Katoliknews.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengingatkan agar semua pihak senantiasa memelihara toleransi dan menghargai keberagaman, terutama terkait agama.
Imdadun Rahmat, Ketua Komnas HAM menyatakan, “intoleransi tidak boleh kita biarkan, tetapi harus mendapat perhatian kita semua untuk meminimalisir dan mengatasinya.”
Hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, jelasnya, adalah hak yang paling tinggi, hak nomor wahid dan karena itu dikumpulkan dalam satu rumpun dengan hak kita untuk tetap bernyawa.
“Jadi hak itu sederajat dengan hak kita untuk tetap memiliki hidup, memiliki jiwa, bernyawa dan bernafas,” katanya, Sabtu, 10 September 2016 saat menjadi keynote speaker dalam seminar bertajuk “Intoleransi Merajalela: Rapuhkah Bhinneka Tunggal Ika?.”
Seminar itu yang digelar di Aula Paroki St Anna, Duren Sawit, Jakarta Timur, diselenggarakan atas kerja sama Seksi Hubungan Antaragama dan Kemasyarakatan (HAAK) paroki itu dan Vox Point Indonesia (VPI), sebuah Perhimpunan para awam Katolik yang peduli soal-soal sosial politik dan kemasyarakatan di Indonesia.
Di dalam konsep Hak Asasi Manusia, kata Imdadun, kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapat proteksi yang teramat serius dan tinggi.
Ia menjelaskan, kebebasan beragama memiliki dua unsur penting, yaitu unsur internal (forum internum) dan unsur eksternal (forum eksternum).
Forum internum, katanya, terkait aktivitas pikiran, nurani dan hati. Hal ini, urainya, bersifat abstrak karena berada di hati sanubari setiap manusia yang memiliki kepercayaan dan dalam pelaksanaannya tidak boleh dibatasi entitas apapun termasuk oleh undang-undang.
Keberadaan hak ini, katanya, tidak boleh diintervensi, bahkan oleh negara sekalipun.
“Kita berhak memilih agama apa, memilih aliran kepercayaan apa, memilih denominasi apa atau memilih agama lokal apa, karena memilih itu terkait dengan iman,” tegas Imdadun.
Iman itu, katanya, ada di dalam pikiran, di mana menurutnya, tanpa diaturpun keimanan itu tidak akan mengganggu orang lain.
Sedangkan forum eksternum, katanya, adalah kebebasan menjalankan praktik keagamaan dan keyakinan atau sebagai manifestasi dari keyakinan itu, seperti beribadah, mendirikan tempat ibadah, berangkat haji, memakai jilbab atau kopyah, menguburkan jenazah, merayakan hari-hari keagamaan dan lain sebagainya.
Ekspresi keagamaan ini, jelasnya, seharusnya mendapat keleluasaaan seleluasa-leluasanya.
Kecuali, kata dia, ucapan, tindakan serta pengamalan agama itu dikhawatirkan mengganggu kebebasan dan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan orang lain.
Seminar itu juga menghadirkan pembicara yakni cendekiawan Nahdatul Ulama (NU), Zuhairi Misrawi; Wakil Ketua Bidang Rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) DKI Jakarta, Rudy Pratikno dan Aktivis Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Masyarakat Dialog Antaragama (MADIA), Trisno Sutanto.
Misrawi dalam paparannya menjelaskan apa saja yang harus dilakukan untuk membangun republik yang toleran.
Jika terjadi intoleransi, menurut dia, maka modusnya adalah penolakan atas status dan akses yang sama terhadap kelompok lain (restriction), adanya pandangan yang menganggap kelompok lain lebih rendah (de-humanization), pengabaian hak-hak sipil, politik dan ekonomi (oppression), penyerangan dan melakukan pembunuhan (act of aggression), pengorganisasian pembunuhan massal (mass-violence) dan pembasmian atas dasar identitas (genocide).
Adapun kelompok-kelompok yang menjadi sasaran, katanya, adalah Ahmadiyah, Syiah, Kristen, Katolik dan Buddha.
Misrawi menyampaikan data bahwa sejak tahun 1998-2003 terdapat 428 kasus intoleransi bernuansa agama. Menurut data United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR), dari tahun 1998-2000 terdapat 297 kasus.
Sementara itu, data lain dari Setara Institute for Justice and Peace menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2008 terdapat 367 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan.
Dan, menurut Moderat Muslim Society, jelas Misrawi, sepanjang tahun 2009 terjadi 59 kasus intoleransi dan 81 kasus pada tahun 2010.
Sementara itu, data dari The Wahid Institute yang sekarang berubah nama menjadi Wahid Foundation, pada tahun 2011, terdapat 183 kasus intoleransi. Sementara pada 2013, ada 245 kasus.
Untuk, 2014, mengutip data Setara, ada 63 peristiwa dan 56 tindakan intoleran, tahun 2015, 197 peristiwa dan 236 intoleran.
Titik problematiknya, menurut Misrawi, terjadi karena adanya benturan peradaban, benturan fundamentalisme, globalisasi ekstremisme atas nama agama, identitas soliter dan kebangkitan agama-agama.
Sementara itu, Rudy Pratikno dari FKUB DKI menilai terjadinya intoleransi karena adanya ketidakpatuhan terhadap hukum, adanya kesenjangan sosial-ekonomi serta pemahaman agama yang masih minim.
Di sisi lain, Trisno Sutanto menyampaikan bahwa seharusnya sejak reformasi, konstitusi kita semakin menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Bahkan, katanya, pasal 28E UUD 1945 juga telah menjamin warga negara Indonesia dalam kebebasan beragama.
“Tetapi, jika konstitusi hanya konstitusi, tetapi tidak diturunkan menjadi produk hukum, maka konstitusi akan menjadi macan ompong, masih terjadi pembiaran dan diskriminasi,” ungkap Trisno.
Ia berpendapat bahwa umat beragama perlu bergaul dengan umat yang berbeda agama lainnya, perlu mempelajari agama lain, sehingga tidak terperangkap dalam pemikiran hanya agamanya saja yang benar.
Kegiatan live in lintas agama, jelasnya perlu dikembangkan.
Di Ambon, lanjut Trisno, orang masih beranggapan bahwa kehidupan toleransinya paling buruk.
“Tetapi jika kita ke Ambon, disana justru terjadi harmoni yang sangat bagus antarumat beragama. Ada yang mereka sebut sebagai ‘provokator’ perdamaian. Kerjasama lintas agama mereka kedepankan untuk menjaga daerahnya tetap kondusif,” paparnya.
Di akhir seminar, para narasumber sepakat untuk menjalin kerja sama yang harmonis untuk meminimalisir kasus-kasus intoleransi di Indonesia.
Edy/Katoliknews
Komentar