Oleh: Markus Marlon MSC
“Frangas non flectes – engkau dapat menindasku, tetapi tidak untuk mengubah pendirianku, keyakinanku.
Pernah suatu kali saya menginap di sebuah keluarga di bilangan kota Samarinda (Kalimantan Timur). Istri mau mengobrol, suami diam saja. Istri ingin menghadiri pesta di rumah keponakan, suami sebal pada keponakan itu. Suaminya juga tidak suka pada abang dari istrinya.
Di pihak lain, istri membenci teman-teman kantor suaminya. Akibatnya, hubungan mereka menjadi tegang.
Untuk mencegah pertengkaran, suami membisu dan istri memendam. Kedua orang itu melakukan supresi yaitu menekan apa yang hendak diungkapkan.
Suami istri itu takut untuk mengemukakan pendapatnya. Sebenarnya, pendapat seseorang itu bagi yang lain merupakan kontribusi yang tak terkira manfaatnya.
Tidak gampang menyatukan pendapat atau opini. Masing-masing orang bersikeras bahwa pendapatnya itulah yang paling baik dan sempurna. Kadang orang tidak mau menerima second opinion.
Sebenarnya kita harus ingat bahwa setiap pemain profesional itu memiliki pelatih.
Kisah pegolf Tiger Woods memberikan pelajaran untuk kita. Woods memiliki pelatih yang jika bertanding dengan dirinya, tentu pelatihnya akan kalah.
Tetapi, yang perlu diingat bahwa sang pelatih bisa mengetahui yang tidak dilihat oleh pegolf dunia ini. Pemain profesional itu mau menerima pendapat dari orang lain.
Dalam hidup ini, kita sebenarnya saling melengkapi. Ibaratnya, “saling mengisi kekosongan”.
Ada film bagus dengan judul, “Rocky”. Tatkala dalam film itu, Sylvester Stallone mengisahkan tentang tunangannya Adrian, dia berkata, “Saya punya cela, dia punya cela, jadi bersama-sama kami tidak punya cela”.
Kitab Amsal menulis, “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya” (Ams 27: 17).
Memang benar bahwa barang yang tidak dipakai itu lama-lama akan aus, demikian pula dengan pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Pikiran akan menjadi aus jika tidak pernah diasah dengan cara diskusi, berdebat dan adu pendapat. Menurut Pepatah Latin, “Ingenium longa robigine laesum torpet” – Pikiran menjadi tumpul karena tidak pernah dipakai.
Di lain pihak, kita harus sadar bahwa dengan “masuk dalam ranah” saling adu pendapat, kita harus ikhlas untuk lelah, “lelah pikiran”.
Lelah, karena masing-masing orang tidak pernah mau mengalah dengan apa yang menjadi pendapatnya, “Quot capito, tot sensus” – sebanyak kepala sebanyak pula pikirannya.
Komentar