Katoliknews – “Kalah boleh, tapi terkapar jangan!” Kalimat ini meluncur pelan dari mulut seorang imam Katolik, Setyo Wibowo SJ. Hari-hari ia mengajar Filsafat di STF Driyarkara, Cempaka Putih Indah Jakarta Pusat.
Setyo ucapkan itu di depan massa Aksi Kamisan, yaitu para korban, keluarga korban, mahasiswa, dan masyarakat sipil yang menuntut penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia, pada Kamis, 15 Februari 2024, di depan Istana Merdeka, di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.
Kalah yang dimaksudkan Setyo adalah terpilihnya Prabowo Subianto–Gibran Raka Buming Raka menurut hitungan cepat sejumlah lembaga sigi dalam kontestasi pemilihan presiden-wakil presiden 2024.
Mengapa disebut kalah bagi orang-orang yang berjuang untuk HAM dan etika di Indonesia?
Pasalnya, Prabowo disebut-sebut terlibat dalam penculikan terhadap mahasiswa pada akhir rezim Orde Baru, Mei 1998. Sementara Gibran adalah anak Presiden petahana, Jokowi yang lolos pencalonan jadi Wapres dengan ditandai cacat etika di Mahkamah Konstitusi (MK) yang melibatkan pamannya sendiri, Anwar Usman selaku ketua MK.
“Kekalahan ini hanya menguatkan dan meyakinkan kita untuk makin setia memperjuangkan etika dan HAM,” tambahnya.
Setyo awalnya bicara tentang alasannya dan rekan-rekannya teguh berdiri di depan istana untuk menyuarakan penuntasan skandal HAM masa lalu pada episode ke-805 Aksi Kamisan, ketika yang terpilih jadi pemimpin adalah orang yang mereka anggap terlibat dan cacat etika.
“Kenapa kita tetap tegak kepala? Kenapa kita tidak sedih? Kenapa kita tidak frustrasi dengan kekalahan kemarin [kemenangan Prabowo]? Karena ada Ibu Sumarsih bersama kita,” kata Setyo.
Maria Catarina Sumarsih [Ibu Sumarsih] adalah ibunda dari Benardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I. Sumarsih bersama korban dan keluarga korban peristiwa pelanggaran HAM lainnya konsisten mengikuti aksi Kamisan di depan istana sejak 18 Januari 2007.
Di bawah guyuran hujan hari itu, Setyo mengatakan: Lihatlah selalu Ibu Sumarsih dan teman-teman yang setia mengikuti Kamisan. Berapa ratus minggu mereka lewati? Berapa musim hujan dan musim panas mereka lalui? Berapa presiden yang menjanjikan penuntasan kasus HAM kepada Ibu Sumarsih? Berapa kali mereka dikecewakan oleh pragmatisme para politisi di era demokrasi kita yang akhir-akhir ini makin tunaetika? Apakah Ibu Sumarsih menyerah? Apakah Ibu Sumarsih terkapar? Apakah Ibu Sumarsih balik badan dan berkompromi dengan kekuasaan? Sama sekali tidak.
Terus Berjuang untuk Demokrasi dan HAM
Menurut Setyo, keteguhan Ibu Sumarsih dan kawan-kawannya menjadi teladan bagi banyak orang yang memperjuangkan demokrasi, keadilan, dan HAM bahkan, ketika hari-hari ini perjuangan itu semakin terjal. Bahwasanya, perjuangan itu bukan sekali jadi, melainkan panjang bahkan tampak seperti tidak ada tanda-tanda terwujud.
Kata dia, terpilihnya Prabwo-Gibran yang adalah bagian dari kekuatan Orde Baru yang ditumbangkan dalam Reformasi 1998 dan kekuatan rezim Jokowi saat ini, menuntut semua yang berniat baik terus berjuang agar demokrasi tetap berjalan dan agenda penuntasan kasus HAM berjalan.
“Kalau kekuasaan hasil pemilu dijalankan dengan melanggar konstitusi dan abai pada perjuangan HAM artinya perjuangan kita hanya sedang dimulai. Lagi dan lagi,” ujarnya.
“Kita akan terus melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya demi tegaknya konstitusi, demi keadilan HAM bagi Ibu Sumarsih, bagi kawan-kawan yang masih hilang, dan bagi masa depan kita bersama,” tegasnya.
“Mari kita rapatkan jaringan. Mari kita bela terus nilai-nilai etika demi Indonesia yang bermartabat, demi Indonesia yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab,” kata Setyo.
Terkapar, Jangan!
Setyo mengutip seorang filsuf yang mengatakan, “Aku hanya berperang/bertempur untuk hal-hal yang besar dan mulia.”
Menurutnya, kritik-kritik yang dilayangkan kepada Jokowi selama ini terutama selama periode pemilu, bukan karena membenci Jokowi, melainkan demi sesuatu yang besar dan mulia, yakni terwujudnya nilai-nilai demokrasi dan HAM.
“Kita memerangi yang hari ini tersimpulkan dalam diri seorang bernama Jokowi, yaitu nepotisme yang tak lain adalah keserakahan akan kekuasaan,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, yang dilawan adalah pragmatisme buruk dari sekian banyak orang yang tersimpulkan atau terkoordinasi dalam diri Jokowi. Juga kolusi, yaitu bercumbunya kekuasaan-kekuasaan politik dengan birokrasi dan bisnis.
Ia mengatakan, 25 tahun Reformasi tampaknya tidak membawa perubahan yang berarti. Bahkan di pengujung rezim Jokowi, cita-cita Reformasi itu semakin hilang.
“KKN di depan mata kita, 25 tahun Ibu Sumarsih mencari keadilan dan sampai saat ini belum datang,” ujarnya.
Karena itu, kata dia, “Seperti Ibu Sumarsih kita akan berdiri tegak memperjuangkan hak-hak kita: Negara yang adil, demokrasi atas dasar konstitusi dan HAM.”
“Tidak ada kata menyerah,” katanya lugas.
“Kalah boleh, tapi terkapar jangan!” pungkasnya.
Komentar