Katoliknews.com – Pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini membawa perubahan dalam cara orang memaknai agama, demikian menurut seorang imam.
Romo Max Regus, imam Keuskupan Ruteng dan dosen di Universitas Katolik Indonesia St Paulus Ruteng dalam salah satu tulisannya mengatakan, “hal baik sedang terjadi pada diri agama,” di tengah pandemi yang melanda seluruh dunia ini.
“Agama sedang bergerak, entah sadar ataupun tidak, dari runitas menuju intimitas,” tulis berjudul “Agama Mati Gaya” di Harian Media Indonesia, Kamis, 9 April 2020.
Ia menjelaskan, kini memang agama tanpa massa, tanpa kerumuman, tanpa kehadiran para pencintanya, tanpa kemeriahan, di mana ritualisme mendadak mengeropos.
Ia menyebut, hal ini terjadi setelah sekian lama agama bergantung pada hubungan fisik dan mekanistik, sesuatu yang berlangsung di atas rasa ketaklukan tanpa syarat dari para pemeluknya.
“Kini, hampir semua rumah ibadah yang mewah dan mentereng terpekur dalam sepi. Para pemuka agama melakonkan laku ritus dalam kesepian dan kesedihan,” tulis Romo Max.
Ia menyatakan, gaya beragama konvensional saat ini takluk di bawah Covid-19.
Ia menyatakan, situasi ini menggoncang agama yang sekian lama hanya memamerkan kemeriahan rutin dalam perayaan-perayaan liturgis yang agung dan mewah.
“Ketika Covid-19 memusnahkan semua ukuran dan standar itu, orang-orang berusaha membangun keintiman baru dengan Tuhan, keluarga, dan sesama dalam cara yang mungkin tidak pernah ada pada fase-fase historis sebelumnya,” tambahnya.
Ia melanjutkan, dengan pandemi ini, “esensi keberagamaan itu sendiri mungkin sedang tumbuh melampaui apa yang sudah terjadi sebelumnya.”
“Tidak ada teriakan kerinduan akan Tuhan yang begitu melengking melebihi suasana pada masa Covid-19 ini,” tulisnya.
“Secara paradoksal pula, manusia dituntut untuk mencari Tuhan dalam keheningan, bukan kebisingan, membangun hubungan yang lebih personal dengan Tuhan, bukan hubungan massal, hubungan yang sering kali terperosok ke dalam arogansi,” tulisnya.
Agama Ditantang
Ia menjelaskan, adalah menarik bahwa Covid-19 juga memaksa Gereja untuk peduli pada teknologi infomrasi.
“Bukan rahasia,” kata dia, selama ini “agama tidak begitu memedulikan teknologi informasi.”
“Memang ada perhatian, tetapi minimalis,” tulisnya.
Fenomen Covid-19, yang mengirim pesan kematian setiap hari, “serentak meringkus keyakinan agama hanya dalam sekejap.”
“Dan, agama menggapai sekaligus memohon bantuan teknologi. Teknologi menolong agama dalam masa sulit ini. Dengan teknologi, agama menjangkau pemeluknya dengan pelayanan rohani maya,” katanya.
Ia menjelaskan, kini, teknologi menjadi ruang kehadiran yang baru.
“Seperti dunia, agama harus mau berpapasan dengan semua gaya, nilai, moralitas yang bertebaran di ruang maya,” katanya.
Soal yang lebih serius, menurut dia, tentu saja tidak sekadar agama dan adaptasi teknologis.
“Agama harus berani menghadapi gugatan teologis-dogmatis atau merancangnya sendiri. Usaha ini mesti mulai digelindingkan,” katanya.
Agama, jelas dia, harus bisa menjelaskan bahwa pergeseran ruang keberadaan agama dari nyata ke maya tidak berdampak pada kebenaran suci yang dimilikinya.
“Agama harus berpacu dengan waktu jika tidak ingin kehilangan ikatan abadi dengan para pemeluknya,” tambahnya.
Ia menyebut, Covid-19 sedang merobek dan melucuti standar-standar keberagamaan masa lalu yang menjadi sumber luka, konflik, kekerasan, dan penderitaan bagi kemanusiaan.
“Secara formal, agama memang sedang mati gaya. Namun, secara substansial, agama sedang berziarah menuju kedalaman keberadaannya,” katanya.
Komentar