hilir mudik kepentingan adat, agama dan politik, dan menjadi gagap pluralisme di hadapan tekanan lembaga adat. Pemerintah masih kalah di bawah insting homogenisasi kelompok tertentu. Mental kepulauan kian meredup. Marwah konstitusi negara yang wajib dijamin setiap pemimpin untuk semua warga menjadi luntur. Tampak bahwa sang gubernur menjadi silau dengan hegemoni agama dan politik dari kelompok tertentu.
Penulis dan peneliti hubungan antaragama di Indonesia, Mujiburrahman, dalam buku Feeling Threatened Muslim-Christian Relation (2006) menulis bahwa relasi Muslim-Kristen cenderung bertensi tinggi di Indonesia, yang disebabkan oleh mengentalnya rasa keterancaman, sampai-sampai menjadi sedemikian paranoid. Kaum Muslim merasa terancam dengan kristenisasi, sebaliknya kaum kristen merasa terancam dengan islamisasi.
BACA JUGA: Setara Institute: Injil Bahasa Minang Inisiatif yang Baik untuk Literasi Keagamaan
Sampai kapan kita baru sembuh dari penyakit paranoia agama ini? Mari kita belajar dan terus belajar untuk memperkuat mental kepulauan kita. Orang Minang adalah komunitas berharga di tengah aneka suku bangsa di wilayah kepulauan Nusantara.
Kamu Minang, saya Flores, kita Indonesia, walaupun berdiam di pulau masing-masing.
Kita tergolong baik bukan karena kita dan kelompok kita merasa diri paling baik, tetapi karena mata yang memandang dari luar mendapati kita menarik dan indah.
Penulis adalah imam Keuskupan Ruteng, sedang menempuh studi pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Komentar