Selamat berhari Minggu untuk kita semua. Sudah satu pekan kita lalui bersama sambil merenungkan sengsara dan penderitaan Yesus. Tapak-tapak ziarah jalan salib Yesus mau memperlihatkan solidaritas-Nya terhadap kita umat manusia. Bentuk solidaritas Yesus ini bukan recehan alias murahan, melainkan sebuah pengorbanan yang sangat mahal dan tak ternilai sebab dengan darah-Nya yang tertumpah di kayu salib, Ia telah menebus dosa-dosa umat manusia.
Dalam masa khusus ini, sembari merenungkan kisah sengsara Yesus, kita pun dituntut untuk menjalankan puasa dan pantang. Puasa dan pantang yang dimaksudkan di sini tidak sekadar berhubungan dengan makanan dan minuman atau segala sesuatu yang masuk ke dalam tubuh kita, tetapi juga berkaitan dengan segala sesuatu yang keluar dari diri kita yang terungkap lewat kata dan sikap hidup. Kita perlu pantang dan puasa terhadap sikap yang kerapkali merugikan sesama dan alam sekitar. Puasa dan pantang pada kata-kata atau pembicaraan yang acapkali melukai hati dan perasaan sesama. Puasa menyebarkan kebencian dan hoax. Puasa gosip-gosipan, sebab menurut Paus Fransiskus, gosip merupakan sebentuk teror yang jauh lebih berbahaya dari pedang bermata dua karena mengancam keutuhan persaudaraan di antara sesama. Juga puasa pada tindakan destruktif yang berpotensi merusak tatanan ekologi-alam lingkungan.
Lebih dari itu, momen puasa dan pantang juga mesti mengantar kita pada sebuah pilihan sikap iman untuk selalu setia mendengarkan suara Tuhan dan kemudian tunduk-taat pada kehendak Tuhan sendiri. Ada komitmen untuk lebih fokus mendengarkan suara Tuhan, bukan pada suara hantu, suara sumbang, atau suara-suara recehan. Nah, barangkali muncul secuil pertanyaan: seberapa pentingkah Suara Tuhan itu dalam kehidupan kita?
****
Apabila kita mencermati keseluruhan bacaan suci hari ini, di dalamnya terbersit sebuah ajakan penting bagi kita untuk selalu setia mendengarkan suara Tuhan dan taat kepada kehendak-Nya. Dalam bacaan I, kita mendengar kisah tentang kesetiaan Abraham pada segala titah Allah. Keberanian Abraham untuk mempersembahkan Ishak, anak tunggal kesayangannya mau membuktikan loyalitas dan totalitas ketaatan Abraham pada Allah. Abraham setia mendengarkan suara Allah dan kemudian tunduk pada perintah-Nya. Tanah Moria menjadi saksi bisu atas komitmen Abraham itu. Pada titik ini, kesetiaan Abraham sungguh teruji dan tidak setengah-stengah. Dia percaya bahwa apa yang dikehendaki Allah adalah jalan menuju keselamatan. Karena itu, tidak ada ruang keragu-raguan di dalam dirinya untuk sekadar membuat kalkulasi untung-rugi terhadap apa yang dikehendaki Allah. Tanpa banyak tanya apalagi protes, Abraham percaya dan dengan sigap melakukan apa yang diperintahkan Tuhan kepadanya. Oleh karena kesetiaan dan ketaatannya itulah, Abraham kemudian menjadi “orang yang terbekati.” Sebagai ganjarannya, Abraham mendapatkan berkat berlimpah dari Allah. Hal ini secara eksplisit terungkap dalam Kejadian 22:16-18, “…karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku, maka Aku memberkati engkau berlimpah, dan akan membuat keturunanmu menjadi sangat banyak… melalui keturunanmulah segala bangsa di bumi akan mendapat berkat, sebab engkau telah menaati firman-Ku.”
Dalam berbagai pengalaman, kita sering kali mengalami kehadiran Allah. Dari aneka pengalaman itu, kita kemudian menyadari bahwa Allah begitu dekat dengan kita dan selalu mengalirkan rahmat-Nya kepada kita. Tentu, rahmat dan berkat itu akan terus mengalir deras dalam hidup kita, bila kita selalu setia mendengarkan suara Tuhan, lalu datang dan mendekatkan diri kepada-Nya. Keberanian kita untuk selalu datang dan taat pada kehendak-Nya akan menjadikan kita semua sebagai pribadi yang terberkati. Sebaliknya, ketidaksetiaan atau sikap tidak setia hanya akan membuat kita menjadi “pribadi gersang”.
***
Penginjil Markus dalam perikop Injil hari ini mengarahkan kita untuk taat dan setia mengikuti kehendak Tuhan sendiri. Hanya dalam dan bersama Tuhan, kita semua akan mengalami kebahagiaan dan sukacita di atas “gunung tabor” kehidupan kita. Penginjil Markus menulis dengan sangat indah dan lugas pengalaman iman tiga rasul: Petrus, Yakobus dan Yohanes yang ikut bersama Yesus menyaksikan peristiwa transfigurasi. Buah-buah kesetiaan dan ketekunan untuk mengikuti Yesus adalah sukacita karena dapat melihat wajah Tuhan secara lebih dekat. Seruan yang terdengar dari dalam awan: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia!” (Mrk. 9:7) hendak mengingatkan kita untuk senantiasa setia mendengarkan Yesus, Sang Guru. Suara Sang Guru selalu berdaya membebaskan dan menyelamatkan. Di dalam Sabda-Nya terbersit undangan atau semacam panggilan kepada kemerdekaan sejati alias keselamatan. Barangkali inilah yang menginspirasi Pemazmur dalam sebuah kidungnya: “Firman-Mu Tuhan pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku” (Mzm. 119:105).
***
Masa prapaskah adalah momentum yang tepat bagi kita untuk membuat discernment (penjernihan motivasi). Karena itu, baiklah kita mengisi hari-hari selama masa ret-ret agung ini dengan lebih fokus mendengarkan suara Tuhan daripada undangan dan bujukan dunia yang justru membawa kita ke tebing kehancuran. Semoga teladan hidup Abraham menginspirasi kita untuk lebih taat dan setia kepada kehendak Allah. Hanya dengan itu, perahu kehidupan kita dapat berlabuh dengan pasti pada pelabuhan kerahiman Allah yang menyelamatkan. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amin.
*RD Eduardus Endi. Imam Keuskupan Ruteng. Saat ini, ia berkarya sebagai formator di Seminari Menengah Petrus Van Diepen, sorong-Papua.
Komentar