Bagi kita orang-orang Kristen, menjadi murid berarti menjadi pengikut Tuhan Yesus, yang kita imani sebagai Juru Selamat dan Allah kita. Yesus adalah guru kita, dan kita adalah murid-Nya. Pemuridan atau menjadi murid Yesus merupakan upaya yang memiliki banyak segi, namun ada dua aspek yang secara serius diperhatikan dalam Injil. Salah satunya adalah dengan memikul salib lalu mengikuti Yesus; yang kedua tanggapan terhadap kehendak Allah yang terungkap dalam kehidupan konkret.
Lantas, bagaimana agar kita menjadi murid yang baik? Siapa tokoh yang layak kita tiru untukmenjadi murid Yesus? Hemat kami, Kekristenan tidak kekuarangan orang untuk menjadi contoh atau panutan dalam mengikuti Guru kehidupan dari kota kecil Nazaret itu. Kita juga tiak kekurangan sumber untuk mengetahui banyak inspirasi dalam usaha kita menjadi murid Yesus.
Bagaimanapun, di antara banyak tokoh Kristen, Perawan Maria adalah murid yang unggul. Ia menjadi “role model” kita dalam usaha dan niat kita menjadi murid Yesus. Dia menjadi contoh yang paling paripurna.
Lantas, apa? Apa yang ditunjukkan Ibu Yesus dan istri Yusuf yang berasal dari keturunan Daud itu?
Kita mungkin tidak selalu merenungkan bahwa ia juga ikut menderita atau ikut memikul salib. Penderitaan dan kesetiaan pada kehendak Tuhan terwujud dalam kehidupan Maria dan menjadi teladan pemuridan yang bisa kita teladani. Dapat ditambahkan bahwa devosi kita kepada Maria mencapai titik tertinggi ketika kita menjalani kehidupan yang sama seperti yang dijalani oleh Perawan Maria.
Yesus, Anaknya, mengajarkan bahwa seorang murid sejati harus memikul salib setiap hari dan mengikuti-Nya. Kehidupan Maria, sejak awal panggilannya, ditandai dengan berbagai macam salib.
Salib pertamanya adalah saat sebagai seorang wanita yang bertunangan, dia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia mengandung kendati ia tahu itu dari Roh Kudus. Ia bergumul untuk menceritakan hal itu kepada Yosef, tunangannya. Yosef rupanya ingin menceraikannya secara diam-diam. Sebagai manusia, Anda bisa membayang beban yang dipikul Maria saat itu. Bukankah itu salib?
Salib keduanya adalah ketika Anak itu akan dilahirkan, yang mana “tidak ada tempat di penginapan” dan Anak itu pun dilahirkan dalam keadaan yang paling miskin. Di kandang domba. Terbaring dalam palungan, tempat makan ternak para gembala. Ibu mana pun di dunia ini akan berusaha menghindari situasi yang memalukan seperti itu. Namun, itu adalah nasib Maria: memikul salib.
Salib ketiganya adalah saat di Bait Suci. Simeon meramalkan kehidupan yang menyedihkan bagi Maria. Bahwasanya sebuah pedang akan menikam jiwanya. Dengan Yesus yang masih sangat muda, mereka harus diungsikan ke Mesir untuk menghindari kebrutalan Herodes yang takut kehilangan kekuasaannya karena penglihatan para majus baha seorang raja sudah lahir bagi bangsa itu.
Salib keempatnya tentu saja Sang Putra yang didera, disiksa, dan disalibkan. Seiring berlalunya waktu, Yesus akhirnya meninggalkan rumah dan mengembara sebagai seorang pengkhotbah yang didengar dan diterima oleh banyak orang namun ditolak oleh mereka yang berkuasa. Hal ini menyebabkan penderitaan dan kematian-Nya serta penderitaan Maria di kaki salib.
Kehendak Tuhan adalah yang terpenting dalam hati Perawan Maria. Pada saat menerima Kabar Sukacita dari Malaikat Gabriel, dia berkata, “Jadilah kehendak-Mu.”
Dalam kisah Kelahiran Yesus, kita menemukan Maria mendengarkan dan menghargai kesaksian yang diberikan kepadanya oleh para gembala. Dia menerima kehendak Tuhan dalam hidupnya. Kehendak Ilahi diterima dan hati terbuka terhadap segala hal yang terjadi selanjutnya.
Kata-kata Yesus “Mengapa kamu mencari Aku …. “ ketika ditemukan setelah tiga hari menghilang diendapkan dalam hati oleh Maria. Injil menceritakan bagaimana dia merenungkannya di dalam hatinya. Sekali lagi kehendak, firman Tuhan adalah inti kehidupannya.
Saat pesta pernikahan di Kana Maria juga mendapat kata-kata yang mungkin tak selayaknya ia terima sebagai seorang ibu: Mau aapakah engkau dari pada-Ku, Ibu. Tetapi, kita tahu Maria dalam imanya mengatakan kepada pelayan-pelayan pesta itu, “Lakukan apa yang Dia perintahkan kepadam.”
So What?
Salib dan peristiwa-peristiwa yang dialami Maria mencerminkan bahwa ia terus-menerus taat dalam menanggapi kehendak Allah. Belakangan kita tahu Yesus memuji Ibunya secara tidak langsung ketika Dia berkata kepada orang banyak, “Berbahagialah orang yang mendengar firman Allah dan menaatinya.”
Akhirnya , di Golgota ketika Yesus dalam sakratul maut, Dia menyerahkan Ibunya kepada Yohanes dan, dalam diam, Maria menerima kata-kata terakhir Yesus kepadanya.
Merenungkan Injil di mana kita berjumpa dengan Maria berarti menemukan dia selalu siap untuk mendengarkan, menghargai, dan melakukan kehendak Allah dan, dengan demikian, dia adalah teladan bagi semua murid Tuhan termasuk kita yang hidup di zaman ini.
*Redaksi. Dari berbagai sumber.
Komentar