Katoliknews.com – Di rumah-rumah orang Katolik, di biara-biara, di rumah-rumah retret, di gereja-gereja, hampir pasti selalu ada Salib yang terpajang anggun di dinding. Lantas, apa makna “palang kayu” itu bagi kita? Untuk apa palang kayu itu di pajang di berbagai tempat tersebut atau yang selalu kita bawa di saku-saku celana atau gantung di leher kita?
Hari ini(setia tahun), 14 September 2021, Gereja Katolik sejagat merayakan Pesta Salib Suci. Dalam rangka pesta inilah, penulis berikhtiar menghadirkan kepadamu, Pembaca yang budiman, refleksi perihal makna salib itu sendiri. Sebab, bagi kita, orang-orang Katolik, tidak ada Paskah tanpa Jumat Agung; tidak ada kemenangan kebangkitan tanpa salib, dan cerita kubur kosong itu bukan omong kosong.
Mari kita mulai. Salib merupakan tanda bahwa Allah sungguh mengasihi manusia. Ia mau berkorban demi kita sampai selesai. Kasih selalu berpuncak pada pengorbanan. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13).
Salib juga mengingatkan kita bahwa “janganlah tiap-tiap orang memperhatikan kepentingannya sendiri, melainkan kepentingan orang lain juga” (Fil. 2:4). Memperhatikan kepentingan orang lain adalah ciri khas Salib, yang tampak jelas pada pengorbanan Yesus demi umat-Nya.
Kendati demikian, salib menimbulkan persoalan. Lebih tepatnya, Salib dipersoalkan. Mari kita lihat Petrus, sang Kepala para murid. Ketika Yesus menyampaikan bahwa Ia harus menderita, si Batu Karang itu menarik Yesus ke samping dan menegur Dia, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau!”
Petrus tampaknya mau menunjukkan kepeduliannya terhadap Yesus. Secara manusiawi, benar bahwa seorang murid tidak mungkin rela kalau gurunya menderita dan ingin menderita. Petrus seolah-olah ingin mengatakan bahwa bagaimana mungkin, orang-orang yang biasa, dapat menjatuhkan hukuman dan dapat menghukum Yesus, yang adalah Putra Allah?
“Enyahlah iblis! Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau memikirkan bukan yang dipikirkan Allah, melainkan yang dipikirkan manusia.” Yesus langsung menegur Petrus. Dan, tidak sebatas menegur, lalu selesai. Akan tetapi, Yesus menunjukkan semangat Salib bahwa kalau mau mengikuti Dia, harus berani menyangkal diri, memikul Salib, dan mengikuti-Nya.
Di sisi lain, salib bagi orang Yahudi adalah batu sandungan, hukuman, kutukan (1Kor. 1:23). Salib adalah kutukan (Gal. 3:13). Kita masih ingat dua orang yang disalibkan bersama Yesus (lih. Luk. 23:32), yang kita sebut penyamun. Ada kebiasaan tiap tahunnya; para penjahat disalibkan. Memang bagi orang-orang Yahudi, Yesus bukanlah Mesias, melainkan penghujat Allah (bdk. Mat. 9:3), Anak tukang kayu; Anak manusia biasa, Ia bukan Mesias, Anak Allah (bdk. Mat. 13:53-58), dan karena itu, Ia tidak dapat menyelamatkan diri-Nya sendiri (bdk. Luk. 23:35,39).
Yesus dituduh sebagai penghujat Allah. Ketika Yesus menyembuhkan orang lumpuh dan mengampuni dosanya, Yesus dituduh sebagai penghujat Allah (Mat. 9:3). Orang-orang Yahudi melihat Yesus sebagai anak manusia biasa, anak tukang kayu. Sebagai konsekuensi dari pemahaman bahwa Yesus adalah manusia biasa, orang Yahudi meragukan Yesus, kalau Ia ingin menyelamatkan diri-Nya sendiri. Mereka menginginkan Yesus sebagai Mesias politik, ibarat negara dengan pemimpin kuat, yang dapat mengalahkan para pemimpin lainnya.
Hukuman khas orang-orang Yahudi, adalah dengan merajam, sementara hukuman khas orang-orang Romawi adalah dengan disalibkan. Hukuman ini berlaku bagi para penjahat. Lalu, mengapa Pilatus, Gubernur Yudea, asal Romawi, menjatuhkan hukuman salib kepada Yesus? Padahal, Pilatus tahu bahwa Yesus tidak bersalah, dan ia bahkan tidak menemukan satu pun kesalahan Yesus. Ia pun diingatkan istrinya, supaya ia jangan menghukum Yesus, orang yang benar itu (Mat. 27:19). Tetapi, toh tetap ia lakukan.
Apa langkah yang ditempuh Pilatus? Ia mengatakan, ambillah dan berikanlah hukuman sendiri pada orang ini. Ia mengatakan itu kepada orang-orang Yahudi yang menuntut supaya Yesus dihukum. Anehnya, mengapa orang-orang Yahudi tidak menuntut supaya Yesus dirajam, sebagaimana hukuman khas mereka? Mengapa mereka menuntut supaya Yesus disalibkan, bukan dirajam?
Orang-orang Yahudi, rupanya tahu bahwa Pilatus orang Romawi. Supaya Pilatus bisa mengizinkan hukuman, maka mereka menuntut dengan hukum Salib, walaupun Pilatus tahu, Yesus tidak bersalah. Dengan menuntut hukum salib, orang-orang Yahudi terkesan menunjukkan ketaatan mereka kepada pemerintahan romawi (bisa saja ketaatan itu karena takut atau mencari popularitas).
Di sisi lain, Pilatus juga ingin mencari posisi aman. Dengan menuruti tuntutan orang-orang Yahudi bahwa Yesus harus dihukum, ia ada pada posisi aman dengan orang-orang Yahusi. Dalam kaitannya dengan situasi pemerintahan Yudea, yang pada saat itu berada di bawah kekuasan pemerintahan Romawi, Pilatus tetap menjaga hubungan baik itu, dengan menjatuhkan hukuman khas orang-orang Romawi, yakni hukuman salib.
Sementara itu, bagi sebagian Orang Yunani, salib adalah suatu kebodohan ( bdk. 1Kor.1:23). Orang-orang Yunani, kental dengan pemikiran filosofisnya. Maka, adalah sesuatu yang bodoh, kalau Yesus menerima hukuman yang berasal dari kesalahan orang lain. Pertanyaan rasionalnya ialah mengapa Yesus menerima hukuman ini, padahal Ia tidak bersalah? Bagi mereka, menerima hukuman yang datang dari kesalahan orang lain adalah tanda matinya akal budi.
Namun, Paulus berhasil menunjukkan jawaban atas “gugatan” orang-orang Yunani itu. Ia mengatakan bahwa yang bodoh dari Allah, lebih besar hikmatnya daripada kebijaksanaan manusia (bdk. 1Kor. 1:25). Paulus ingin menegaskan bahwa apa yang ditempuh Allah, yang merupakan hikmah Allah, sulit ditempuh dengan pikiran manusia. Maka, sebetulnya, “kebodohan Allah” itu berarti keterbatasan manusia untuk memahami karya kebesaran-Nya, apalagi melalui jalan penderitaan.
Lalu, bagaimana dengan kita, orang-orang Katolik atau Kristen? Dalam surat pertamanya kepada orang-orang Kristen di Korintus, Paulus mengatakan, salib bagi orang-orang Kristen adalah kekuatan, kemenangan, dan hikmah dari Allah (1:24). Bagaimana kita memaknai pernyataan Rasul Bangsa-Bangsa itu?
Mari. Lihatlah: Salib tidak berhenti pada penderitaan. Setelah penderitaan salib, Yesus bangkit. Itu berarti penderitaan dan maut mampu dikalahkan oleh Allah melalui kebangkitan Yesus. Dengan penderitaan Yesus, manusia belajar bahwa baginya penderitaan melekat dengan hidupnya. Dengan kebangkitan Yesus, manusia belajar bahwa segala penderitaan tidak mungkin tidak ada solusinya. Setiap derita dan soal, pasti ada solusinya, kalau berjalan bersama Yesus. Solusi ini juga bersifat eskatologis, bahwa keselamatan dan kebahagiaan akan dialami kelak, dalam Kerajaan Surga bersama Yesus.
Salib, bagi kita, adalah kenosis atau pengosongan diri atas kehendak (keinginan sendiri) dan sepenuhnya menerima kehendak Allah. Fiilipi 2: 1-11 menggambarkan dengan jelas tentang Yesus, Putra Allah, yang tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah, menjadi sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan Ia mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Ia telah merendahkan diri dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di Kayu Salib. Ia meninggalkan ego-Nya sebagai manusia berdaging dan lalu berpaling demi kepentingan yang lebih besar dan luas, yakni keselamatan banyak orang, manusia yang dicintai-Nya.
Kalau kita melihat salib, maka secara kasatmata kita melihat palang kayu. Palang kayu itu membahasakan makna kasih yang mendalam antara Allah dan manusia. Palang horizontal menandakan makna kasih antarsesama manusia, sedangkan palang vertikal menandakan makna kasih terhadap Allah. Palang vertikal yang lebih tinggi menandakan bahwa kasih terhdap Allah harus lebih tinggi, dan juga sebagai simbol bahwa manusia mengikatkan dirinya dengan kasih Allah, sebagai sumber hidupnya.
Antara palang vertikal dan palang horizontal menandakan bahwa kasih akan Allah tidak terlepas dari kasih akan manusia. Sebagaimana dirumuskan dalam hukum cinta kasih, yang diajarkan Yesus, yakni kasih akan Allah dan kasih akan sesama manusia. Kedua palang Salib juga menegaskan bahwa karena Yesus taat pada Bapa sebagai ekspresi kasih, maka Ia rela menderita sebagai ekspresi kasih pula, demi keselamatan umat manusia. Dan, kasih itu berpuncak pada pengorbanan.
Barang siapa mau mengimani Allah yang adalah kasih, ia juga harus menghormati manusia sebagai ekspresi kasih. Itu berarti, bagi orang beriman Kristiani,/Katolik, kasih akan Allah dan kasih akan sesama manusia tidak dapat dilepas-pisahkan.
Rm. Yudel Neno Pr (Bertugas sebagai Pastor di Paroki Santa Filomena-Mena, Keuskupan Atambua, Kecamatan Biboki Moenleu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur).
Komentar