Katoliknews.com – Pastor Samuel Nasada Himawan OFM memilih masuk biara setelah sempat berkarir di Amerika Serikat (AS). Pada Desember lalu, ia ditahbiskan sebagai imam Fransiskan dan menjadi anggota dari Provinsi OFM St. Barbara, AS.
Pada awal bulan ini, ia sempat berkunjung ke Indonesia, tanah kelahirannya dan merayakan Misa Syukur di parokinya, St Stefanus Cilandak, Keuskupan Agung Jakarta.
Pastor Sam menamatkan sekolah menengahnya di Jakarta, yakni SD Charitas, dan SMP-SMA Kolese Kanisius, sebelum kemudian melanjutkan kuliah Sarjana Muda Teknik Industri di Oklahoma State University dan Master Teknik Industri di Georgia Institute of Technology.
Perjalanannya hidupnya beralih dari karir profesional ketika pada 2010 ia memilih masuk biara Fransiskan.
Setelah menempuh masa postulat, novisiat dan studi Master of Divinity di Franciscan School of Theology, ia akhirnya mengikrarkan kaul kekal di Oakland pada Agustus 2016 dan menerima tahbisan diakon dari Uskup Phoenix, Mgr. Thomas J. Olmsted, pada tahun 2018.
Putra dari Anton Himawan dan Melany UntoroIa ini ditahbiskan sebagai imam pada 3 Desember 2019.
Pimpinanannya kemudian memberinya tugas melanjutkan pelayanan di Franciscan Renewal Center, lembaga yang menaruh perhatian khusus bagi para migran di negara yang kini dipimpin Donal Trump itu. Saat masih frater, ia sudah bekerja di lembaga yang sama.
Pastor Sam juga terlibat dalam Franciscan Action Network (FAN), lembaga yang dibentuk sekitar tahun 2007 sebagai wadah bersuara bagi para Fransiskan untuk membantu mengubah peraturan-peraturan dan hukum AS agar berpihak pada perdamaian, kepedulian pada lingkungan hidup, mengatasi kemiskinan dan membela hak asasi manusia.
Awal Terjun ke Pelayanan untuk Migran
Seperti apa pengalaman Pastor Sam selama di sana? Sebagaimana yang ia ungkapkan dalam sebuah wawancara dan dimuat di situs resmi JPIC-OFM, ia mengaku tergerak ikut terlibat dalam isu migran karena ia sendiri, meski melalui jalur formal, adalah imigran di AS.
Ia juga mengatakan, dirinya tahu bahwa banyak migran yang tidak memperoleh kesempatan yang sama dengan dirinya.
“Saya sangat tergerak lagi ketika Donald Trump, yang sejak masa kampanye sudah kelihatan tidak simpatik dengan hak-hak migran, terpilih menjadi presiden,” katanya.
“Ketika itulah saya memutuskan untuk menunda tahbisan diakonat dan membantu Saudara David Buer OFM dari provinsi saya untuk membentuk komunitas baru di dekat perbatasan Arizona-Meksiko,” tambah Pastor Sam.
Tanggapan Gereja Amerika
Ia menjelaskan, Gereja Katolik Amerika Serikat pada umumnya sangat membela hak-hak migran. Bahkan, kata dia, beberapa uskup dan juga konferensi waligereja sering mengeluarkan pernyataan yang membela migran.
Bagi Fransiskan di AS sendiri, jelasnya, isu ini juga menjadi perhatian.
“Dalam pertemuan kapitel provinsi kami tahun 2019, salah satu hasil keputusan adalah meminta setiap komunitas, paroki, rumah retret, dan lokasi-lokasi pelayanan lainnya untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat membantu isu migran di masyarakat sekitar mereka,” katanya
Namun, jelasnya, masih ada persoalan di level praksis.
“Banyak umat Katolik, bahkan sebagian imam, yang mendahulukan identitas politik daripada panggilan mereka sebagai pengikut Kristus,” katanya.
“Ada juga uskup-uskup yang tidak terlalu menganggap hak migran sebagai prioritas dalam wilayah mereka,” tambah Pastor Sam.
Ia mengatakan, “merasa sedih kalau melihat penolakan untuk membela migran datang dari umat Katolik sendiri.”
Untuk di kalangan Fransiskan sendiri, jelasnya, pelayanan untuk migran tidak selalu mudah karena jumlah anggota semakin sedikit dan kesibukan mereka pun sudah sangat padat.
Namun, jelasnya, ia tetap menemukan sukacita yang seringkali justru melalui umat dan pemimpin-pemimpin gereja lain yang lebih peduli terhadap migran.
“Banyak juga orang dan organisasi yang tidak berafiliasi dengan suatu gereja tetapi gigih membela hak kaum migran. Mereka inilah yang menginspirasi saya,” kata dia.
Pengalaman Paling Berkesan
Ia menjelaskan, karya di bidang pelayanan adalah sejalan dengan apa yang dilakukan St Fransiskus Assisi lebih dari 800 tahun yang lalu.
“Santo Fransiskus keluar dari keamanan dan kenyamanan hidup di balik tembok pertahanan kota Assisi untuk melayani mereka yang menderita kusta,” katanya.
“Saat ini mungkin penderita kusta tidak banyak kita temui lagi. Tetapi sangat banyak orang-orang yang kita perlakukan seperti penderita kusta. Salah satunya di AS ini adalah para migran,” kata Pastor Sam.
Ia menjelaskan, antara 1998 dan 2017, lebih dari 7000 orang migran tewas ketika mencoba melewati perbatasan, kebanyakan di gurun di Arizona.
Pasto Sam mengisahkan suatu pengalaman yang begitu berkesan baginya, ketika ia bersama beberapa rekannya berjalan di gurun dekat perbatasan.
Dalam perjalanan itu, merkea menempatkan beberapa botol air yang bisa membantu para migran yang berjalan di gurun itu agar tetap hidup ketika mereka sudah kehabisan air.
“Seorang dari kami tiba-tiba berhenti dan terhenyak. Dia menemukan sebuah tengkorak manusia,” katanya.
Sesuai prosedur, jelasnya, mereka mesti melaporkan hal itu kepada polisi dan menunggu sampai polisi datang.
“Karena waktu sudah siang, kami duduk dan membuka bekal kami. Saya merasakan saat itu persekutuan para kudus benar-benar nyata,” kisahnya.
“Saudara kita yang mati di tempat itu mungkin belum pernah mendapatkan penguburan yang pantas. Kami yang ada di sana saat itu, dengan bekal seadanya, secara sederhana merayakan kembalinya dia ke pangkuan Bapa di surga,” lanjut Pastor Sam.
Tren Permusuhan Terhadap Migran
Dari pengalamannya dan bagaimana perlakukan negara AS serta di belahan dunia lain saat ini terhadap migran, ia menjelaskan, ada semacam tren di mana banyak orang memilih pemimpin pemerintahan yang bersikap keras terhadap migran, seperti di Italia, Brasil dan Inggris.
“Mereka merasa bahwa negara mereka ‘diserang’ oleh para migran yang berbeda warna kulit, beda budaya dan agama, cara hidupnya tidak sesuai dengan cara mereka, dan alasan-alasan lainnya,” katanya.
Politik identitas, jelas dia, sangat laku karena sangat mudah digunakan untuk menarik massa pendukung.
“Namun, hal ini tidak sesuai dengan ajaran Kristus, di mana kita dituntut untuk membela mereka yang lemah, mereka yang dipinggirkan,” katanya.
Ia berharap umat Kristiani di mana pun juga tidak termakan dengan politik identitas semacam ini dan tetap mengutamakan misi Kristus di dunia.”
Hal itu, jelasnya, juga dikidungkan oleh Bunda Maria dalam Luka 1: 46-55, yakni “Tuhan mencerai-beraikan orang yang angkuh hatinya, orang yang berkuasa diturunkan-Nya dari takhta, yang hina dina diangkat-Nya, yang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan, orang kaya diusir-Nya pergi dengan tangan kosong.”
Komentar