Katoliknews.com – “Dengan jernih ditopang suara yang berat,” demikian Majalah Tempo melukiskan kesan saat mewawancarai mendiang Mgr. Martinus Dogma Situmorang OFMCap 2011 silam, di mana ia “menyampaikan pandangan tentang berbagai persoalan bangsa, termasuk konflik antarumat beragama yang kerap terjadi di Indonesia.”
Wawancara itu dilakukan usai Uskup Padang itu yang tengah menjabat sebagai Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk periode kedua (2009-2012) bersama sejumlah tokoh agama lain menyuarakan protes keras kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena dianggap lalai terhadap berbagai persoalan.
Bersama sembilan tokoh lintas agama, termasuk di antaranya Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Pastor Franz Magnis Suseno SJ, mereka merilis 18 daftar kebohongan yang dilakukan rezim SBY. Beberapa adalah soal angka kemiskinan, kasus skandal Bank Century, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakdilan hukum.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan di kantor Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jakarta, mereka menuntut pemerintah untuk memperhatikan masalah-masalah tersebut.
Suara kritis uskup Situmorang dan para tokoh lintas agama, rupanya mengganggu istana ketika itu.
Sehari setelah daftar kebohongan itu dirilis, SBY mengundang mereka untuk menjalin dialog yang berlangsung hingga dini hari berikutnya.
“Presiden memang menerima kami,” kata Uskup Situmorang kemudian, “tapi masih terasa defensif, seolah tak menyerap luas dan dalamnya persoalan.”
Dalam wawancara yang dimuat Tempo edisi 24 Januari 2011 itu, ia menganggap kritik terhadap pemerintah sebagai bagian dari suara moral pelayanan. “Kami bersuara demi kemanusiaan,” katanya.
Suara kritis tersebut pun tidak pula dimaksudkan untuk memobilisasi protes massa hingga memperkeruh suasana.
“Kami ingin bangsa ini lebih maju, sejahtera, dengan pemerintah hebat, terpuji, dan setia melaksanakan tugas. Kami hanya ingin pesan itu sampai. Ini suara moral.”
Kritik sosial yang keluar dari mulut para tokoh agama memang kerap dituduh bermuatan politik. Tak sedikit juga yang menuduh suara kritis Uskup Situmorang membawa lembaga yang dipimpinnya masuk dalam wilayah politik praktis.
Sekertaris Kabinet, Dipo Alam misalnya menyebut Mgr Situmorang seharusnya tidak mengambil sikap demikian. Ia menyebut kritik terbuka kepada pemerintah dalam kapasitas Mgr Situmorang sebagai Ketua KWI bisa saja membuat Gereja Katolik mengambil jarak dengan pemerintah. Namun, uskup Kapusin itu mengambil sikap tegas untuk anggapan semacam itu.
Baginya, kritik terhadap pemerintah merupakan usaha memberikan penilaian terhadap realitas kehidupan di bidang politik dan ekonomi.
“Ini bukan politik,” katanya membela, “kami bersuara agar kesejahteraan rakyat ditingkatkan dan korupsi diberantas.”
Rezim kini telah lama berganti. Uskup Situmorang pun telah kembali ke pangkuan Yang Ilahi pada 19 November 2019, setelah ia 36 tahun menggembalakan umatnya di Keuskupan Padang.
Tapi, persoalan sosial-politik masih abadi dalam aneka bentuk.
Suara kritis para gembala, seperti kata Uskup Situmorang, adalah seruan moral agar pemerintah tergugah untuk memikirkan dan mengusahakan perbaikan.
Suara kritis Uskup Situmorang terhadap rezim SBY sejalan dengan imajinasinya akan pemerintahan yang ideal, yang menurut dia, fokus untuk melayani kepentingan rakyat.
“Negara makin luhur kalau orang paling kecil dan menderita mendapat perhatian khusus,” ujarnya.
Kepentingan warga menjadi hal yang utama diupayakan oleh pemerintah agar negara makin kokoh dan terhormat. Pemerintah tidak perlu memelihara oligarki dengan hanya memperhatikan kepentingan orang kuat dan kaya.
Dalam soal hukum pun demikian. Pemerintah perlu menjamin penegakan hukum yang adil, yang tidak sewenang-wenang dan pandang bulu.
Meskipun demikian, bagi uskup Situmorang, pemerintah bukanlah kunci yang bisa menyelesaikan segala soal.
Dalam hal kekerasan yang mengatasnamakan agama, kata dia, pemerintah, berperan mengurangi konflik dengan cara mengatasi kesenjangan ekonomi dan menegakkan hukum.
Sedangkan masyarakat, keluarga, pemuka agama, dan lembaga pendidikan menjadi pemain utama untuk kerukunan dan kehidupan bersama yang indah.
“Pemerintah hanya pengawas dan penyedia fasilitas. Masyarakat menjadi penghayat, pendorong, pemelihara, dan pengembang paling efektif untuk kerukunan hidup beragama,” katanya.
Apa yang ditunjukkan Mgr Situmorang kala itu, tampaknya menjadi alasan rekan-rekan uskupnya menilainya sebagai sosok yang berani dan bertanggung jawab dengan apa yang menjadi panggilannya.
BACA: ‘Ramah, Tegas, Bertanggung Jawab’: Kesan Rekan Uskup tentang Mgr Situmorang
Rekannya sesama Fransiskan, Mgr Paskalis Bruno Syukur OFM menyebutnya sebagai“seorang yang tegas dengan pendirian yang benar.”
Posisi yang telah diambil Mgr Situmorang, selalu menjadi harapan bagi Gereja di setiap masa: agar selalu hadir sebagai suara kritis yang mengingatkan pemegang kekuasaan untuk meletakkan bonum commune sebagai arah dasar dalam berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana yang ia katakan “kepemimpinan di level mana pun adalah demi orang lain”
“Kalau demi dirinya, dia kehilangan legitimasi. Mungkin dia memiliki perangkat legal yuridis, tapi kehilangan legitimasi moral. Karena itulah kita bersuara,” kata Mgr Situmorang, menegaskan alasan pilihan sikapnya.
Komentar