Selamat berhari Minggu untuk kita semua. Pada hari ini kita memasuki hari Minggu Prapaskah I dalam kalender Liturgi Tahun B/II. Masa Prapaskah sebetulnya sudah dimulai pada perayaan Rabu Abu yang lalu. Perayaan Rabu Abu hendak menyadarkan kita sebagai makhluk yang rapuh dan lemah. Kita adalah barisan orang berdosa yang tidak pernah luput dari kesalahan.
Penandaan abu pada dahi kita pada moment perayaan Rabu-Abu sebetulnya bermakna ganda. Pertama, abu menyadarkan kita pada esensi keberadaan diri kita sebagai makhluk yang rapuh. Kita semua berasal dari debu dan abu dan nanti pada gilirannya kita kembali ke debu dan abu itu. Kedua, abu adalah tanda pertobatan. Kita mau bertobat dari segala bentuk kelemahan manusiawi kita. Ketika kita dengan penuh kesadaran datang dan menerima abu yang ditandakan pada dahi kita, maka secara tidak langsung kita juga dengan penuh kesadaran dan keberanian mau bertobat.
***
Bacaan-bacaan suci hari ini secara serius mengajak kita menghidupi semangat tobat dalam hidup harian kita. Dalam bacaan I, kita semua disadarkan bahwa peristiwa “air bah” pada masa Perjanjian Lama sebetulnya merupakan sebuah tanda besar yang dikerjakan oleh Yahwe untuk menyadarkan umat Israel agar mereka berbalik ke jalan yang benar: taat dan setia kepada perintah-perintah Yahwe, Allah mereka.
Dengan mereka taat dan setia beriman kepada Allah, mereka pasti selamat. Maka peristiwa “air bah”, pertama-tama bukan sebagai suatu penyataan murka Allah pada mereka, melainkan lebih pada cara Allah untuk menyadarkan bangsa Israel agar hidup secara benar di hadapan-Nya dan bertobat.
Hal inilah yang disinggung oleh Rasul Petrus dalam bacaan II. Rasul Petrus menegaskan bahwa “air bah” yang ditimpakan pada masa Nuh itu sesungguhnya tidak dimengerti sebagai sebuah pembinasaan atau pemusnahan umat manusia oleh Allah karena dosa-dosa mereka, tetapi harus dilihat sebagai sebuah pembaruan, pembersihan atau dalam bahasa Rasul Petrus sebagai pembaptisan. Rasul Petrus dengan tegas mengatakan: “Air itu melambangkan pembaptisan yang kini menyelamatkan kamu…” (1Ptr. 3:21).
Atas dasar itulah, kita barangkali kemudian memahami mengapa dalam Kitab Kejadian, sebagaimana yang diperdengarkan dalam bacaan I, Allah (Yahwe) berfirman kepada Nuh dan anak-anaknya yang di dalamnya berisikan perjanjian-Nya untuk tidak akan ada lagi “air bah” untuk memusnahkan bumi: “Maka Kuadakan perjanjian-Ku dengan kamu, bahwa sejak kini segala yang hidup takkan dilenyapkan oleh air bah lagi dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi ” (Kej. 9:11). Dari peristiwa ini sebetulnya, Allah mau menunjukkan belas kasih-Nya kepada umat manusia. Tidak ada lagi murka dan kebinasaan yang diberikan kepada umat manusia, melainkan hanya ada belas kasih dan pengampunan.
***
Tentu kita semua akan memperoleh belas kasihan dan pengampunan dari Allah sendiri. Tanpa kita minta, tanpa kita ajukan proposal terlebih dahulu, Allah sesungguhnya telah mencintai kita tanpa syarat dan tanpa batas. Sebab pada Dia ada belas kasihan dan pengampunan yang berlimpah-limpah.
Nah, yang dituntut dari kita adalah keberanian dan kesiapsediaan untuk bertobat. Bertobat berarti berani beralih dari kebiasaan-kebiasaan buruk kepada suatu ritme dan pola hidup yang baik dan benar. Dengan kata lain, bertobat berarti berani meninggalkan zona nyaman kemunafikan, keburukan, keegoisan dan membuka lembaran hidup baru yang senantiasa diwarnai oleh kasih dan kedamaian. Jika dosa dan kesalahan membuat kita menjauh dari Allah dan bahwa relasi kita dengan-Nya menjadi rusak, maka tobat adalah sebuah jalan pulang untuk kembali ke dalam pelukan Allah.
Dalam konteks inilah, seruan Yesus dalam perikop Injil Markus hari ini menjadi penting dan mendesak. “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (1:15). Seruan ini tentu bukan seruan biasa atau semacam imbauan moral saja, melainkan lebih sebagai sebuah imperatif iman, sebuah keharusan. Seruan “bertobatlah” merupakan sebuah perintah yang di dalamnya termuat sebuah tuntutan agar kita segera melaksanakannya. Tidak boleh ditawar-tawar apalagi ditunda ke lain waktu. Tuntutan itu harus dipehuhi sekarang dan hari ini (hic et nunc). Menyadari diri sebagai makhluk yang berdosa, maka kita dipanggil kepada pertobatan.
Salah satu tuntutan yang mengikuti seruan pertobatan itu adalah percaya kepada Injil. Ingat! Kita diarahkan Yesus agar selain kita bertobat, kita juga harus percaya kepada Injil, kabar keselamatan yang diwartakan oleh Yesus sendiri. Sebab di dalam Injil ada kebenaran dan keselamatan. Sebagai umat beriman, kita mesti percaya kepada Injil dan bukan kepada berita-berita bohong, hoax yang selalu memenuhi beranda kehidupan kita setiap hari. Hanya dari Injil yang diwartakan Yesus kita memperoleh jalan, kebahagiaan, penghiburan dan keselamatan.
***
Masa Prapaskah menjadi momentum berahmat bagi kita untuk menjernihkan semua motivasi iman kita, terutama untuk senantiasa mendekatkan diri dengan Tuhan dalam doa dan Ekaristi. Semoga bacaan-bacaan suci hari ini terus menginspirasi kita dan terutama membangkitkan komitmen dalam diri kita untuk secara sungguh-sungguh bertobat, kembali ke jalan yang benar, setia mengajarkan dan melakukan hal-hal yang baik dan benar kepada orang lain. Juga untuk terus setia mendengarkan sabda Tuhan dan menghayatinya dalam hidup harian. Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amin.
*RD Ardus Endi. Imam Keuskupan Ruteng- Flores. Saat ini, ia berkarya sebagai formator para seminaris di Seminari Menengah Petrus van Diepen, Sorong-Papua.
Komentar