Mari kita simak pernyataan-pernyataan ini: “Jika isi kepalamu hanya palu, maka besar sekali kemungkinannya Anda akan menjadikan sesamamu sebagai paku-paku yang siap dipalu. Jika isi kepalamu hanya sapu, maka besar sekali kemungkinannya Anda akan menjadikan sesamamu sebagai sampah-sampah yang siap dibuang dan dibakar. Jika kepalamu penuh dengan prasangka, dendam, rasa takut, dan cemburu, maka besar sekali kemungkinannya Anda akan menjadi pengecut, enggan bersahabat dan bersaudara dengan orang lain, dan gampang sekali berpikir negatif terhadap sesama. Dan jika kepalamu berisi kejujuran, ketulusan, dan kebaikan maka besar sekali kemungkinannya Anda mudah sekali untuk percaya pada sesama, menghormatinya, dan berpikir positif terhadapnya.”
Pernyataan-pernyataan di atas mau menegaskan tiga hal berikut ini. Pertama, pengakuan bahwa cara kita berpikir dan berasa memiliki pengaruh terhadap cara kita bertutur dan bersikap terhadap sesama. Penilaian, perkataan, dan perbuatan kita merupakan pantulan pola pikir dan isi hati kita. Pepatah Latin berbunyi : ex abudantia cordis, dari hati yang baik muncul keluar apa-apa yang baik. Pepatah ini mau menunjukkan bahwa kejujuran berarti padunya kata dengan aksi, satunya pemikiran dengan tindakan, dan besarnya jiwa untuk setia. Dalam tutur kata dan tingkah laku kita menjadi terjelaskan atau ternyatakan bobot dan kualitas kepribadian kita. Maka, bukan suatu kebetulan jika dikatakan bahwa pertobatan merupakan metanoia, yakni upaya terus-menerus untuk melakukan semacam transformasi pola berpikir, pola bertutur, dan pola bersikap. Dalam arti itu, bertobat berarti berjuang untuk hidup dengan integritas.
Kedua, pertobatan ini adalah suatu tuntutan atau tugas yang niscaya. Mengapa? Karena tak satu pun dari kita mau tetap hidup dalam situasi kedosaan. Seperti kisah anak yang hilang itu (Luk. 15), kita semua tidak ingin hidup terasing dan telantar. Kita sudah selalu rindu bebas dari aib dan berjuang untuk hidup berdasarkan makna, nilai, dan pengertian yang baik. Dan untuk ini diperlukan suatu perubahan arah pandang: dari yang sementara menuju yang abadi; dari realitas penampakan luar menuju interioritas; dari kedangkalan menuju kedalaman; dari keributan atau gemar gosip menuju keheningan dan kejujuran batin; dari habitus lama menuju habitus baru. Tindakan-tindakan bejat dan dosa yang kita lakukan kerap muncul bukan karena kita bodoh etika atau tak paham tentang baik-buruk, melainkan karena kita tak sanggup mengatasi kelemahan diri kita. Dalam arti ini, berdosa adalah menolak jujur dan tak mau bergantung pada Allah. Kita terlalu egosentris sedemikian rupa sehingga mudah memaafkan diri dan tak sanggup melihat cahaya kebaikan Allah. Santo Agustinus menyebut manusia egosentris itu dengan istilah homo incurvatus. Maka, mohonkan rahmat pengertian dalam masa prapaskah ini.
Ketiga, bertobat berarti berupaya menemukan jati diri kita yang terkubur dan terpendam dalam tanah (bdk. kisah mengenai perempuan yang mencari dirham itu dalam Luk. 15). Adapun jati diri tersebut adalah martabat, harkat, dan fitrah kita yang memang dikehendaki Allah. Dengan bertobat berarti kita mau berjuang untuk kembali ke inti diri tersebut. Kita mau berdamai bukan saja dengan Allah, Sang Asal-usul kita melainkan juga dengan sesama warga Gereja, tempat kita diterima oleh sesama saudara beriman. Dalam Sakramen Tobat yang kita rayakan di Gereja pada masa tobat ini berperanlah atau berdaya gunalah roh persekutuan dari manusia yang konkret.
Jelaslah bahwa pertobatan pertama-tama merupakan status atau cara hidup kita sebagai manusia, orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Sebagai suatu status atau cara hidup, pertobatan berkaitan bukan hanya dengan ibadat atau sembah bakti di Gereja melainkan juga dengan sikap dan praksis iman kita sehari-hari. Sakramen Tobat dalam Gereja tak banyak faedahnya kalau setelah perayaan tobat itu kita, misalnya, tetap rajin membuang sampah dan ludah di sembarang tempat, masih malu mengingatkan diri untuk berdoa dan berbuat baik, dan buta terhadap penderitaan sesama.
Ibadat dan sembah bakti kita kepada Allah menjadi hampa kalau kita, pada tingkat perjuangan dan tindakan, menolak berlaku jujur, adil dan baik terhadap sesama ciptaan. Mari kita ubah cara berpikir, berasa, dan berlaku buat sesama kita. Mari bertobat sebab itulah cara hidup kita. Dalam Mazmur 51 disebutkan bahwa persembahan kepada Allah ialah jiwa yang menyesal.
Rindu Bersekutu dengan Tuhan
Kita kerap mendengar dan mungkin juga dengan yakin mengucapkan kalimat berikut ini: “Manusia boleh merencanakan, tetapi Allah menentukan”. Kalimat ini sangat kristiani dan diucapkan untuk menunjukkan kekecilan manusia di hadapan Allah. Kematian tak terduga dari para kekasih kita, disembuhkan secara ajaib dari penyakit yang ganas, diberikan keturunan setelah sekian lama menanti, dan dikabulkan doa minta tolong kita adalah sebagian contoh dari kenyataan bahwa hidup kita tidak sepenuhnya berada dalam penguasaan tangan kita. Peristiwa-peristiwa ini berada di luar batas nalar kita. Pekerjaan-pekerjaan Allah memang sukar dipahami budi, tetapi kita kerap menyaksikan perbuatan-Nya dalam ziarah sejarah hidup kita. Maka, kalimat itu menegaskan juga pengakuan bahwa kita tak dapat menyingkir dari Allah sebagai satu-satunya Penyelenggara kehidupan kita. Manusia membutuhkan keselamatan yang datang dari Allah. Credo seperti itu membawa orang untuk taat, rendah hati, sujud, dan menyembah Allah, Sang Pencipta.
Bagi orang-orang yang mau beriman secara lebih sadar dan bertanggung jawab, keyakinan kristiani di atas tidak begitu saja diterima. Pernyataan tersebut cenderung dianggap mengabaikan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang mandiri, sanggup berpikir sendiri, dan mampu membuat rencana atas hidupnya. Kalimat tersebut dianggap menyuburkan sikap fatalistik dan menggoda orang untuk melihat hidup ini sebagai suatu yang tidak berguna. Kepercayaan seperti ini juga dapat mendorong orang untuk mendakwa atau menuduh Allah sebagai penyebab aneka macam keadaan buruk yang menimpa dan menderanya di dunia ini. Kalimat itu pun menimbulkan kesan yang tak sedap, yakni bahwa pengakuan dan kepercayaan kita kepada Allah seolah-olah dibangun atas dasar keruntuhan atau ketidaksanggupan budi memahami karya-karya Allah.
Maka, marilah sekarang kita berupaya memahami keyakinan kristiani di atas dengan tepat. Paling tidak, ada tiga hal yang mau dinyatakan oleh kalimat tersebut. Pertama, Allah adalah asal dan tujuan hidup kita. Pengakuan ini tidak hendak menegaskan bahwa Allah adalah nama di mana nalar manusia mencapai batasnya. Pun tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Allah adalah buah pikiran, hasil khayalan atau proyeksi diri manusia. Sama sekali bukan. Akan tetapi, pengakuan itu mau memperteguh kenyataan bahwa Allah itu sudah selalu menyertai kita dan bahwa tanpa Allah kita mustahil hidup secara bermakna. Kepercayaan akan kasih-Nya merupakan basis paling kuat dari kepercayaan kita akan ketidakpercumaan hidup yang kita panggul dalam ruang dan waktu ini. Tak satu pun segi hidup kita ini yang dapat luput dari perhatian kasih Allah. Dari pada-Nya kita berasal dan kepada-Nya kita kembali.
Kedua, kita diberi tugas oleh Allah untuk berbuah. Kita menerima tugas itu sebagai suatu yang diberikan, suatu yang dihadiahkan, ya suatu rahmat dari Allah sendiri. Allah percaya pada kita, mencintai dan meneguhkan kebebasan kita. Allah menyertakan kita dalam rencana keselamatan-Nya. Dia mengangkat kita menjadi pekerja-pekerja di ladang anggur-Nya. Maka, tidak aneh kalau kita berjuang semampu kita merawat dunia, membina persahabatan dengan sesama, mengatasi kekurangan diri kita, meraih prestasi, dan mengembangkan bakat atau talenta yang dipercayakan Tuhan untuk kita kembangkan. Santo Ireneus berkata: Gloria Dei, homo vivens et vivere pro homine est cognoscere Deum, yang artinya kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup dan hidup bagi manusia adalah berupaya mengenal Allah. Dalam dan melalui kesaksian hidup kita yang berbuah dan bermartabat Allah dimuliakan.
Ketiga, relasi kita dengan Allah bersifat hakiki, dasariah, dan meresapi seluruh bidang hidup kita. Maka, relasi itu bukan suatu yang sampingan saja. Relasi itu pun mendahului pikiran atau refleksi kita. Ini artinya, Allah sudah selalu setia memperhatikan kita kendati kita tak selalu mau diperhatikan oleh Dia. Dalam Yohanes 15:1-8, relasi itu disimbolkan dengan pokok anggur. Yesus Kristus adalah pokok anggur dan kita adalah ranting-ranting. Hanya dalam hubungan dengan Yesus, hidup, karya, perjuangan, cita-cita, dan kebebasan kita mendapatkan artinya yang terdalam. Dalam bahasa Santo Agustinus : Tuhan, Engkau menciptakan kami bagi-Mu, dan hati kami gelisah sebelum beristirahat pada-Mu. Dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payah dan kerinduan kita tidak pernah percuma dan sia-sia.
Manusia boleh merencanakan, Allah menentukan. Pengakuan kristiani ini menandakan harapan dan bukan kekecewaan, syukur dan bukan gerutu, kepastian dan bukan keraguan, kemauan kuat dan bukan keengganan berjuang. Allah dalam Yesus Kristus tidak dapat dihina oleh kita kecuali kalau kita bertindak melawan kerinduan, kebaikan dan kesejahteraan kita sendiri. Tuhan, terpisah daripada-Mu berarti mati.
Sdr. Frumens Gions OFM, imam Fransiskan dan dosen Moral STF Driyarkara, Jakarta. Tulisan ini sebelumnya dipublikasikasikan di ofmindonesia,org, situs OFM Provinsi Santo Michael Malaikat Agung Indonesia. Atas izin pengelola situs tersebut, tulisan tersebut di-republikasi di media ini untuk menjangkau pembaca yang lebih luas.
Komentar