Data dari Setara Institute for Democracy and Peace menunjukan bahwa selama 10 tahun terakhir, 2007-2018, terdapat 199 kasus gangguan beribadah pada umat Kristiani.
Bentuk gangguan itu, antara lain mencakup penyegelan gereja hingga intimidasi masyarakat.
Data itu belum termasuk yang terjadi pada tahun ini.
Sebagaimana dilaporkan sebelumnya oleh katoliknews.com, pada Minggu, 25 Agustus lalu, kasus intoleransi kembali terjadi, yaitu pembubaran ibadah jemaat Gereja Pentekosta di Indonesia di Kabupaten Indra Gilir, Provinsi Kepulauan Riau.
Sebelumnya, kasus serupa juga dialami oleh Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sedayu di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Menurut Direktur riset SETARA Institute Halili, gangguan itu kerap terjadi sejak diberlakukannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan No. 9 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
Dalam regulasi tersebut diatur bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat dan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
Diatur pula bahwa permohonan pendirian rumah ibadat harus diajukan kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.
Persetujuan masyarakat dan IMB ini, kata Halili, sering menjadi alasan penyegelan atau penolakan suatu rumah ibadah.
Padahal, kata Halili, seharusnya syarat-syarat administratif itu tidak menghapus hak konstitusional warga untuk beribadah.
“Peraturan Bersama Menteri itu sesungguhnya menyediakan ruang bagi terjadinya ketegangan dalam relasi mayoritas dan minoritas,” ujarnya seperti dikutip BBC Indonesia.
Ia memberi contoh, banyak gereja yang kesulitan mengurus IMB, kemudian ditolak kegiatannya oleh masyarakat.
Namun, Halili mengatakan, banyak juga musala yang tidak memiliki IMB tapi tidak dipersoalkan masyarakat.
Tidak hanya berdampak pada umat Kristiani, Halili mengatakan peraturan itu berdampak kepada umat Muslim, saat mereka menjadi umat minoritas di suatu wilayah.
Contohnya, kata Halili, ada sebuah masjid di Kecamatan Mapanget, Manado, wilayah dengan mayoritas Kristen, yang tak kunjung mendapat IMB.
Ia menambahkan Peraturan Bersama Menteri itu juga telah membuat jemaat Ahmadiyah di sejumlah daerah tidak bisa beribadah dalam masjid.
Maka itu, Halili menyarankan pemerintah untuk segera mengubah peraturan itu. Jika tidak, katanya, peristiwa semacam itu akan terus berulang.
“Tidak ada pilihan lain selain menghapus atau merivisi ketentuan dalam regulasi itu,” ujarnya.
Respon Pemerintah
Sementara itu, pemerintah mengklaim aturan itu tetap penting, hanya persoalannya banyak yang memhami substansinya.
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI, Nifasri, mengatakan jika masyarakat sudah memahami regulasi tersebut, kecil kemungkinan muncul masalah terkait dengan pendirian rumah ibadah.
“Masyarakat dalam mendirikan rumah ibadah seharusnya ada rekomendasi dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Salah satu tugas FKUB adalah sosialisasi regulasi terkait dengan kerukunan umat beragama,” ujarnya.
Kepala Bagian Litbang Diklat Kementerian Agama, Abd. Rahman Mas’ud, berujar pada dasarnya, regulasi tersebut hadir untuk menyediakan perangkat bagi pemerintah daerah dalam mengelola berbagai kepentingan terkait pemeliharaan kerukunan, khususnya terhadap kasus rumah ibadat.
“Ketiadaan regulasi menyebabkan masyarakat menangani kasus-kasus dengan caranya sendiri, di sisi lain pemerintah tidak punya pegangan dan panduan dalam bagaimana menanganinya,” ujar Rahman.
Sementara itu, tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ifdhal Kasim mengatakan regulasi mendirikan rumah ibadah itu penting untuk menjamin ketertiban umum.
Komentar