Katoliknews.com – Fundasi bagi perkembangan Gereja Katolik di Pulau Flores dan Pulau Timor tidak terlepas dari peran para misionaris dari Eropa. Salah satunya adalah misionaris Serikat Sabda Allah (VD) kelahiran Jerman, Mgr. Heinrich Leven, SVD.
Hampir separuh hidupnya ia habiskan dengan melayani umat di wilayah Nusa Tenggara Timur itu, yang dahulu dikenal dengan sebuatan Kepulauan Sunda Kecil. Ia juga merintis salah satu kongregasi biarawati pribumi, Congregation Imitationis Jesu (CIJ) atau Kongregasi Pengikut Yesus.
Mgr Leven lahir di Lank-Jerman, 13 Juni 1883 sebagai putra sulung dari lima bersaudara. Ayahnya Wilhelmus Leven, bekerja sebagai guru sekolah dasar, sementara ibunya Katharina Classen adalah ibu rumah tangga.
Leven kecil dikenal sebagai sosok yang bijaksana, sederhana dan memiliki semangat sosial yang tinggi. Ia juga sosok yang teliti dan tuntas dalam menjalankan setiap tugas.
Sejak usia dini, ia memiliki ketertarikan pada hidup religius. Hal itu mungkin karena orang tuanya berlangganan majalah “Der Kleine Herz Jesu Bote” (Bentara Kecil Hati Yesus), media yang disponsori oleh Arnold Janssen, pendiri SVD, SSpS dan SSpS AP.
Sering membaca majalah itu melahirkan keinginan dalam dirinya untuk kelak menjadi misionaris.
Masuk Seminari
Karena tekad untuk menjalankan misi, setelah tamat sekolah menengah, ia masuk seminari yang didirikan oleh Arnold Janssen di Steyl, Venlo, Belanda.
Perjalanan panggilannya sempat terganggu karena ia sakit, sehingga harus pulang ke rumah. Namun, ia kemudian bisa kembali ke seminari setelah kesehatannya pulih.
Pada 11 September 1905, Leven melamar untuk menjadi novis SVD. Ia digambarkan mengikuti kegiatan pendidikan dan pembinaan dengan penuh semangat, gembira, rajin, setia dan tekun.
Tanggal 1 November 1907 menjadi sangat istimewa baginya, di mana ia mengirarkan kaul pertama.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di St. Gabriel, Austria, tempat ia disiapkan secara ilmiah dan spiritual bagi perutusan sebagai misionaris.
Setelah studi filsafat dan teologi, Frater Leven mengikrarkan kaul kekal pada 7 September 1910 bersama 56 temannya dan meneriman tahbisan imamat pada 29 September 1910.
Mulai Bermisi
Togo menjadi daerah tujuan misi pertamanya. Ia diutus ke sana bersama empat orang teman kelasnya dan tiba pada 10 Agustus 1911.
Secara politis, sejak tahun 1884, Togo adalah daerah kolonial Jerman, sehingga misionaris asal Jerman mudah bekerja di sana.
Pada tahun 1892 Kongregasi Propaganda Fide menjadikan Togo satu Prefektur Apostolik dan menyerahkan wilayah ini kepada SVD.
Di sana, Leven lebih banyak bergelut di dunia pendidika, keuangan dan terlibat aktif dalam karya pembangunan Gereja dan iman umat. Ia juga merangkap sebagai Sekretaris Prefek Apostolik dan pastor pembantu di Lome.
Semangat misioner yang sedang bernyala-nyala dalam dirinya dihentikan oleh perang dunia pertama. Sebagai warga Jerman, ia dan misionaris lainnya ditangkap dan menjadi tawanan perang. Mereka pun harus meninggalkan Togo pada 10 Oktober 1917.
Setelah dipindahkan ke Freetown, ia ditawan di kamp penjara Alexandra Palace, lalu pada Desember 1917 ditawan di Liverpool, sebelum dipindahkan ke Isle of Man. Atas permintaan Paus Pius XI, pada 17 Mei 1918 mereka dibebaskan.
Selanjutnya ia berkarya di Stratum dekat Lank, tempat kelahirannya sampai awal Oktober 1920.
Ke Kepulauan Sunda Kecil
Semangat misionaris yang menjadi impiannya sejak kecil tak pernah padam dalam diri Leven.
Kala itu, Pater Piet Noyen, SVD yang sudah lebih dahulu berkarya di Kepulauan Sunda Kecil menulis surat kepada pimpinan SVD, Pater General Wilhelm Gier, SVD terkait permintaan tenaga dan finansial. Pater Piet adalah misionaris yang pernah bertugas di Shantung, China (sampai 1909) dan menjadi misonaris perintis misi SVD di Kepulauan Sunda Kecil, di mana ia tiba di Batavia pada 1913.
Oleh, Karel Steenbrink, ia disebut sebagai adalah peletak dasar dan arsitek bagi misi Katolik di Flores dan Timor. (2007, vol 2: 128).
Permintaan Pater Piet itu menggugah Pater Leven, yang kemudian bertekad ke Sunda Kecil.
Digambarkan bahwa, umat paroki di Jerman, tempat ia, menjadi pastor pembantu, merasa sangat kehilangan sosoknya yang mereka akui sebagai gembala yang baik. Untuk menghormatinya pemerintah daerah setempat (Gemeinde Krefeld) mengabadikan namanya sebagai salah satu nama jalan di dekat Gereja St. Andreas.
Pada tanggal 23 Oktober 1920, Leven berlayar dari Rotterdam – Belanda di Tanjung Priok setelah hampir sebulan perjalanan, tepatnya 20 November 1920. Ia mesti melanjutkan perjalanannya ke Flores dan tiba di Ende pada 11 Desember 1920.
Sebagai misionaris baru ia harus belajar bahasa dan tradisi masyarakat setempat. Di Ndona, desa kecil dekat kota Ende, ia belajar bahasa Melayu.
Dua tahun kemudian, sejak 22 Juli 1922, oleh Vikaris Apostolik, Mgr. Arnoldus Verstraelen, SVD ia ditugaskan di Timor. Di sana ia menjadi Rektor Distrik, Pastor Paroki Halilulik – Timor dan mendapat surat resmi dari Pemerintah Hindia Belanda menjadi Inspektur (Ketua Yayasan) Persekolahan Misi di Pulau Timor sampai akhir Juli 1927.
Pada Agustus tahun yang sama, Pater Leven kembali ke Ndona untuk mengisi jabatan Pro-Vikaris, mendapingi Mgr Verstraelen.
Selama mengisi jabatan ini ia bertugas mengelola dan mengatur seluruh bidang pendidikan di wilayah Kepulauan Sunda Kecil.
Setelah kematian mendadak Mgr Verstraelen akibat kecelakaan mobil bersama Pater Jan Bouma SVD di Flores pada 15 Maret 1932, Pater Leven ditunjuk menjadi Administrator Apostolik.
Pada 25 April 1933, status kewarganegaraannya beralih menjadi warga negara Belanda. Ia kemudian menjadi Vikaris Apostolik di Kepulauan Sunda Kecil.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya Minggu, 12 November 1933 Pater Heinrich Leven menerima tahbisan Uskup di Uden – Belanda, di mana ia memilih memilih motto “O Crux Ave Spes Unica” yang berarti “Salam Oh Salib Satu-satunya Harapan.”
Motto ini menunjukkan suatu refleksi mendalam tentang hidup, panggilan dan perutusan, yang membawanya bersatu lebih erat dengan Yesus, memajukan serta memperjuangkan suatu hidup yang lebih manusiawi seturut kehendak Tuhan (Konstitusi CIJ, no. 71).
Memberi Ruang Bagi Pribumi
Pada awal abada ke-20, Gereja merasakan perlunya mendirikan tarekat-tarekat religius pribumi. Salah satu anjuran itu muncul pada 30 November 1919 melalui Surat Apostolik Maximum illud dari Paus Benedikt XV yang menekankan internasionalitas pewartaan dan perlunya keterlibatan semua kaum dalam karya misi, dalam pewartaan Injil dan tindakan kasih. Surat Apostolik ini juga menekankan pentingnya kehadiran tokoh-tokoh pribumi sebagai pemimpin Gereja.
Selanjutnya melalui Ensiklik Rerum Ecclesiae pada 28 Februari 1926, Paus Pius XI menganjurkan kepada para uskup di wilayah misi supaya mendirikan serikat-serikat religius bagi pria maupun wanita.
Para petinggi SVD di Flores menjawab anjuran itu dengan membentuk formasi dasar untuk imam pribumi, yaitu dengan mendirikan Seminari Sikka – ,yang selanjutnya dipindahkan ke Todabelu Mataloko – dan Seminari Tinggi Ledalero. Keduanya menjadi sejarah baru bagi perkembangan iman dan Gereja di Flores dan Timor.
Pada tahun 1920, lahir pula gerakan emansipasi yang dimotori oleh tiga putri dari Ili – Maumere (Maria Veronika, Lusia Lise, dan seorang sahabatnya), yang ingin mengikuti Tuhan dan mengabdi sesama.
Atas dukungan Pater Jakob Köberl, SVD, pada 1923, mereka mendatangi biara Suster-suster SSpS di Lela. Tetapi karena perbedaan budaya, pendidikan yang rendah dan belum terlalu matang dalam hidup kristiani, kerinduan mereka belum dipenuhi.
Niat para putri ini kemudian sampai kepada Vikaris Apostolik, Mgr. Vestraelen, SVD.
Ia lalu meminta Pater Köberl untuk mengumpulkan mereka dan memberi bimbingan rohani “sambil menunggu waktu yang tepat” untuk menemukan Kongregasi untuk para gadis itu.
Pada tahun 1925 enam calon ditampung di asrama suster SSpS di Lela dan dibimbing oleh Pater Lambert Flint, SVD sebagai direktur spiritual. Pada tahun 1930, 14 kandidat baru memulai proses formasi di Mataloko.
Pater Köberl ditunjuk oleh uskup sebagai moderator untuk memberikan wejangan yang diperlukan dan menyiapkan regulasi untuk penerimaan kandidat.
Para kandidat ini kemudian menjadi aspiran “tanpa kongregasi” yang dipimpin oleh Sr. Helena, SSpS sebagai magister.
Mgr. Verstraelen, SVD sampai kematiannya yang mendadak dalam perjalanan untuk mengunjungi para siswa seminari dan calon religius wanita pribumi yang sudah terkumpul di Mataloko, belum menemukan model Kongregasi yang tepat untuk para gadis ini.
Membentuk CIJ
Cita-cita para gadis ini untuk terlibat dalam pewartaan iman dan dan tindakan injili didukung secara penuh oleh penerus Mgr. Verstraelen, yaitu Mgr. Leven.
Saat menjabat provikaris, ia memutuskan meliburkan para kandidat untuk menguji tekad mereka menjadi biarawati. Ia berpesan agar mereka pulang ke rumah masing-masing sampai pada waktunya akan dipanggil.
“Saya akan memanggil yang lulus dengan tanda gambar Hati Mahakudus Yesus, dan yang tidak lulus saya beri tanda gambar St. Yosef menggendong anak Yesus. Calon yang lulus akan ke Jopu supaya mereka belajar dan menghayati kemiskinan seperti keluarga kudus Nazareth. Hidup baik-baik dan rajin berdoa,” pesannya.
Tanggal 26 Mei 1933, ia memanggil tujuh calon yang lulus, untuk memulai hidup sebagai calon biarawati, yakni Veronika Buik, Veronika Telik, Maria Veronika, Lusia lise, Antonia Kuki, Raimunda Roja dan Yohana Hewot. Enam kandidat lain juga turut dipanggil, yaitu Elisabeth Bota dan Ernesti de Ornay dari Lewolaga Flotim, Angela Tahan dan Maria Belak dari Timor, Alberta Tuto dari Belang – Lembata, Petronela Pagang dari Nita – Sikka. (Komisi Spiritualitas CIJ, 2015: 70).
Jopu, desa kecil dekat kota Ende, menjadi tempat persemaian benih iman kongregasi CIJ. Dengan ini terbukalah lembaran sejarah tentang keterlibatan gadis-gadis lokal dalam misi Gereja di Flores dan Timor.
Sejarah ini dimaklumatkan tanggal 15 Maret 1935 dengan sebuah Dekrit Pendirian Kongregasi Ketoeroetan Yesus, yang kelak dikenal dengan nama CIJ.
Sahabat Semua Orang
Selama menjadi uskup di Kepulauan Sunda Kecil, Mgr. Leven mencetak banyak sejarah baru bagi, termasuk mengangkat martabat orang pribumi dalam berbagai aspek kehidupan.
Ia selalu memperhatikan mereka yang kecil, lemah, sederhana sehingga diberi julukan sebagai “sahabat semua orang”.
Melalui perjalanan misinya dari ujung timur sampai ujung barat Flores, ia membangkitkan teologi kerakyatan, tentang pentingnya keterlibatan umat dalam karya pastoral dan perlunya pemimpin yang merakyat, Gereja yang tanpa sekat, yang selalu ada bersama dengan umatnya.
Pada 28 Januari 1941 ia menahbiskan imam pribumi pertama dari vikariatnya dalam upacara di Nita, Maumere, yaitu Pater Karolus Kale Bale, SVD dan Pater Gabriel Manek, SVD.
Pater Gabriel kemudian menjadi Uskup Agung Ende 10 tahun kemudian ditahbiskan oleh Mgr. Leven.
Uskup lain yang ia tahbiskan adalah Uskup Larantuka, Mgr. Antoine Hubert Thijssen, SVD dan Uskup Ruteng, Mgr. Wilhelm van Bekkum, SVD.
Kembali ke Steyl
Pada tahun 1952 karena kesehatannya yang membutuhkan perawatan intensif, ia kembali ke rumah Induk SVD di Steyl, di mana ia kemudian menggunakan banyak waktu untuk berdoa bagi misi Gereja di Indonesia, khususnya di Flores, dan terkhusus CIJ yang ia dirikan.
Ia sebenarnya lebih memilih Flores sebagai tempat peristirahatannya. Namun, ia memilih taat pada pimpinannya.
O Crux Ave Spes Unica menuntunnya untuk meninggalkan CIJ yang saat itu baru berusia 16 tahun yang dan membiarkan Roh Tuhan bekerja pada putri-putrinya.
Sebelum meninggalkan Jopu, ia berpasrah: “Saya meninggalkan kamu masih kecil tetapi saya harap kamu kuat. Hidup baik-baik. Di dunia ini saya tidak bersama kamu lagi, nanti di Surga baru kita bersama. Pandanglah ke masa depan, ke tempat di mana Roh Yesus mengutus setiap kita untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pada masa kini.”
Uskup Leven tak lupa berpesan: “Orang miskin selalu ada pada kamu,” yang terinspirasi dari kata-kata Yesus dalam Yoh, 12:8; Mat, 25:40: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudaraKu yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
Pada 30 Januari 1953 Mgr. Leven, dengan berseru Vivat Deus Unus et Trinus in Cordibus Nostris (Hiduplah Allah Tritunggal dalam hati semua manusia), ia menghembuskan nafasnya dan berpulang kepada keabadian surgawi.
Dalam “In Memoriam” untuk mengenang Mgr. Leven, Mgr. van Bekkum memberi kesaksian tentangnya, menyebutnya sebagai “contoh kehidupan seorang murid, seorang murid yang langka di (dalam) Gereja, yang mengenakan pakaian ungu seumur hidupnya sebagai uskup misionaris, tetapi tetap seorang religius sejati dan seorang putra yang setia kepada ayah rohaninya, Arnoldus Janssen.”
PASTOR AGATEUS NGALA SVD dan SR. LENNY CIJ
Komentar