Katoliknews – Junko Kusanagi, 49 tahun, tinggal di Tokyo bersama suaminya yang beragama Katolik, 53 tahun, dan putranya yang berusia sembilan tahun. Dia mengatakan bahwa penyakit yang diderita suaminya menuntun dia pada iman Katolik, dan itu telah menjadi “awal dari kehidupan yang riil kami sebagai sebuah keluarga.”
Melansir Ucanews, media Katolik Asia berbasis di Bangkok, meskipun Junko belajar di sekolah menengah dan universitas Katolik, dia mengatakan dia tidak memiliki pengalaman dibimbing kepada iman Katolik pada saat itu.
Seiring berjalannya waktu, ketika dia bersiap untuk menikah, calon suaminya mengatakan kepadanya, “Saya seorang Katolik,” begitu pula seluruh keluarganya.
“[Saat itu] Jika saya tidak mengenal agama Katolik sama sekali, saya mungkin bereaksi negatif, tetapi dengan mengenal agama Katolik sebelumnya [di sekolah menengah dan universitas], hal itu mudah diterima,” katanya.
Pada usia 39 tahun, Junko melahirkan seorang putra. Ketika suaminya mengatakan kepadanya, “Saya ingin bayinya dibaptis,” dia tidak dapat mengambil keputusan. Junko bertanya kepada saudara perempuan suaminya, “Apa pendapatmu tentang baptisan bayi?”
Kakak iparnya, yang dibaptis saat masih bayi, mengatakan bahwa sejak kecil, dia selalu merasa dekat dengan Tuhan dan bahwa “Tuhan selalu ada” untuk dirinya.
Mendengar jawaban kakak iparnya, Junko berpikir, “Kalau begitu, oke,” dan ia menyetujui putranya dibabtis kala itu.
Putranya adalah anak semata wayang, dan Junko ingat bahwa suaminya merasa lega dan bahagia karena, “walaupun kami sebagai orang tua [kemungkinan akan] meninggal lebih dulu, itu akan baik-baik saja karena Tuhan menyertai dia [putranya].”
Junko Kusanagi pindah ke tempat tinggal mereka saat ini ketika putranya memasuki sekolah dasar. Dia tempat itu, suami serta anaknya yang Katolik gabung bersama Gereja Katolik Paroki Sekimachi.
Junko mengatakan bahwa hidupnya tanpa masalah hingga Oktober 2022. Lalu, suatu hari suaminya menelepon dan berkata, “Maaf telah membuatmu kesal, Junko, aku menderita kanker.” Saat itu, suaminya baru saja menerima diagnosis kanker pankreas.
Junko terkejut dan cemas mendengar berita itu. Suminya bahkan berkata, “Saya belum pernah melihat orang yang begitu cemas.” Terkadang dia panik.
Di sisi lain, suaminya tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan sejak menerima diagnosis tersebut. Dia tidak menyerah pada hidupnya dengan cara apa pun, dia tetap tenang.
Melihat suaminya demikian, Junko bertanya, “Mengapa kamu begitu tenang?”
Jawaban suaminya: “Tidak apa-apa. Tuhan selalu ada di sini.” Dan, jawaban itu mengejutkan Junko dan dia bertanya-tanya, “Apakah iman begitu kuat?”
Sebelum suaminya didiagnosis menderita penyakit tersebut, Junko menganggapnya sebagai “orang biasa yang sangat baik hati,” namun dia menyadari, kekuatan yang mendukung suaminya sehingga tampak tidak cemas dengan penyakitnya itu adalah iman [Katolik] yang dipeluknya sejak kecil.
Suaminya sudah menderita kanker dan entah kapan bisa sembuh. Namun, Junko merasa bahwa “Saya harus berjalan bersama suami saya dan saya harus berjalan ke arah yang sama dengannya,” maka dia memberi tahu suaminya bahwa dia bermaksud untuk dibaptis jadi Katolik, seperti suami dan putranya.
Dia juga merasa bahwa suaminya mungkin berpikir bahwa “jika istrinya yang cemas itu dibaptis dan memercayakan hatinya kepada Allah, dia akan dapat hidup dengan pikiran tenang.”
Suaminya sangat bahagia karena Junko bersedia dibaptis dan bahkan berkata, “Saya [suaminya] senang saya sakit.”
Segera setelah dia mengambil keputusan itu, Junko menghubungi Gereja Sekimachi dan mendengar bahwa ada kursus persiapan babtis [katekumenat] di gereja itu. Ia pun mulai menjadi katekumen [calon babtis] pada April 2023 lalu.
Ia mengatakan, Keuskupan Agung Tokyo menugaskan lima katekis untuk menjadi pengajar bagi calon babtis di Gereja Sekimachi. Setiap sesi dimulai dengan doa dan kemudian katekis mendampingi katekumen dalam mendalami tema-tema, seperti “kebenaran Allah” dan “cara hidup Yesus.”
Materi dasar pengantar Junko telah selesai pada bulan Januari lalu, dan hingga upacara pembaptisan pada 30 Maret tahun ini, dia akan bertemu beberapa kali dengan Pastor Yasuaki Inagawa, Pastor Gereja Sekimachi, untuk sesi “penutup”.
Kumiko Ogawa, 80 tahun, seorang umat Paroki Sekimachi, mendukung apa yang dilakukan Junko selama menjadi katekumen dan ia ikut menyaksikan Junko mendalami iman Katolik dengan tekun.
Dia mengatakan bahwa Junko “sudah menjadi anggota penting di paroki” karena dia mulai membantu di gereja dan terlibat dengan putranya dalam program pendidikan agama paroki.
Ketika keluarga Junko Kusanagi pindah ke lingkungan mereka saat ini tiga tahun lalu selama pandemi Covid, Junko selalu ‘terjebak’ di rumah.
Karena tidak memiliki sesama perempuan, satu-satunya orang yang dapat dia ajak bicara adalah suaminya. Dia sendirian dan tidak berinteraksi dengan siapa pun.
Junko, yang memperdalam iman Katolik di paroki sejak suaminya sakit, kini mengatakan, “Tuhan, Yesus, gereja, para imam, dan umat adalah dukungan penuh saya. Saya tidak dapat melewati satu pekan tanpa hari Minggu.”
Di paroki, selalu ada seseorang untuk diajak bicara, seseorang yang peduli pada suaminya yang sakit dan mendoakan suaminya.
“Sampai saya mulai datang ke gereja, saya tidak berpikir kata-kata ‘Saya berdoa untuk Anda’ bisa begitu meyakinkan.”
Junko mengatakan bahwa dukungan dari umat di paroki menyelamatkan dan menyegarkan dirinya. Dia membawa pulang penghiburan dari gereja untuk suaminya yang sedang dalam masa pemulihan dan sukacita dari gereja itu ‘mencerahkan’ rumah mereka.
Junko telah memilih Rafaela sebagai nama baptisnya, terinspirasi dari Santo Rafael Malaikat Agung.
Dalam kitab Tobit di Perjanjian Lama, Rafael bepergian bersama putra Tobit, Tobias, dan mengajarinya cara menyembuhkan Tobit yang kehilangan penglihatannya. Junko ingin Rafael melindungi keluarganya baik jiwa maupun raga, serta bersama dan membimbing mereka.
“Saya ingin terus membaca Alkitab, bertemu Yesus, dan berdoa sambil memikirkan arti kata-kata doa,” kata Junko.
Junko Kusanagi akan dibaptis pada Malam Paskah di Gereja Sekimachi pada tanggal 30 Maret.
Komentar