Oleh: RD GREGORIUS NYAMING, Imam Diosesan Keuskupan Sintang, sedang menempuh studi doktoral Teologi Dogmatik di The John Paul II Catholic University of Lublin, Polandia
Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini lahir dari sebuah kegelisahan atas berbagai macam cara yang dilakukan oleh pemerintah melarang masyarakat Dayak untuk berladang. Kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan bencana kabut asap adalah alasan utama di balik pelarangan itu. Sistem ladang berpindah dengan cara membakar yang dipraktikkan masyarakat Dayak dipandang telah menyumbang terjadinya bencana kabut asap. Karena itu, sistem berladang yang demikian harus dihentikan.
Penangkapan terhadap keenam orang peladang di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, pada akhir 2018 yang lalu seakan menjadi bukti nyata keseriusan pemerintah. Penangkapan tersebut kontan saja mengundang penolakan yang keras dari banyak pihak, terutama kaum peladang. Sebagai bentuk dukungan moril terhadap keenam saudaranya, para peladang membentuk Aliansi Solidaritas Anak Peladang (ASAP).
Mereka tak kenal lelah memberikan dukungan. Mengabarkan kepada dunia bahwa peladang bukanlah penjahat. Tuntutan mereka hanya satu: keenam saudara mereka itu harus bebas dari semua tuntutan hukum. Mereka berjuang dengan segenap jiwa raga agar tuntutan ini dipenuhi. Sebab jika tidak, maka ke depannya para peladang terancam tidak bisa lagi meneruskan kearifan lokal ini. Seperti dilansir CNNIndonesia.com, perjuangan mereka pun akhirnya membuahkan hasil setelah pada 9 Maret 2020, Pengadilan Negri Sintang membebaskan keenam peladang itu dari semua bentuk dakwaan.
Di tempat lain, masih di Pulau Kalimantan, sebagai diberitakan Kompas.com pada 1 September 2021, Avun, seorang petinggi suku Dayak Bahau di Kampung Tukul, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, sejak lima tahun terakhir tidak lagi berladang. Alasan utama mengapa dia beserta beberapa warga lainnya memutuskan untuk berhenti berladang ialah karena takut dipenjara. Dengan berhenti berladang, maka artinya Avun dan beberapa warga lain tidak bisa lagi menghasilkan padi untuk dimakan.
Kenyataan pahit lain yang tak bisa dihindarkan dengan ditinggalkannya tradisi berladang ialah punahnya ritual-ritual yang biasa dilakukan selama proses perladangan. Hal ini diakui sendiri oleh Avun. Salah satu ritual yang tak bisa lagi dilakukan oleh masyarakat Dayak Bahau ialah Laliq Ugal, yakni sebuah ritual yang biasa dilakukan saat musim nugal (musim tanam) tiba. Ritual adat yang berpuncak pada tarian Hudoq ini, oleh masyarakat Dayak Bahau diyakini dapat menghadirkan roh-roh baik untuk memberi kesuburan ladang dan bibit yang ditanam.
Ritual Laliq Ugal hanyalah satu dari sekian banyak ritual adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak ketika musim berladang tiba. Gawai adat (pesta tutup tahun/pesta panen), yang merupakan puncak dari seluruh proses perladangan dan pesta adat yang mahapenting bagi orang Dayak, dengan sendirinya akan hilang dari peradaban bila masyarakat Dayak tidak lagi diperbolehkan untuk berladang.
Kenyataan di atas sudah sepatutnya membuat masyarakat Dayak khawatir. Bagi penulis, sebagai seorang putra asli Dayak, lahir dari rahim seorang peladang, dan sekarang mengabdikan diri bagi Tuhan dan Gereja-Nya di tengah-tengah suku Dayak, kekhawatiran itu menimbulkan sebuah tanya dalam diri: Bagaimana harus berteologi kontekstual? Sama seperti suku bangsa lainnya, suku Dayak dengan segala kekayaan budayanya sungguh menjadi lahan subur untuk berteologi kontekstual. Oleh karena itu, bila orang Dayak meninggalkan tradisi berladang sudah secara otomatis mengakibatkan hilangnya salah satu locus berteologi kontekstual.
Berladang sebagai Kearifan Lokal
Dalam segi apa kearifan berladang suku Dayak sungguh pantas menjadi locus theologicus? Hal penting yang kiranya mesti disadari masyarakat luas ialah berladang yang dilakukan orang Dayak sama sekali tidak didorong oleh motif ekonomi. Mereka berladang semata-mata untuk menghasilkan padi yang nanti akan diolah menjadi nasi sebagai makanan utama sehari-hari. Juga untuk menghasilkan beras pulut (ketan) yang biasa digunakan sebagai bahan utama pembuatan tuak, yang sering mereka gunakan dalam ritual, upacara, dan pesta adat.
Kehadiran beragam ritual adat selama proses perladangan kiranya semakin memperjelas maksud dan tujuan orang Dayak berladang. Lewat ritual dan upacara adat tersebut, para peladang ingin sungguh memperlakukan dan memanfaatkan alam dengan penuh hormat dan beradat. Tujuannya tiada lain ialah agar relasi yang harmonis dengan Yang Mahatinggi, sesama, dan leluhur serta alam selalu terjaga.
Kehadiran ritus-ritus adat dalam berladang itu hendak menegaskan bahwa aktivitas berladang bagi masyarakat Dayak merupakan sebuah kearifan lokal. Mengapa? Karena, kearifan lokal itu sendiri dipahami sebagai filsafat yang hidup di dalam hati masyarakat, berupa kebijaksanaan akan kehidupan, way of life, ritus-ritus adat, dan sejenisnya. Dia merupakan produk berabad-abad yang melukiskan kedalaman batin manusia dan keluasan relasionalitas dengan sesamanya serta menegaskan keluhuran rasionalitas hidupnya (Armada Riyanto et al: 2015).
Dengan mengadakan ritual orang menyatakan, mengungkapkan, dan mementaskan iman mereka. Ritual adalah perbuatan penyuci peristiwa penting dalam kehidupan manusia menurut cara tertentu dan secara berkala (G. van Schie: 2008). Ritual selalu melibatkan seluruh aspek jasmaniah manusia. Gestur-gestur dan simbol-simbol badaniah, tarian, nyanyian, permainan alat-alat musik sesungguhnya hendak mengantar manusia kepada kontak dengan Yang Ilahi itu sendiri (FABC Paper No. 96).
Relasi Kebudayaan Manusia dan Pewartaan Kabar Gembira tentang Kristus
Pemahaman di atas semakin menegaskan betapa kebudayaan Dayak umumnya dan kearifan berladang khususnya haruslah menjadi ruang berteologi (locus theologicus). Ruang di sini bukan pertama-tama menyatakan tempat geografis. Dia lebih mengatakan tentang ruang kultural, sosial, relasional, bahasa yang menyertainya. Dia berkaitan dengan kekayaan pengalaman hidup sehari-hari. Berbicara tentang ruang subjektif pengalaman eksistensial hidup sehari-hari manusia (Robert Pius Manik et al: 2020).
Sementara itu, dengan theologicus mau mengatakan bahwa pengalaman eksistensial manusia itu hendak dilihat dalam terang pewahyuan diri Allah. Gereja Katolik, dalam Teologi Wahyu dan Iman, memberikan penekanan akan pentingnya pengalaman manusia. Wahyu dilihat sebagai komunikasi pribadi antara Allah Yang Transenden dengan manusia yang di bumi ini. Allah yang tak kelihatan itu dari kepenuhan cinta kasih-Nya menganugerahkan diri kepada manusia, menyapa mereka, bergaul dengan mereka, bersekutu dengan mereka. Inilah hakikat dari wahyu. Dan, aspek personal, yaitu pertemuan pribadi antara Allah dan manusia menjadi aspek yang paling digarisbawahi (Nico Syukur Dister: 2004).
Tulisan ini berangkat dari pengalaman hidup dan berkarya di tengah-tengah suku Dayak. Dari aneka pengalaman pastoral, penulis harus jujur mengakui kalau kerap kali mengalami pergumulan dalam mewartakan Kristus, Sang Juru Selamat dunia. Pergumuluan itu sering muncul ketikadalam pewartaan penulis berjumpa dengan gerak hidup manusia Dayak yang hampir selalu diwarnai ritual dan upacara adat. Saat kelahiran, mandi pertama kali di sungai, saat menganjak dewasa, saat ada orang sakit, menikah, kematian, kegiatan terkait perladangan, pesta-pesta adat, pembangunan rumah, masuk rumah baru, dan lain-lain, selalu ada ritual-ritual khusus yang dilakukan.
Perjumpaan tersebut, meski sering kali menimbulkan ketegangan, kesulitan, dan tantangan, tidak kemudian membuat penulis tergesa-gesa menyimpulkan bahwa tradisi, budaya, dan adat-istiadat orang Dayak itu jelek adanya. Karena itu harus dibuang dan ditinggalkan.
Sebagai seorang pelayan pastoral, dalam hal ini penulis mesti bertindak hati-hati dan bijaksana. Pengalaman sering mengajarkan kalau umat akan merasa tersinggung dan sakit hati. Beberapa bahkan tidak mau lagi datang ke gereja, ketika tanpa ada penjelasan yang memadai dan memuaskan, Gereja melarang mereka untuk tidak lagi mempraktikkan tradisi dan adat istiadat yang telah mereka warisi dari para leluhur.
Dalam upaya berteologi kontekstual di tengah suku Dayak, penulis selalu berpedoman pada sikap dan pandangan Gereja Katolik yang meyakini bahwa Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia itu mempunyai hubungan yang sangat erat. Konsili Vatikan II, dalam dokumen Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini (Gaudium et Spes), memberikan tempat khusus untuk menguraikan pemahaman tentang kebudayaan (art. 53-62).
Salah satu pokok pengajaran berkaitan dengan pentingnya kebudayaan manusia dalam tugas pewartaan Gereja ditandaskan Konsili sebagai berikut: “Sebab, Allah yang mewahyukan diri-Nya sepenuhnya dalam Putra-Nya yang menjelma, telah bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman. Aneka ragam budaya manusia sungguh dapat menjadi medan pewartaan Gereja menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan tentang Kristus, untuk menggali dan semakin menyelaminya, serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beraneka ragam” (Gaudium et Spes art. 58).
Selain Konsili Vatikan II, pengajaran dari mendiang Paus Yohanes Paulus II juga selalu penulis jadikan pedoman. Pada masa kepausannya, Bapa Suci pernah membentuk Dewan Kepausan untuk Kebudayaan (Pontificium Consilium de Cultura) pada 20 Mei 1982. Pembentukan tersebut, sebagaimana ditandaskan dalam salah satu dokumennya tentang Pendekatan Pastoral terhadap Budaya, didasarkan pada kenyataan bahwa dari sejak Injil pertama kali diwartakan, Gereja sudah dikenal sebagai sebuah proses perjumpaan dan keterlibatan dengan budaya (art. 1).
Gereja mau membuka diri terhadap budaya manusia karena meyakini bahwa semua budaya “merupakan sebuah upaya untuk merenungkan misteri dunia dan secara khusus misteri pribadi manusia: upaya ini merupakan sebuah jalan untuk memberikan penyataan terhadap dimensi transenden dari hidup manusia. Inti dari setiap budaya manusia ialah pendekatannya terhadap misteri yang paling agung: misteri Allah sendiri” (art. 1).
Pembentukan Dewan Kepausan untuk Kebudayaan oleh Paus St. Yohanes Paulus II bukanlah sebagai penanda bawah beliau baru menyadari pentingnya budaya manusia dalam tugas pewartaan Gereja. Jauh sebelum Dewan Kepausan ini terbentuk, Bapa Suci sudah menegaskan hal tersebut dalam ensiklik pertamanya Redemptor Hominis (1979).
Berkaitan relasi antara misi Gereja dan kebebasan manusia, Bapa Suci mengajarkan: “Sikap misioner selalu mulai dengan cita rasa menghargai secara mendalam ‘apa yang ada pada manusia’” (bdk. Yoh. 2:25), apa yang oleh manusia sendiri telah dikaji dalam lubuk jiwanya mengenai persoalan apa yang paling penting dan mendalam. Misi, Bapa Suci melanjutkan, dengan demikian tidak pernah berupa penghancuran, tetapi mengangkat dan membangun secara segar” (art. 12).
Model Pendekatan Antropologi
Sikap menghargai secara mendalam “apa yang ada pada manusia” mengingatkan penulis akan model pendekatan antropologi sebagai salah satu model dalam menjalankan sebuah teologi yang kontekstual. Adalah Stephen B. Bevans yang menggagas model tersebut. Dalam bukunya, Models of Contextual Theology (1992), Bevans mengemukakan bahwa apa yang penting dari model antropologi ialah pemahaman bahwa kristianitas itu berbicara tentang pribadi manusia dan pemenuhannya. Model ini memusatkan diri pada nilai dan kebaikan dari anthropos (pribadi manusia).
Dalam model ini, kodrat manusia dan konteks manusia itu sendiri dipandang baik, kudus, dan bernilai. Dalam pemahaman ini, model antropologi akan menekankan bahwa di dalam budaya manusia-lah, kita dapat menemukan pewahyuan Allah. Mereka yang menenggelamkan diri dalam model ini berusaha mencari pewahyuan dan penyataan diri Allah yang tersembunyi dalam nilai-nilai, pola-pola relasional dan keprihatinan-keprihatinan dari sebuah konteks.
Salah satu ajaran Kristiani mengenai relasi antara Allah sebagai Pencipta dan manusia serta kerja kiranya bisa diangkat sebagai contoh. Suku Dayak juga mengenal Sang Pencipta alam semesta beserta seluruh isinya. Setiap sub-suku menyebut-Nya dengan nama yang berbeda: Petara, Jubata, Duata, Penompa, Duataq, Duato, Tanangaan, Ranying Hatalla Langit. DIA, sama seperti Allah Kristiani, menyerahkan alam semesta kepada manusia untuk dikuasai dan diolah demi kesejahteraan hidup manusia sendiri.
Penyerahan tugas pemeliharaan alam kepada manusia hendak menunjukkan bahwa manusia merupakan rekan kerja, “co-creator” Allah dalam melanjutkan karya Allah di dunia demi tercapainya kesejahteraan bersama. Sebagai “co-creator” Allah, manusia menyadari, di satu sisi, hasil ladang yang baik merupakan penyelenggaran Ilahi, namun di lain sisi, juga bergantung pada usaha manusia sendiri. Manusia menjadi pengantara Allah dalam pemeliharaan dan perkembangan kosmos (Y. Boelaars: 1984).
Paham manusia sebagai “co-creator” Allah menyiratkan satu poin penting, yakni makna kerja bagi manusia. Manusia diciptakan untuk bekerja dan mengolah alam semesta (bdk. Kej 1:28). Bagi manusia, pekerjaan merupakan sebuah panggilan. Sebagai sebuah panggilan, manusia dengan kerja yang mereka lakukan hendak mewujudkan dan menyempurnakan martabat dirinya sebagai citra Allah.
Dengan bekerja manusia akan mengalami kepenuhan dalam hidupnya sebagai manusia. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa manusia ialah citra Allah, juga karena perintah yang diterima dari Penciptanya untuk menaklukkan dan menguasai dunia. Dengan melaksanakan perintah itu manusia, setiap manusia, mencerminkan kegiatan Sang Pencipta alam semesta sendiri (Dokpen KWI, Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja: 1999).
Diperlukan Dialog yang Jujur dan Sabar
Karena di dalam budaya manusia kita dapat menemukan pewahyuan diri Allah, sikap untuk mau mengadakan dialog yang jujur dan sabar dengan kebudayaan manusia sangat diperlukan. Konsili Vatikan II mengajarkan untuk meneladan Kristus sendiri:
“Kristus sendiri menyelami hati sesama-Nya dan melalui percakapan yang sungguh manusiawi mengantar mereka kepada terang Ilahi. Begitu pula hendaklah para murid-Nya, yang secara mendalam diresapi oleh Roh Kristus, memahami sesama di lingkungan mereka dan bergaul dengan mereka sehingga berkat dialog yang jujur dan sabar itu mereka makin mengetahui harta-kekayaan manakah yang oleh Allah dalam kemurahan-Nya telah dibagikan kepada para bangsa. Serta merta hendaklah mereka berusaha menilai kekayaan itu dalam cahaya Injil, membebaskannya, dan mengembalikannya kepada kekuasaan Allah Penyelamat.” (Ad Gentes art.11).
Pemahaman di atas semakin menegaskan bahwa kerelaan untuk menggali dan menyelami budaya lokal kiranya menjadi suatu keharusan bagi Gereja dalam upaya menghadirkan Kerajaan Allah demi keselamatan umat manusia. Namun, harus tetap diingat kembali, sekalipun konteks budaya lokal harus dinilai dalam terang Injil, tidaklah kemudian Gereja mengklaim bahwa setiap jawaban terhadap persoalan umat hanya berasal dari dirinya.
Untuk hendak mengatakan bahwa dalam usaha membangun Kerajaan Allah, dialog yang jujur dan sabar dengan kebudayaan lokal kiranya menjadi sangat penting. Dengan cara demikian, Gereja bisa menyusun kebijakan-kebijakan pastoral yang tertuang dalam arah dasar keuskupan maupun paroki dengan bertolak dari dalam dunia simbol dan adat masyarakat lokal.
Poin terakhir di atas merupakan salah satu yang ditekankan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato Si. Dalam memikirkan kembali hubungan manusia dengan lingkungan, Bapa Suci menegaskan agar kita harus memperhitungkan sejarah, budaya, dan arsitektur lokal, untuk mempertahankan identitas aslinya. Menurutnya, mengklaim bahwa semua kesulitan dapat diselesaikan melalui peraturan yang seragam atau intervensi teknis, cenderung mengabaikan kompleksitas masalah-masalah lokal yang memerlukan keterlibatan aktif masyarakat setempat (art. 143-144).
Lebih lanjut Bapa Suci menekankan, “Pengembangan kelompok sosial mengandaikan suatu proses sejarah yang berlangsung dalam suatu konteks budaya, dan membutuhkan keterlibatan terus-menerus, terutama dari pelaku masyarakat lokal, dengan bertolak dari budaya mereka sendiri. Hal tersebut hendak menegaskan bahwa gagasan tentang kualitas hidup tidak dapat dipaksakan, tetapi harus dipahami dari dalam dunia simbol dan adat yang menjadi milik masing-masing kelompok manusia.”( art. 143-144)
Akhir Kata
Dalam setiap komunitas manusia memang terdapat nilai-nilai baik yang tidak boleh diabaikan dalam upaya membangun kelompok tersebut dari dalam. Dengan menjadikan manusia Dayak beserta dengan kebudayaannya sebagai locus theologicus bukan saja karena dalam tradisi dan budaya mereka ada elemen-elemen baik yang sungguh dapat dijadikan sarana oleh Gereja dalam mewartakan Kristus, Sang Jalan, Kebenaran dan Hidup, melainkan juga agar orang Dayak sungguh dapat menjadi ragi, garam, dan terang bagi dunia.
(Beberapa gagasan yang tertuang dalam tulisan ini pernah penulis kemukakan dalam artikel di ytprayeh.com dengan judul: Manusia Dayak dan Kebudayaannya Harus Jadi Locus Theologicus).
Komentar