Katoliknews – Bukan orang sehat yang memerlukan tabib (dokter) tetapi orang sakit. Demikian dikatakan dalam injil.
Di sekitar kita banyak dijumpai orang-orang yang memiliki keterbatasan secara mental dan fisik, seperti bisu dan tuli. Ada juga yang berkeliaran di jalanan kota dan kampung karena stress akibat dirundung masalah.
Menampung, merawat dan merehabilitasi kondisi fisik dan mental mereka adalah wujud konkret dari iman.
Namun, dalam kenyataanya, sering dijumpai orang-orang yang memiliki keterbatasan mental dan fisik ini tak jarang dimargnalkan dalam pergaulan. Bahkan negara yang seyogianya bertugas melindung, justru tak jarang melakukan pengabaian.
Hal ini yang mendorong Suster Lucia,CIJ, Ketua Yayasan Bina Daya St. Vincentius Cabang Sikka (Yasbida) untuk mendirikan Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat Santa Dymphna Wairklau Maumere, Kabupaten Sikka Flores NTT, pada Juni 2004.
Panti itu kini menampung 90 penyandang disabilitas mental dan 12 orang cacat fisik.
Panti ini juga menjadi satu-satunya tempat rehabilitasi di NTT yang menampung orang gila.
Suster Lucia CIJ kelahiran Mataloko Bajawa 19 September 1966. Nama aslinya sebelum menjadi biarawati adalah Meo Sofia.
Ia mengisahkan awal pendirian Panti Dymphna ini dan bagaimana suka dukanya merajut kasih bersama mereka yang diberi label terpinggirkan dan sampah masyarakat.
“Mama suster, bagaimana kalau kami ditampung, untuk terus belajar menjahit? Begitu pinta 10 gadis cacat kepada Sr. Lucia,CIJ pada tahun 2003 silam.
“Saya tidak punya uang untuk membangun rumah panti bagi kamu,” begitu jawab Sr. Lucia kala itu.
Terbentuknya Panti Santa Dymphna merupakan jawaban atas permintaan 10 gadis cacat pada suatu kesempatan pelatihan menjahit yang difasilitasi Sr. Lucia CIJ dan didanai oleh Dinas Sosial Kabupaten Sikka pada 1-26 November 2003.
Awalnya permintaan itu ditanggapi secara pesimis oleh Sr. Lucia, CIJ. Maklum ia memang tak punya uang untuk membangun panti.
Namun the voices of the voiceless itu tetap menggema dalam hati suster dan mendorongnya untuk mencari jalan keluar.
Pada tanggal 22 November 2003 ke 10 gadis cacat itu datang ke kantor Yasbida, tempat Sr. Lucia berkarya sebagai Ketua Yayasan Bina Daya Cabang Sikka.
Lagi-lagi ke 10 anak cacat itu meminta kepada suster untuk menampung mereka karena mereka mau belajar lebih banyak lagi tentang menjahit dan kalau perlu tentang ketrampilan lain seperti menyulam, merenda dan memasak.
Kehadiran 10 gadis ini semakin membuat suster terus berpikir bagaimana caranya agar dia bisa mewujudkan permintaan mereka. Dalam hati kecil suster, terlintas bahwa ini adalah rahmat, dimana visi dan misi kongregasi harus direalisasikan.
Keberpihakan kepada yang kecil (option for the poor) yang merupakan panggilan gereja universal dan misi kongregasi harus diwujudkan.
“Ini adalah peluang, rahmat yang harus ditanggapi dalam aksi yang nyata. Allah-lah yang menghendaki semuanya ini lewat anak-anak ini,”kata Sr. Lucia.
Karena itu menurut Suster, bila Allah yang menghendaki dan menyelenggarakan semuanya ini, pasti Dia selalu memberi jalan. Karena apa yang mau dilakukan adalah implementasi dari sabda Yesus sendiri.
Para gadis cacat ini adalah representasi dari “orang kecil” dan orang yang “hina dina”. “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:50).
Selanjutnya, Suster Lucia dan ke 10 gadis cacat itu melakukan aksi penggalangan dana. Bersama para gadis itu, suster meminta bantuan dana di beberapa toko dan instansi pemerintah setempat. Ini seperti yang disabdakan Yesus “Carilah maka kamu akan mendapat, ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu”.
Berjuang, bekerja keras sambil tetap berharap pada penyelenggaran Allah adalah kunci kesuksesan walau harus banyak menghadapi tantangan dan kesulitan. Karena itu suster tetap berjuang.
Selama tiga hari, suster dan ke 10 gadis itu mampu membukakan hati mereka yang mempunyai kepedulian terhadap nasib kaum kecil. Mereka memperoleh dana sebesar Rp 462.500.
Inilah dana awal yang merupakan sejarah dan buah dari sebuah perjuangan hingga panti itu kini menjadi besar dan dapat menampung ratusan penyandang disabilitas serta bisa melakukan banyak aktivitas pemberdayaan dan penyembuhan terhadap kaum cacat.
Suster Lucia akhirnya menampung ke 10 gadis cacat tersebut di rumah sederhana, milik yayasan dan hidup apa adanya bersama mereka.
Uang hasil saweran keliling kota itu kemudian ditambahkan dengan uang milik Suster Licia sendiri sebesar Rp 2 juta. Uang Rp 2 juta itu adalah hasil honornya sebagai instruktur pada pelatihan ketrampilan bagi anak-anak cacat yang disponsori Dinas Sosial Kebupaten Sikka. Sehingga jumlah uang yang dimiliki untuk modal pembangunnan panti menjadi Rp 2.462.500.
Jumlah uang tersebut sebetulnya tidak cukup untuk memulai pembangunan sebuah panti. Namun, suster tidak gentar.
Ternyata jalan dan berkah Tuhan selalu menyertai setiap perjuangan mereka yang berpihak kepada yang miskin papah, kecil dan pendosa. Banyak individu yang menyumbang baik secara moril maupun material.
Akhirnya, pada 26 Januari 2004, peletakan batu pertama pembangunan panti dilakukan. Upacara peletakan pertama dipimpin Romo Beslon Pandiangan, O.Carm.
Pelaksanaan pembangunan mulai berjalan kendati tertatih-tatih. Hingga Maret 2004 pembangunanya belum juga rampung akibat kekurangan dana.
Namun, semuanya itu tidak membuat suster menyerah. Justru kendala itu dilihat sebagai peluang untuk terus berjuang.
Langkah selanjutnya koordinasi denagn Dinas Sosial Kabupaten Sikka untuk membantu kaum disabilitas dengan menyuntikan dana pembangunan sebesar Rp 8 juta. Jumlah dana yang terkumpul kemudian mencapai Rp. 13.572.500.
Dari jumlah ini memang tidak cukup untuk merampungkan pembangunan panti. Tapi bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Akhirnya pembangunan panti bisa dirampungkan pada Juni 2004.
Kini panti tersebut menampung 90 penyandang disabilitas mental dan 12 orang cacat fisik. Setelah 10 tahun lebih berkiprah membantu sesama yang lemah, pantai ini masih membutuhkan uluran banyak pihak agar tetap terus berkarya.
Panti yang dibaptis dengan nama Sta Dymphna ini hingga kini terus berkarya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup penghuninya, suster membuka warung di Pasar Alok, Sikka. Para pekerja warung adalah mereka yang sudah sembuh di panti dan diberi gaji seadanya.
Selain itu para penyandang cacat ini menjual kue. “Panti ini selalu mengetuk hati para donatur untuk membantu karena biaya operasional cukup besar,”kata Suster Lucia.
Yuven Fernandez/Katoliknews
Komentar