Katoliknews – Paus Fransiskus meminta seluruh umat Katolik untuk memperkuat relasi dengan kaum Muslim. Hal tersebut disampaikannya dalam kesempatan audiensi dengan 36 uskup Indonesia yang mengadakan kunjungan ad limina ke Vatikan pada 8-16 Juni lalu.
Relasi Katolik-Muslim ini dilakukan dengan cara membawa dokumen Abu Dhabi hingga ‘ke akar rumput’.
Dokumen “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama,” itu ditandatangani pada Februari oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar, Ahmed Al Tayeb dalam konferensi di Abu Dhabi.
Seperti dilansir Indonesia.ucanews.com, imam asal Indonesia yang bekerja di Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama, Pastor Markus Solo Kewuta SVD mengatakan, ada langkah-langkah konkret untuk bisa membawa dokumen itu hingga ke ‘akar rumput’, sebagaimana diharapkan Paus Fransiskus.
Pertama, kata dia, memperbanyak, menyebarluaskan, membaca bersama dokumen ini, baik di tingkat atas, menengah, hingga ke sekolah-sekolah.
Menurutnya, sekolah-sekolah Katolik dan Islam, perlu membaca dokumen ini dan para guru diajak untuk menjelaskan atau menyederhanakan bagian-bagian yang dianggap kabur dan berpotensi disalahpahami.
“Pelajaran agama di sekolah-sekolah bisa menggunakan materi dari dokumen ini sehingga bisa menjadi bahan pengajaran dan penyebaran pesan-pesan sejuk menyangkut toleransi, persahabatan dan persaudaraan lintas agama, kerukunan dan perdamaian,” jelasnya.
Dalam upaya menghidupi spirit dokumen itu, Pastor Markus juga menyampaikan ide yang bisa diterapkan secara nasional.
Ia mengatakan, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama serta Kementerian Dalam Negeri diharapkan bisa bekerja sama untuk mengubah dan atau menerapkan kurikulum pendidikan baru yang menekankan aspek ke-Bbhineka-Tunggal-Ika-an, pendidikan cara pandang dan perilaku yang inklusif, terbuka, merangkul, mulai dari Taman Kanak-kanak hingga ke Perguruan Tinggi.
“Anak-anak didik yang sejak dini, bahkan dari rumah sendiri sudah diindoktrinasi dengan paham-paham atau ajaran-ajaran yang berbau kebencian, diskriminasi, dan kekerasan, tentu sangat tidak mendukung kepribadian yang sehat dan tidak pula mendukung kehidupan bersama yang rukun dan damai,” jelasnya.
Pastor Markus menyebut dokumen tersebut sebagai sesuatu yang unik, progresif dan lugas, yang belum pernah ada sebelumnya.
“Ini sebuah terobosan baru dan besar di dalam sejarah relasi Islam-Katolik yang tentu saja ingin memperbaiki relasi yang tidak baik dan salah selama ini serta memajukan yang masih lemah atau yang hanya tinggal di tempat saja,” katanya.
“Dokumen ini juga merupakan sebuah batu loncatan yang membantu mempersingkat langkah dialog lintas agama, kalau banyak orang menganggapnya selama ini lebih bersifat wacana abstrak dan tidak fokus,” lanjutnya.
Imam asal Larantuka, Flores ini juga menyebut dokumen itu sebagai sebuah ‘seruan kenabian’ yang tidak membungkus kenyataan pahit di dalam retorika indah dan manis, tetapi mengatakan dengan terang benderang apa masalah kita bersama yang paling besar saat ini dan apa yang harus kita lakukan, kalau kita ingin hidup dalam damai.
Secara positif, kata dia, dokumen ini mula-mula bertujuan untuk mempererat tali dan ikatan persaudaraan antara umat Islam dan umat Kristiani sehingga memudahkan kerja sama keduanya dalam membangun sebuah masyarakat yang tentram, rukun dan damai.
“Dokumen ini ingin menyadarkan semua umat Islam dan Kristiani, di mana saja berada, untuk bersama-sama mengakui dan menjamin hak-hak asasi setiap individu, baik sebagai pemeluk agama, maupun sebagai warga negara,” katanya.
“Semua kembali disadarkan bahwa semua manusia, apapun agamanya, adalah sebuah keluarga kemanusiaan, di mana semua orang memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama,” jelas Pastor Markus.
Menurutnya, semua ingin disadarkan bahwa sebenarnya kita semua sudah memiliki sebuah akar paling dalam yang menyatukan ketika kita ingin berdialog satu dengan yang lain, yakni rasa kemanusiaan yang inheren dalam hati setiap orang, sebelum seseorang memeluk sebuah agama.
Karena itu, jelasnya, kehadiran agama adalah untuk menggarisbawahi, memperkuat dan memberi nilai atau dimensi spiritual kepada rasa kemanusiaan kita itu.
“Jadi, di dalam upaya dialog dan kerja sama kita, sebetulnya kita tidak memulai dari nol,” katanya.
Ia juga menegaskan, dokumen itu mengajak kedua belah pihak untuk memajukan budaya dialog sebagai sebuah jalan hidup baru dan cara pandang baru.
“Sesuatu yang dianggap atau dinilai membudaya adalah sesuatu yang baik dan diakui oleh berbagai pihak, yang mempersatukan dan membentuk identitas bersama,” katanya.
Komentar