Katoliknews – Saat ini kalerder Gereja Katolik memasuki masa Prapaskah yang diawali dengan perayaan Rabu Abu pada 14 Februrari lalu. Masa Prapaskah itu identik dengan puasa dan pantang. Di kalangan umat, muncul pertanyaan: Apa tujuan dari puasa itu? Dan, apakah itu wajib untuk dijalankan?
Adapun dalam Kitab Hukum Kanonik, umat Katolik diwajibkan berpuasa pada waktu yang telah ditentukan, yaitu pada Hari Jumat sepanjang tahun dan selama 40 hari masa Prapaskah (Kanon 1250).
Pastor Postinus Gulo OSC pada akun Twitter-nya [X] @PostinusGul menjelaskan, puasa bagi orang Katolik merupakan kesempatan olah rohani, “agar kita [orang Katolik] bertumbuh secara rohani. Kita bertobat: menyesali segala dosa dan kesalahan dan memperbarui diri dengan lebih baik.”
Pada zaman Perjanjian Lama (PL), terang dia, orang Yahudi juga melakukan puasa. Hal itu mereka lakukan sebagai persiapan menyambut kedatangan sang Mesias. Bagi mereka [Orang Yahudi], berpuasa merupakan perwujudan penyesalan dan pertobatan untuk mempersiapkan diri bertemu Allah.
Sementara itu, Pastor Postinus melanjutkan, orang-orang Farisi memahami puasa sebaliknya, yakni aturan membuat mereka menjadi seperti ‘tahanan hukum, yang tidak membebaskan dan tidak menggembirakan!
“Jadi, orang Farisi membuat “aturan” berpuasa yang justru “memberatkan” hidup umat, tidak mengalami kebebasan rohani, dan terhambat mempersiapkan diri bertemu Tuhan,” ujarnya.
Lalu bagaimana dengan orang Katolik? Postinus menegaskan, puasa dan pantang merupakan “kesempatan melakukan pertobatan, penyangkalan diri, dan menyatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai silih dosa kita dan demi mendoakan keselamatan dunia; melakukan karya kesalehan dan derma.”
Karena itu, kata dia, orang Katolik berpuasa bukan sekadar kewajiban, tetapi sebagai kesempatan penuh rahmat (Kairos = golden moment with God).
“Selama Puasa, umat Kristen Katolik mendapat kesempatan bertobat, kesempatan melakukan karya kesalehan, amal kasih, dan penyangkalan diri,” kata Pakar hukum Gereja itu.
Menurut dia, kalau puasa itu sekadar kewajiban, maka intensinya menjadi kerdil, yakni sebatas aturan. Padahal, masa puasa justru kesempatan penuh rahmat; yang dibangun adalah kesadaran untuk berpuasa yang bertujuan melakukan pertobatan.
Imam Salib Suci itu mengatakan, dalam berpuasa kita tidak sendirian, tetapi kita memohon agar kita bersama Tuhan. Ia memberi contoh yang dilakukan Musa, yang ia berpuasa bersama Tuhan.
“Dan Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air, dan ia menuliskan pada loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman,” katanya mengutip bunyi ayat Keluaran 34:28
Komentar