Apakah dengan kasih Allah yang tak terbatas, umat beragama Katolik tidak membutuhkan sakramen tobat? Jika memang umat beragama Katolik membutuhkan sakramen tobat atau wajib melakukan pengakuan dosa, apakah itu mengartikan kasih Allah sebenarnya terbatas – dan jika terbatas, hal apakah yang membatasi kasih Allah atau kasih Allah itu dibatasi oleh apa?
Penulis mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan menguraikannya dalam beberapa pokok pembahasan berikut.
Kasih Allah yang tak terbatas
Berbicara tentang kasih Allah yang tak terbatas tidak pernah terlepas dari tindakan inkarnasi Allah yang mencapai puncaknya pada Sang Sabda (logos) menjadi manusia. Sang Sabda hadir di tengah dunia untuk menyelamatkan, merangkul, menopang, dan bersolider dengan umat manusia. Allah memberikan atau menunjukkan kasih-Nya dengan mengutus Putra-Nya, Yesus Kristus ke tengah dunia dan hidup bersama umat manusia.
Tindakan Allah yang memberikan Putra-Nya ke dunia semata-mata dilakukan demi kebaikan dunia dan menyelamatkan umat manusia. Tindakan pemberian diri Allah inilah yang disebut kenosis. Dalam Kitab Filipi 2:7, kenosis diartikan Allah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Kenosis Kristus merupakan pilihan bebas Kristus untuk merendahkan diri-Nya demi keselamatan manusia (David Wiliam, 200: 621). Tindakan Allah inilah yang menunjukkan bahwa kasih Allah itu tak terbatas untuk umat manusia karena kasih yang Ia berikan tidak terpengaruh oleh perbedaan atau batasan apa pun, melainkan mengalir secara cuma-cuma.
Dalam Yohanes 3:16 ditegaskan bahwa kasih Allah begitu besar, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Dalam konteks ini, kasih Allah yang tak terbatas berarti kasih-Nya tidak terbatas oleh ruang dan waktu serta memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Kasih-Nya itu mengalir dan terpenuhi dalam Yesus Kristus. Teks lain yang menunjukkan bahwa Allah itu kasih dapat dan tak terbatas, yakni 1 Yohanes 4:9-10; Yohanes 1:14; Markus 2:17. Kasih Allah terus mengalir dalam kepenuhannya. Dalam dan melalui Yesus Kristus kasih itu tampak melalui karya dan pelayanan-Nya.
Ada berbagai bentuk pewartaan kabar gembira kepada umat manusia oleh Yesus Kristus. Seperti halnya: pelayanan kepada yang miskin, pengusiran setan, pembelaan terhadap mereka yang tertindas, mendampingi dan menolong mereka yang terabaikan dan terpinggirkan. Sejak Perjanjian Lama, Allah selalu konsisten dalam memberikan kasih-Nya kepada umat-Nya yang tersalur melalui para nabi. Perwartaan keselamatan itu digenapi oleh kehadiran Yesus Kristus yang mau merendahkan diri dan melakukan pengorbanan untuk menyelamatkan umat manusia dalam Perjanjian Baru. Pengorbanan yang Yesus lakukan murni tindakan kasih yang tak terbatas dari Allah untuk keselamatan umat manusia. Dia melakukannya untuk mendamaikan kita orang berdosa dengan Allah, untuk mengenal cinta Allah yang tak terbatas, untuk menjadi teladan kesucian kita, dan agar kita “mengambil bagian dalam kodrat Ilahi” (2Petrus 1:4) [KGK, 85].
Sakramen Baptis
Secara etimologi kata sakramen berasal dari bahasa Latin, yakni Sacramentum yang dalam bahasa Yunani berarti Mysteriion. Kata Sacramentum berarti tindakan menyucikan dan menguduskan (Martasudjita, 2003: 160). Sakramen diartikan sebagai tanda dan sarana keselamatan Allah yang diberikan kepada manusia atau hal-hal yang berkaitan dengan Ilahi. Sedangkan kata Baptis berasal dari bahasa Yunani “Baptizein” yang berarti mencelupkan, menenggelamkan ke dalam air. Dalam perkembangan waktu kata baptis mendapat arti yang lebih luas yakni membasuh atau pembasuhan (Groenen, 1992: 23).
Sakramen baptis itu sendiri merupakan sakramen pertama dalam Gereja Katolik yang menyatakan bahwa setiap orang yang menerima sakramen ini dipersatukan dan dilahirkan kembali sebagai anak Allah dan menjadi anggota Gereja (Komkat KAS, 1997: 79). Sakramen Baptis menjadi pangkal kehidupan umat beriman karena melalui sakramen baptis seseorang dipersatukan dengan wafat dan kebangkitan Yesus Kristus untuk didamaikan dan diterima oleh Allah (Siauwarjaya dan Huijbert, 1987: 88).
Baptisan mempersatukan kita bukan hanya dengan pribadi Yesus Kristus, tetapi juga memasukkan kita ke dalam seluruh peristiwa Yesus Kristus dan kesatuannya dengan Bapa dan Roh Kudus. Artinya apa yang terjadi dalam diri Yesus Kristus juga terlaksana dalam diri kita (bdk. Roma 6:1-14). Ada tiga hal yang terjadi dalam pembaptisan sebagai peristiwa kesatuan kita dengan Yesus Kristus yakni pengampunan atau pembersihan dosa, senasib dengan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit, dan akhirnya juga persekutuan kita dengan Allah sendiri (Martasudjita, 2003: 228). Dengan demikian melalui pembaptisan kita bersatu dengan Yesus Kristus dan memperbarui hidup kita dari dosa atau dilahirkan kembali dalam terang Yesus Kristus.
Dosa
Dalam agama Katolik, dosa asal terjadi karena adanya manusia pertama, yakni Adam dan Hawa. Akar masalah manusia pertama jatuh dalam dosa adalah pelanggaran Hawa terhadap perintah Allah untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan. Hawa karena godaan ular memakan buah pohon pengetahuan dan Adam juga turut memakannya. Tentu Allah tidak menginginkan manusia pertama jatuh dalam dosa atau melanggar perintah-Nya. Namun, Allah dalam kuasa-Nya yang besar tetap memberikan manusia pertama kebebasan untuk memilih, yang walaupun kemudian manusia pertama lebih memilih untuk melanggar perintah Allah dengan memakan buah dari pohon pengetahuan.
Sebelum melangkah lebih jauh, saya mencoba menerangkan apa itu dosa dari perspektif agama Katolik. Tentu dalam hal ini Alkitab sebagai rujukan sumber yang dijadikan pedoman untuk menerangkan apa itu dosa. Dalam kitab Kejadian 4:7b, Allah berfirman, “Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” Ayat ini dilatarbelakangi Kain yang kecewa kepada Allah karena lebih memilih persembahan Habel, adiknya. Kain cemburu yang mengakibatkan ia membunuh Habel. Dalam hal ini, kata dosa berarti manusia tidak sampai atau menyimpang dari tujuan dan maksud Allah (Tarpin, 2020: 223). Dosa bukan saja berasal dari perbuatan atau perkataan, melainkan juga dalam sikap dan keadaan hati serta pikiran yang berdosa.
Dosa juga berarti memberontak, menentang, dan melawan kehendak dan perintah Allah. Hal ini tertuang dalam Kejadian 31:36, “Apakah kesalahanku, apakah dosaku, maka engkau memburu aku sehebat itu?” Selain kitab Kejadian, dalam Titus 2:12, dosa diartikan sebagai kefasikan dan tidak mengenal Allah. Dalam kitab Titus ini, “Yesus mendidik kita supaya meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini”.
Memang dalam alkitab tidak dijelaskan secara terperinci apa itu dosa dalam pengertiannya. Namun, berdasarkan apa yang dijelaskan melalui dua kitab di atas, dosa merupakan semua tindakan manusia yang mengandung kefasikan, menentang atau melawan segala rencana dan hukum Allah yang menyebabkan manusia terputus dari Rahmat Allah Bapa dan Yesus Kristus dan Roh Kudus. Sedangkan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) dosa adalah satu penghinaan terhadap Allah. Dosa memberontak terhadap kasih Allah kepada kita dan membalikkan hati kita dari Dia. Dengan demikian dosa adalah cinta diri yang meningkat sampai menjadi penghinaan Allah (KGK, 1850).
Kebebasan Manusia
Dalam Katekismus Gereja Katolik, kebebasan manusia adalah kemampuan yang berakar dalam akal budi dan kehendak, untuk bertindak atau tidak bertindak, untuk melakukan ini atau itu, supaya dari dirinya sendiri melakukan perbuatan dengan sadar (KGK, 1731). Pengertian ini memberikan suatu pemahaman bahwa kebebasan yang ada dalam pribadi umat beriman diberikan oleh Allah untuk bertindak atau tidak bertindak agar dalam pengambilan keputusannya bisa dipertimbangkan dan atas tanggung jawab diri sendiri. Hal yang mau ditekankan juga adalah setiap tindakan yang dilakukan selalu berdasarkan kesadaran diri yang bebas untuk melakukannya.
Kebebasan juga diartikan sebagai ciri tindakan manusia (umat beriman). Disebut sebagai ciri tindakan karena umat beriman dalam hal ini punya peluang dan kehendak bebas untuk memilih antara yang baik dan yang jahat. Kebebasan untuk memilih ini menjadi tolak ukur rasa tanggung jawab pribadi dalam membuat sebuah keputusan. Ini mengartikan bahwa dalam kaitannya relasi dengan Allah tidak seorang pun di paksa untuk menanggapi cinta kasih Allah. Di sini kebebasan pribadi penuh dalam mengambil setiap keputusannya untuk bertindak atau tidak, untuk menanggapi atau tidak menanggapi.
Kenyataan ini menggambarkan, manusia memiliki peluang untuk mengabaikan perintah Allah dan berbuat dosa. Ada kebebasan pribadi yang Allah pun tidak memaksakan manusia (umat beriman) untuk taat pada perintah-Nya. Namun, di sisi lain ajaran Gereja mengatakan bahwa kebebasan mencapai kesempurnaannya jika diarahkan kepada Allah dan itu merupakan kebaikan tertinggi dan kebahagiaan umat beriman (Kompendium KGK, 2009: 129). Yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan yang berasal dari dalam diri tanpa ada tekanan dari luar, walaupun pada akhirnya umat beriman bebas untuk memilih. Apakah pilihannya diarahkan untuk taat kepada Allah atau menanggapi kasih Allah atau malah berbalik arah dari-Nya.
Antara Kasih Allah dan Kebebasan Manusia
Kasih Allah yang tak terbatas dijumpai dalam Kitab Suci dengan kebebasan sejati Yesus Kristus yang berorientasi pada pemberian diri. Allah Yang Maha Pengasih mengutus putra-Nya ke tengah dunia menjadi manusia, tinggal di antara manusia dan hidup bersama manusia sebagai seorang hamba. Jalan Ilahi ini merupakan pemberian diri atau pengosongan diri. Itulah kasih Allah yang terpancar dari diri-Nya, penuh dengan belas kasih, pengampunan, dan ketulusan.
Pemberian diri atau pengosongan diri Allah ini merupakan bukti terbesar bahwa memang kasih Allah tak terbatas. Ia rela mengambil jalan kesengsaraan dan mati di kayu salib karena cinta-Nya yang besar terhadap umat-Nya. Pengorbanan Yesus Kristus merupakan penebusan akan dosa umat manusia dan kasih Allah kepada manusia (Yohanes 3:16). Yesus Kristus melakukan semuanya penuh dengan kebebasan, tanpa pamrih dan tanpa ada perjanjian yang mengartikan benar lahir dari ketulusan hati dan kasih-Nya yang tak terbatas.
Pengorbanan Yesus Kristus yang rela menderita, sengsara, dan wafat di kayu salib semata-mata merupakan hakikat-Nya sebagai Allah yang berbelas kasih. Ia datang ke dunia diutus oleh Bapa-Nya dan Yesus mengambil untuk taat. Ketaatan inilah yang tidak terpisahkan dari belas kasih-Nya. Sebab melalui ketaatan, Yesus mengalami kehidupan manusia bukan hanya dalam rasa iba atau ikut kasihan, melainkan mengalami kehidupan manusia yang hancur, terluka, menderita, dibenci, mati sebagai seorang yang terhina, dan menjadi menang karena kasih-Nya.
Kasih Allah yang tak terbatas yang diperlihatkan melalui pengorbanan Yesus Kristus melambangkan bahwa Ia adalah kurban penghapusan dosa sehingga umat manusia memperoleh keselamatan dan kehidupan kekal (Adon dan Firmanto, 2022, 593). Dalam pengorbanan-Nya, Ia memperlihatkan kasih Allah yang tak terbatas dan bahwa keselamatan manusia hanya dicapai melalui iman pada Yesus Kristus. Untuk menerima keselamatan itu, maka dalam Gereja Katolik perlu menerima sakramen baptis untuk menjadi anggota Gereja. Karena dengan demikian ia bersatu dengan Yesus Kristus dan memperbarui hidupnya dari dosa dan dilahirkan kembali bersama kehidupan Yesus Kristus. Dan, tidak berhenti dalam menerima sakramen baptis tetapi juga menerima sakramen tobat, Ekaristi, Krisma dan sakramen lainnya sebagai tanda persekutuan dengan Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Dalam kenyataannya, umat beriman yang sudah dibaptis dan sudah diperbarui hidupnya dari dosa tak luput untuk kembali berbuat dosa. Karena masih ada kebebasan pribadi yang lebih memilih tindakan melanggar perintah Allah dan berbuat dosa ketimbang tetap taat dan setia kepada Allah. Terkait umat beriman yang sudah dibaptis ini, muncul pertanyaan: bukankah hidupnya telah diperbarui dari dosa dan dilahirkan kembali bersama Yesus Kristus – lalu, untuk apa kemudian menerima sakramen tobat, sementara sudah menerima sakramen baptis yang memperbaharui hidup dari dosa?
Pada hakikatnya, sakramen baptis yang diterima tidak menghilangkan kerapuhan dan kelemahan kodrat manusiawi, dan juga tidak menghilangkan kecenderungan kita untuk berbuat dosa (KGK, 1423). Ketika manusia jatuh dalam dosa berarti ia menggunakan kebebasannya untuk menjauh dari Allah atau melanggar perintah-Nya. Dengan berbuat dosa berarti manusia dengan penuh kebebasannya mengambil sikap untuk memutus-kan relasi dengan Allah atau menolak Allah. Relasi yang putus ini harus di satukan kembali. Caranya adalah menerima sakramen pengakuan dosa – mau berbalik dan menyesal atas dosa yang telah dilakukan dengan kebebasan yang dimiliki.
Keberadaan sakramen tobat di sini adalah mau mendamaikan kita dengan Gereja yang telah kita lukai dengan berdosa, dan membantu pertobatan dengan cinta kasih Allah. Sakramen tobat di sini merupakan panggilan Yesus untuk umat-Nya agar bertobat dan mau berbalik kepada-Nya (KGK, 1423). Namun, panggilan dari-Nya merupakan suatu bentuk undangan dan tawaran. Dengan demikian, walaupun seseorang sudah dibaptis yang dosanya telah diperbarui bersama kehidupan Yesus Kristus tetap ada kebebasan pribadi yang kemudian memilih untuk memutuskan relasi dengan Allah. Oleh karena itu, umat beriman tetap membutuhkan sakramen tobat sebagai sarana agar kembali membangun relasi dengan Allah.
Kelanjutan pertanyaan dari jawaban ini adalah dalam penerimaan sakramen baptis, umat beriman telah menerima kasih Allah berupa persekutuan dengan Yesus Kristus yang memperbarui hidup manusia dari dosa. Apakah itu kemudian mengartikan bahwa kasih Allah itu terbatas, karena manusia membutuhkan sakramen tobat?
Pada hakikatnya, kasih Allah itu tak terbatas dan tetap mengalir. Hanya saja, kebebasan manusia atas dasar kehendak pribadi menolak kasih yang Allah tawarkan. Kasih Allah itu berupa tawaran yang mengartikan tidak memaksa seseorang atau umat beriman untuk menanggapi atau mentaati perintah-Nya. Allah tetap terbuka kepada umat manusia yang mau berbalik dan menjalin relasi dengan-Nya – yang menunjukkan kasih-Nya yang tak terbatas. Walaupun umat beriman sudah jatuh dalam dosa, kasih-Nya tetap mengalir dan tidak pernah pudar. Kasih itu akan tetap tercurah dan Ia selalu menawarkan kasih-Nya untuk keselamatan umat manusia. Jadi, kasih Allah itu tak terbatas, tetapi kemudian dibatasi oleh kebebasan manusia yang menolak atau tidak mau menanggapi kasih Allah yang Ia tawarkan.
Hemat saya, pengorbanan Kristus yang merupakan kasih yang Ia tawarkan untuk menyelamatkan umat manusia menjadi sia-sia jika umat manusia tidak menanggapi. Bahwa kebebasan yang disalahgunakan umat manusia membuat relasi dan kesatuannya dengan Yesus menjadi terputus. Kasih Allah yang tak terbatas dibatasi oleh kebebasan umat manusia. Kesatuan umat manusia dengan Yesus Kristus yang telah diperbarui melalui sakramen baptis menjadi terpecah belah karena kebebasan manusia yang berbuat dosa.
Dosa terjadi akibat manusia yang menyalahgunakan kebebasan yang Allah berikan. Dalam dosa, manusia mendahulukan dirinya sendiri daripada Allah dan dengan demikian mengabaikan Allah serta ia memilih dirinya sendiri melawan Allah (KGK, 398). Akibat dari dosa ini manusia yang berasal dari debu akan kembali menjadi debu (Kejadian 3:19). Namun, Allah yang berbelas kasih dan kasih-Nya yang tak terbatas tetap mengundang para pendosa untuk berbalik kepadanya agar masuk ke dalam Kerajaan Surga dan kembali bersatu dengan-Nya sebagai keselamatan yang Ia tawarkan.
Kesimpulan
Kasih Allah memang pada hakikatnya sungguh tak terbatas dan kasih itu terpancar melalui pengorbanan Yesus Kristus yang kemudian membawa keselamatan bagi umat manusia. Melalui dan dalam sakramen pembaptisan, umat beriman mengalami kesatuan bersama Yesus Kristus. Hanya saja, kesatuan ini kerap kali rapuh dan terputus karena manusia yang menyalahgunakan kebebasannya.
Kasih Allah yang tak terbatas berupa pengorbanan Yesus Kristus menjadi sia-sia karena kebebasan manusia. Hal ini menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar karena tanpa pamrih, tanpa memaksa supaya ditanggapi. Kasih Allah tetap mengalir dan selalu memberi tawaran atau undangan kepada umat manusia. Jadi, kasih Allah memang sungguh tak terbatas, hanya kemudian dibatasi oleh kebebasan manusia.
Umat beriman karena kebebasannya kerap kali tidak menanggapi kasih yang ditawarkan Allah yang mengakibatkan relasi manusia dan kesatuannya dengan Allah terputus. Dan agar relasi dengan Allah tetap bersatu dan kembali terjalin dengan-Nya, umat beriman membutuhkan kebebasannya untuk berbalik kepada Allah dan memiliki kesadaran mau menyesal serta bertobat. Kasih Allah yang tak terbatas selalu terbuka dan mau mengampuni umat-Nya yang mau berbalik dan bertobat, hanya saja, umat manusia mau berbalik dan bertobat atau tidak. Kebebasan itu akan semakin sejati jika semakin mengosongkan diri, meninggalkan ego diri dan mau setia dengan Yesus Kristus.
Efanius Rimlon, mahasiswa Fakultas Teologi Wedabhakti, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Tinggal di Condongcatur, Yogyakarta.
Komentar