Allah yang kita imani adalah Allah yang peduli dan solider. Allah kita adalah kasih. Bahkan, Ia mengambil pilihan yang paling ekstrem untuk menunjukkan dan memperlihatkan kasih-Nya kepada kita, yakni dengan menderita dan wafat Putra Tunggal-Nya sendiri di kayu salib. Ia mengasihi kita tidaklah setengah-setengah; all out, total, beri habis, tidak ada yang tersisa.
Dalam bingkai inilah, kita melihat bahwa Yesus Tuhan memerintah manusia bukan dengan senjata, bukan dengan kekerasan, bukan dengan kekuatan yang membuat orang takut, melainkan dengan menyerahkan hidup-Nya di kayu salib.
Di sinilah, Salib itu mempunyai arti baru. Ia tidak sekadar kayu palang penghinaan, tetapi serentak merupakan puncak pernyataan cinta kasih Allah kepada kita manusia. Dari salib itu, kita disucikan dari dosa, dan dibebaskan dari kuasa kejahatan dan maut. Darah segar Yesus yang mengalir deras dari atas Kayu Salib menyucikan dan memurnikan kita semua. Sebab dengan darah-Nya yang mengalir dari kayu Salib, Ia telah menebus dosa-dosa kita manusia.
Sekali lagi, Salib adalah wujud nyata solidaritas Allah kepada manusia. Allah memang membenci yang namanya dosa, tetapi Ia tetap mencintai orang-orang berdosa. Sebanyak dan seberat apa pun dosa kita, tidak pernah mengubah keputusan Allah untuk tetap mencintai kita.
Maka, apabila kita menyembah salib pada peristiwa Jumat Agung, pusat perhatian kita mestinya tidak hanya pada penderitaan yang dialami Yesus, tetapi juga pada butir-butir Kasih Allah yang terpancar pada salib Putra-Nya itu. Kasih itulah kemuliaan Tuhan.
Mari kita memuliakan Tuhan Yesus, Raja yang Tersalib. Mari kita mencium salib dengan rasa bangga, karena salib adalah lambang kasih yang menang, kasih yang mulia. Di bawah kaki salib Yesus: kekerasan, kebencian, penipuan, pembohongan, nafsu, keserakahan, seluruh kekuatan yang bertentangan dengan cinta kasih bertekuk lutut.
Yesus mengatakan, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mrk. 8:34). Hemat kami, ada tiga tuntutan utama yang ditekankan Yesus dalam sabda-Nya ini.
Pertama, menyangkal diri. Dasar dari penyangkalan diri adalah pemahaman dan kesadaran bahwa keselamatan hanya berasal dari Tuhan dan tak seorang pun memperolehnya dengan caranya sendiri. Dengan kata lain, keselamatan itu bukan hasil usaha manusia, melainkan rahmat dan buah kasih Allah kepada manusia.
Usaha untuk menyangkal diri dapat ditunjukkan dengan berani menolak “TUNDUK” pada ambisi-ambisi pribadi; berani mengabaikan keinginan dan kepentingan pribadi demi terlaksananya kehendak dan rencana Allah.
Kedua, memikul salib. Selain berani menyangkal diri dari segala ambisi pribadi, seorang pengikut Kristus harus juga mampu dan bersiap sedia untuk memikul salibnya sendiri. Memikul salib berarti siap sedia menerima luka dan derita dalam hidup, berani menanggung risiko dari setiap pilihan hidup. Lebih dalam dari semuanya itu, memikul salib berarti harus berani menderita demi kemuliaan Tuhan dan kebahagiaan sesama.
Tentang hal ini, mari kita belajar dari Yesus, Sang Guru Agung kita. Ia rela dihina dan menderita sengsara, bahkan sampai wafat di kayu salib untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa dan maut. Ia berani memberi diri-Nya sehabis-habisnya untuk keselamatan manusia. Sekali lagi, memikul salib berarti berani menderita demi kemuliaan Tuhan dan kebahagiaan sesama. Namun, tidak semua penderitaan yang kita alami mempunyai makna seperti itu. Hanya penderitaan yang terjadi karena mengikuti kehendak Tuhanlah yang termasuk dalam kategori memikul salib.
Karena itu, salib selalu identik dengan cinta dan pengorbanan. Kalau kehabisan uang karena berfoya-foya, urus minum-mabuk, itu bukan salib, tetapi kalau habiskan uang untuk membiayai sekolah dan kuliah anak-anak, untuk kesejahteraan keluarga, untuk bantu orang yang susah, itu baru disebut sebagai salib, karena di dalamnya dituntut sebuah pengorbanan dan cinta yang luar biasa tanpa batas.
Jadi, ungkapan memikul salib dalam konteks panggilan menjadi pengikut Kristus, sekali lagi lebih berhubungan dengan kesiapsediaan dan keberanian kita untuk menderita demi kebahagiaan sesama dan demi kemuliaan Tuhan, bukan demi kesenangan pribadi.
Ketiga, mengikuti Yesus. Keberanian untuk menyangkal diri dan kesiapsediaan untuk memikul salib mesti berujung pada komitmen untuk mengikuti Yesus setiap hari. Menjadi pengikut Yesus berarti berani meneladan pola dan gaya hidup Yesus. Sama seperti Yesus menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Bapa dan membiarkan Allah berkarya di dalam diri-Nya. Kita pun hendaknya demikian.
Maka, apabila kita mencium salib, marilah kita mengungkapkan kebanggaan iman kita akan kemenangan salib. Marilah kita dengan bangga berjanji untuk memikul salib hidup kita, bukan sebagai beban yang membuat kita mengeluh, jengkel dan marah. Marilah kita dengan bangga memikul salib hidup kita, kalvari-kalvari kecil kita setiap hari: penderitaan, kesusahan, tanggung jawab, korban, kerja sebagai partisipasi kita dalam kemenangan salib Kristus untuk menyelamatkan sesama.
Setelah mencium salib, marilah kita kembali ke rumah kita masing-masing tidak dengan muka muram seperti orang yang kalah perang, tetapi dengan hati lapang, menyiapkan diri kita, menyongsong hari kebangkitan Tuhan, Paskah Agung, yang penuh sukacita. Semoga Salib Suci Tuhan Yesus senantiasa meneguhkan iman kita semua. Amin.
RD Ardus Endi, berkarya di Seminari Menengah Petrus van Diepen, Sorong-Papua.
Komentar