Katoliknews.com – Sebuah laporan yang dirilis pekan ini di Roma terkait persekusi terhadap orang-orang Kristen menunjukkan adanya temuan yang mengkuatirkan.
Dirilis Senin, 15 Juli 2019, laporan bertajuk “Persecuted Christians Review” itu menunjukkan bahwa 125 juta orang Kristen menghadapi persekusi pada 2018, di mana 250 orang dibunuh setiap bulan.
Sebagaimana dilansir Vaticannews.va, pembuatan laporan itu atas tugas dari Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt, dan disiapkan oleh Uskup Anglikan Philip Mounstephen dari Truro.
Perempuan dan anak-anak disebut sangat rentan terhadap kekerasan seksual.
Ketidakpedulian dan impunitas
Wakil Sekretaris Vatikan untuk Hubungan dengan Negara-negara, Mgr. Antoine Camilleri ikut menjadi pembicara dalam acara peluncuran laporan itu di Basilika St. Bartholomew, Roma.
Mengutip Paus Fransiskus dengan bahasa yang juga digunakan dalam laporan itu, Mgr. Camilleri menyebut persekusi terhadap orang-orang Kristen sebagai “semacam genosida yang disebabkan oleh adanya ketidakpedulian kolektif.”
Dia menyesalkan impunitas terhadap kejahatan yang dilakukan atas dasar agama dan perhatian terbatas media terhadap diskriminasi seperti itu.
“Kami telah menyaksikan serangan terhadap individu dan kelompok dari berbagai latar belakang agama oleh teroris, kelompok ekstrimis dan fanatik agama yang tidak menghormati kehidupan orang lain yang memiliki kepercayaan berbeda dari mereka sendiri,” katanya.
Mgr. Camilleri mengatakan penganiayaan terhadap orang Kristen juga seharunya menimbulkan kecemasan bagi penganut agama lain, karena itu menyentuh kebebasan manusia yang paling paling hakiki, yaitu memilih secara bebas suatu agama.
Terjadi di negara demokrasi mapan
Laporan ini fokus pada persekusi yang terjadi di Timur Tengah, Afrika, dan Asia.
Tapi Mgr. Camilleri memperluas ruang lingkup dengan menyebut bentuk-bentuk diskriminasi dan penganiayaan lain yang dilakukan “bahkan di negara demokrasi yang sudah mapan”.
Ada kecenderungan yang berkembang, katanya, “untuk mengkriminalisasi atau menghukum para pemimpin agama karena menunjukkan prinsip-prinsip dasar iman mereka, terutama menyangkut bidang kehidupan, pernikahan, dan keluarga.”
Dia menyebut jenis diskriminasi ini “kurang radikal dibandingkan dengan penganiayaan fisik” tetapi “tetap merugikan kebebasan beragama dan praktik atau ekspresi dari keyakinan itu baik secara pribadi maupun publik.”
Komentar