Katoliknews.com – Tradisi Semana Santa yang sudah bertahan selama 500 tahun telah menarik banyak orang ke Larantuka, Flores Timur, tempat acara itu digelar setiap tahun saat Pekan Suci.
Tentu saja, idealnya mereka datang dengan intensi yang suci, merayakan misteri sengsara, wafat dan kembangkitan Yesus.
Pelayanan pastoral untuk mereka sejauh ini diserahkan kepada masing-masing perusahan jasa ziarah, yang juga umumnya mendatangkan sendiri imam, yang membantu pendampingan selama berada di Larantuka.
Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah peziarah selalu stabil, kecuali tahun ini, yang dilaporkan agak berkurang, diduga karena insiden kapal tenggelam dalam prosesi Jumat Agung pada 2014 lalu, dimana 9 orang tewas.
Data dari Pemerintah Kabupaten Flores Timur menunjukkan, pada tahun 2012 jumlah peziarah mencapai 11.253 orang dari nusantara dan mancanegara, belum termasuk peziarah lokal NTT serta umat Keuskupan Larantuka. Sementara tahun 2013, jumlahnya mencapai 15.300 peziarah.
Sangat mudah menyaksikan umat dari daerah lain di Indonesia selama acara, juga beberapa dari mancanegara.
Umumnya mereka datang dengan jalur udara, dari Jakarta ke Kupang, lalu kemudian terbang menuju Larantuka. Masih sangat sedikit yang memilih melewati jalur Labuan Bajo di ujung barat Pulau Flores, karena harus menempuh jalan darat sekitar 20 jam untuk sampai di Larantuka.
Pilihan lain, adalah terbang menuju Ende atau Maumere, karena jaraknya yang lebih dekat dengan Larantuka.
Kehadiran peziarah tentu mendatangkan kontribusi tersendiri bagi warga di Larantuka, dan sebagian warga Flores umumnya.
Di sejumlah lokasi misalnya, orang menangkap peluang bisnis dengan mencetak baju bertuliskan Semana Santa.
Di sekitar lokasi Kapela Tuan Ma dan Kapela Tuan Ana tampak berjejer meja jualan. Barang-barang yang dijual tak lagi sebatas makanan dan minuman ringan. Benda-benda rohani, seperti patung, salib, gambar-gambar kudus, rosario, dan buku-buku doa berderet dan bergelantungan. Produk lokal yang terbilang sangat laris adalah lilin-lilin yang dibuat sendiri oleh umat setempat.
Begitu pun para pemilik hotel dan penginapan lain, serta rumah warga yang disulap menjadi home stay.
Meski hingga kini, belum ada penelitian yang mengkaji scara khusus apa dampak riil bagi ekonomi masyarakat dengan kehadiran peziarah ke Larantuka, namun, dari apa yang tampak selama acara ini, bisa dipastikan bahwa banyak yang mendapat keuntungan.
Hal yang perlu dipikirkan ke depan adalah bagaimana membangun jaringan wisata dari Labuan Bajo di Flores Barat hingga Larantuka, mengingat di daratan pulau bermayoritas Katolik itu, ada banyak lokasi menarik yang bisa “dijual” kepada peziarah. Ini juga bagian dari upaya memperluas dampak ekonomi dari tradisi Semana Santa.
Di tengah gejala itu, ada soal lain yang perlu mendapat perhatian, bahwa membisniskan tradisi rohani seperti itu ikut menghadirkan tantangan. Bahwa, lebih banyak yang sekedar melihat manfaat ekonomi dari hal tersebut, sementara esensinya sebagai ziarah mulai kian terkikis. Lantas, Semana Santa hanya dianggap sebagai ritual tahunan.
Tentu saja, memanfaatkan momen ziarah ini, sebagai lahan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, juga sah-sah saja. Idealnya, ini tetap dipertahankan sebagai ziarah iman sekaligus peluang untuk mendapat uang, mengingat masih banyaknya warga setempat yang miskin.
Ini memang tidak mudah, karena mengandaikan peran multi pihak, antara lain Gereja lokal, pemerintah dan suku-suku di Larantuka, untuk menentukan batasan-batasan, mana yang bisa “dibisniskan”, mana yang tidak. Juga upaya penyadaran, bahwa tradisi itu akan kehilangan makna, jika ditatap sebagai momen yang mendatangkan rezeki semata.
Tuhan kiranya tidak keberatan saat orang mencari keuntungan dari warisan tradisi rohani seperti Semana Santa. Asal, esensi dari warisan tradisi itu tidak kemudian hilang, karena terlampau menitikberatkan perhatian pada soal mamon.
Aria/Katoliknews/Majalah Rohani
Komentar