Katoliknews.com – Mahasiswa Katolik dari sejumlah universitas yang mengikuti kegiatan intercultural student camp mengadakan kunjungan ke Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang, Jawa Timur pada Jumat, 1 November 2019.
Kegiatan ini melibatkan 101 mahasiswa dari 21 kampus yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK), demikian menurut Beritajatim.com.
Tahun ini, kegiatan rutin ini mengangkat tema “Tantangan Kaum Milenial dalam Mewujudkan Peradaban Kasih.” Tuan rumanya adalah Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Ignatius Novianto Hariwibowo, Koordinator APTIK mengatakan tujuan kegiatan ini adalah ingin mengenalkan kehidupan pondok pesantren kepada mahasiswa Katolik.
“Kami ingin mahasiswa selaku generasi penerus bisa saling mengenal dan memperkenalkan beragamnya ras, suku dan agama di Indonesia,” katanya.
Ia menambahkan, mereka juga secara khusus ingin mengenal lebih jauh Pesantren Tebu Ireng serta ajaran dan filosofi pluralisme dalam islam yang diperkenalkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Dalam sesi tatap muka, Iskandar, Kepala Pondok Pesantren Tebu Ireng memperkenalkan riwayat dan ajaran pendiri pesantren KH Hasyim Asy’ari yang adalah kakek dari Gus Dur.
“Ini salah satu pondok tertua di Indonesia,” jelasnya, sambil menambahkan bahwa pada Agustus lalu, pesantren itu merayakan usia ke-120 tahun.
Ia menjelaskan, Tebu Ireng sangat terbuka bagi semua orang yang ingin datang berkunjung, termasuk untuk tamu-tamu yang berbeda iman.
Dari kalangan Katolik, kata dia, bahkan pernah para calon imam yang beberapa hari tinggal di tempat itu.
“Jadi Anda sekalian bukan yang pertama datang ke Tebu Ireng. Bahkan calon pastor se-Asia Tenggara pernah mondok 15 hari di sini. Kita terima dengan baik, kami perlakukan dengan baik,” katanya.
“Semoga itu bisa menjadi kesan yang baik pula. Kami berharap dengan cara itu, stigma miring tentang Islam, tentang pondok pesantren bisa ditepis ,” tambahnya.
Dalam tatap muka itu juga dipaparkan bagaimana tantangan generasi muda di era milenial saat ini.
Roziki, Kepala Madrasah Aliyah Tebu Ireng menegaskan di era serba terbuka ini penyebaran berita yang tidak benar menjadi sebuah tantangan.
“Tantangannya bagaimana jari-jari kita tidak ikut menyebarkan, bahkan tidak ikut nge-like informasi itu,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu juga menjelaskan bahwa perbedaan adalah sesuatu yeng terberu.
Gus Dur, katanya, sangat terbuka terhadap perbedaan dan serentak pula sangat taat terhadap agamanya.
“Nahdlatul Ulama yang didirikan pertama kali oleh KH Hasyim Asy’ari yang menerima Pancasila sebagai asas negara kita untuk pertama kalinya. Bangsa ini dibangun dari keberagaman dan perbedaan,” tukasnya.
Selepas diskusi, peserta pun mengunjungi makam Gus Dur dan memanjatkan doa.
Noviana Susanti, yang berasal dari STKIP Weetebula, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur mengaku senang dengan acara tersebut.
“Menarik sekali, saya antusias. Kita jadi dapat ilmu baru,” akatanya.
Ia mengaku terkesan dengan kata-kata pihak pesantren bahwa “kita semua bersaudara.”
“Jadi senang saja bisa mengenal kehidupan dan ajaran agama lain dengan perspektif yang lebih jernih,” pungkasnya.
Komentar