Oleh: Pastor Mike Peruhe OFM, Koordinator Bidang Advokasi JPIC OFM Indonesia
Kisah pertambangan di berbagai negara, termasuk di seluruh wilayah Indonesia, tak pernah luput dari cerita konflik multi-pihak dan multi-dimensional. Sejarah panjang pertambangan di Indonesia, misalnya, dimulai sejak akhir abad XIX oleh Rejim Penjajah Belanda, menimbulkan gejolak kepemilikan.
Karena itu, Pada tahun 1958 Presiden Soekarno menasionalisasikan korporasi pertambangan Belanda kedalam perusahaan milik negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Beberapa contoh perusahaan pertambangan nasional dan multinasional di tanah air selalu dihiasi berbagai konflik multi-pihak dan multi-dimensional.
Kehadiran PT Freeport Indonesia berdasarkan persetujuan Pemerintah, Kontrak Kerja, dalam perjalanan aktivitas penambangan menimbulkan berbagai konflik dengan masyarakat lokal (Suku Amungme dan Komoro).
Di daerah Minahasa Raya, masyarakat Pante Buyat berkonflik dengan Perusahaan tambang PT Newmont Minahasa Raya (NMR) akibat tailing beracun yang mencemari teluk buyat. PT Manggarai Manganese yang mendapat konsesi eksplorasi di Kabupaten Manggarai Timur juga diwarnai konflik dengan masyarakat lokal.
PT Sumber Jaya Asia (SJA) yang menambang di Hutan Lindung Galak Rego pun menuai masalah dan konflik. Itulah sejumlah contoh kasus konflik yang terjadi dalam proses penambang mineral di wilayah Nusantara.
Menakar Makna dan Akar Konflik
Deanna Kemp dalam Just Relations and Company-Community Conflict in Mining (2010), menyebut sumber konflik di sektor pertambangan berakar pada relasi yang tidak setara antara warga dan korporasi (pengusaha). Hubungan yang tidak setara itu berakibat pada pembagian keuntungan yang tidak adil.
Dalam kajian Deanna Kemp, eskalasi konflik dipicuh oleh kepentingan ekonomi atau ketahanan sumber-sumber penghidupan, akses dan kepemilikan terhadap tanah dan air serta dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas industry ekstraktif.
Selain itu, konflik dapat bersumber pada masalah gender, pelemahan terhadap kohesi sosial dan keyakinan budaya, kekerasan atau pelecehan hak-hak dasar warga (HAM) dan ketidak-adilan dalam distribusi keuntungan.
Dengan kata lain, konflik terjadi karena perusahaan tambang mengabaikan persoalan-persoalan lingkungan yang terkaiterat dengan dimensi kemanusiaan.
Berdasarkan model triangle konflik dari Johan Galtung (Miall, H; Rambostham, O& Woodhouse, T, 2005), konflik diilustrasikan sebagai kontradiksi antar semua pihak karena perbedaan kepentingan.
Konflik dalam aras ini dipicuh oleh perbedaan kepentingan dalam relasi, kesalah-pahaman (misperceptions), emosi (ketakutan, kemarahan dan kegetiran), pemaksaan, permusuhan, ancaman dan serangan destruktif yang terjadi diantara pemangku kepentingan.
Tensi ketegangan dan konflik dapat meningkat secara signifikan manakala semua pemangku kepentingan tidak mampu membangun sebuah komunikasi dan pemahaman yang baik dan efektif. Perbedaan persepsi dan paradigma yang tajam juga dapat merusak relasi dan meningkatkan konflik.
Huang (2003) menyatakan bahwa kebanyakan konflik pertambangan dipicuh oleh ketidak cocokan persepsi di antara para pemangku kepentingan, apalagi di hadapan realitas kesenjangan yang ditimbulkan oleh ketidak-setaraan dalam pembagian hasil investasi.
Konflik juga bersumber dari sebuah relasi kemanusiaan yang tidak harmonis antar para pihak (Le Baron and Pillay, 2006, 16).Ketika relasi tersebut retak dan sulit terbangun kembali, diperparah oleh perbedaan paradigma, dapat menyebabkan konflik semakin memburuk dan rumit.
Pada titik ini, disadari bahwa betapa sulit menemukan pemecahan masalah atau solusi yang tepat. Di tengah pusaran konflik, setiap pihak merasa terluka dan dilukai oleh yang lain.
Karena itu, betapa pentingnya semua pemangku kepentingan menyadari posisi dan berusaha membangun relasi nir-konflik dengan yang lain.
Dalam perspektif budaya, Stenholm and Jensen (2000)meyakini bahwa perangkat nilai, keyakinan, norma, adat-istiadat, aturan dan kearifan lokal dapat dijadikan perekat sosial di antara satu-sama lain agar memberi rasa nyaman bagi semua yang terlibat dalam konflik tersebut (dikutib dari Cooper et al, 2007: 6).
Di hadapan konflik yang selalui mewarnai sektor usaha pertambangan, segelintir orang berpendapat bahwa konflik tidak selalu destruktif, tetapi memiliki sebuah potensi kekuatan positif yang mengarah pada hasil yang lebih baik pada tingkat komunitas lokal (Bebbington and Burry, 2009; Zandvliet, 2005; Zandvliet and Anderson, 2009).
Dalam perspektif ini, semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik semakin menyadari makna keadilan dan kesetaraan, mengerti tentang hak-hak dasar orang lain yang harus dihargai dan diakui. Konflik mendorong semua pihak untuk memahami dan menemukan model dan strategi penyelesaian konflik yang tepat dan bermartabat.
Jadi, salah satu dampak positif dan konstruktif dari sebuah konflik yang terjadi adalah adanya peningkatan pemahaman dan kesadaran baru pada semua pihak. Bagaimana pun, dalam sebuah konflik, semua pihak mengalami peningkatan pengetahuan tentang segala sesuatu yang terkait erat dengan kepentingan kelompok dan hajat hidup orang banyak.
Lebih dari itu, semua pihak juga dapat belajar apa artinya transparansi, akuntabilitas serta semua langkah prosedural yang dibutuhkan untuk terlaksananya sebuah investasi yang aman danprofitable demi kesejahteraan hidup bersama (common good).
Jelaslah bahwa ada beberapa faktor kontekstual yang berperan dalam melahirkan konflik di sektor pertambangan (Bdk. Bebbington et al., 2008). Para pakar tetap konsisten pada temuan mereka bahwa kelalaian dan kurangnya koordinasi oleh pihak manajemen perusahaan telah menjadi penyebab terjadinya konflik antara korporasi dan warga komunitas setempat.
Dampak negatif yang menimbulkan eskalasi konflik yang lebihbesar ketika penambangan terjadi di atas tanah komunal atau adat (hak ulayat masyarakat adat), di mana terjadi benturan paradigma, persepsi, pemaknaan nilai-nilai kearifan lokal antara korporasi dan masyarakat adat setempat berkaitan dengan tanah dan segenap pranata budayanya.
Dalam banyak kasus, korporasi hanya melihat tanah dan segenap kekayaannya dalam perspektif ekonomi-bisnis (nilai komoditi). Sementara itu, tanah bagi sejumlah masyarakat adat Nusantara, memandang tanah dalam perspektif kultural sebagai ibu yang memberi makan kepada mereka. Ibu tanah ini harus dirawat dan dipelihara, bukannya dijual untuk dihancurkan.
Studi Kasus
Dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh Bebbington dan Bury (2009) berkaitan dengan konflik tambang di Peru, disimpulkan bahwa keterlibatan pihak ketiga (third parties) akan meningkatkan keberlanjutan (sustainability) konflik dan bahwa ‘broker’ atau makelar dari luar dapat memperkuat kekuasaan yang asimetris dan melestarikan konflik.
Jika ditelaah lebih jauh, maka secara faktual, korporasi memiliki aturan mainnya sendiri yang tidak memadai untuk mencapai keadilan di hadapan konflik sumber daya alam. Dalam kasus pertambangan di Peru dan juga dapat terjadi di wilayah lain di dunia, ditemukan bahwa konflik selalu terkait erat dengan tiga hal yakni alokasi lahan, relasi kekuasaan dan kesenjangan, dan kegagalan korporasi merespon pemahaman dan cara pandang masyarakat adat.
Bagaimana pun, konflik itu muncul karena masyarakat adat di sekitar tambang tidak diberi kesempatan untuk menyuarakan kepentingan dan kebutuhan mereka dalam konteks investasi.
Penelitian di sektor pertambangan, yang dilakukan oleh Bidang Advokasi JPIC OFM Indonesia (2012, 2013 & 2014), ditemukan berbagai faktor dan aktor dalam konflik pertambangan. Dalam studi kasus PT Arumbai Mangabekti, PT Manggarai Manganese, PT Aditya Bumi Pertambangan, PT Soe Makmur Resources, disana dapat dipetakan model konflik pertambangan.
Konflik pertambangan multi-dimensional, melibatkan multi pihak, seperti Perusahaan Pertambangan, komunitas setempat, Gereja dan LSM lokal, Pemerintah setempat, masyarakat adat, pemilik lahan, para pekerja lokal, aparat keamanan (Kepolisian dan TNI) dan aparat penegak hukum (Kejaksaan dan Pengadilan setempat). Konflik itu terpolarisasi dalam dua kelompok kepentingan investasi, yang disebut dengan pro-kontra pertambangan.
Secara sederhana, para aktor yang terlibat dalam konflik pertambangan dapat dikategorisasikan sbb: Kategori pertama adalah para pihak pro (setuju) investasi pertambangan biasanya terdiri dari korporasi pertambangan, Pemerintah setempat yang menerbitkan IUP, aparat keamanan dan penegak hukum, Tua adat dan warga adat yang sudah “dibeli” oleh perusahaan dan yang sudah diintimidasi oleh Pemerintah dan aparat keamanan dan penegak hukum serta para pekerja lokal.
Kategori kedua adalah para pihak yang kontra (menolak) investasi pertambangan. Mereka itu adalah Gereja setempat, lembaga Gereja pro Lingkungan hidup, LSM lingkungan dan anti pertambangan, warga masyarakat (korban eksploitasi tambang dan yang terkena dampak), Tua adat yang mempertahankan hak ulayat dan para pemilik lahan.
Faktor pemicuh konflik bisa beragam. Konflik dapat bersumber dari kontestasi lahan komunal adat (tanah ulayat) yang melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan, kebutuhan dan posisi yang berbeda-beda.
Akar konflik ini berelasi erat dengan masalah partisipasi warga masyarakat dalam proses pengambilan keputusan bersama (musyawarah kampung), yang dihubungkan dengan berbagai tekanan dan manipulasi dari orang lain, kekuasaan yang tidak setara dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Bdk. Kovenan internasional tentang hak asasi manusia).
Konflik akan memunculkan pola-pola resistensi dan perlawanan serta protes yang berkepanjangan. Aksi protes dan perlawanan biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok anti pertambangan untuk menggugat kebijakan pertambangan dan mendorong pembatalan ijin usaha pertambangan (IUP) di sebuah wilayah pertambangan.
Gerakan perlawanan komunitas masyarakat lingkar tambang muncul dari sebuah kesadaran akan kehilangan hak-hak ekonomi, social dan budaya setempat. Lahan-lahan pertanian dialihkan menjadi wilayah pertambangan. Demikian juga kekayaan hutan yang terawat serta sumber-sumber air yang menopang kehidupan masyarakat tergaruk-hilang oleh aktivitas penambangan yang masif.
Warga masyarakat terjebak dalam pusaran konflik, tindakan intimidasi dan manipulasi serta iklim ketidak-nyamanan dalam ruang kehidupan mereka. Alih-alih menyejahterakan warga, menaikan pendapatan ekonomi keluarga dan mempercepat pembangunan, warga justeru terpental dalam labirin persoalan yang rumit dan berkepanjangan.
Jika membaca alur historis dari kehadiran dan aktivitas pertambangan di sleuruh wilayah Nusantara, maka hampir pasti bahwa semua perusahaan pertambangan tidak luput dari konflik, meski secara yuridis telah mengantongi ijin usaha pertambangan dari Pemerintah setempat.
Fakta historis ini nampaknya tidak pernah mendapatkan sebuah solusi yang tepat, khususnya dari para pengambil kebijakan di negeri ini. Disinyalir bahwa hingga saat ini Pemerintah belum menyediakan seperangkat peraturan yang dijadikan pedoman resolusi konflik di wilayah pertambangan.
Pedoman tersebut mestinya menjadi semacam seperangkat proses, langkah dan tahapan yang dapat digunakan untuk penyelesaian konflik pertambangan demi jaminan kepastian sebuah investasi.
Lebih dari itu, pedoman tersebut dapat dimanfaatkan untuk menjamin hak-hak masyarakat kecil dan semua pemangku kepentingan yang terlibat di dalam konflik pertambangan.
Karena itu, satu hal yang paling penting untuk meminimalisir konflik pertambangan adalah kebutuhan untuk membangun hubungan, konsultasi dan partisipasi yang baik di antara multi-stakeholders.***
Komentar