Katoliknews.com — Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) telah secara resmi mengumumkan peraih penghargaan kegiatan Perayaan Budaya Nusantara (PBN) yang diikuti oleh peserta dari sekolah-sekolah Katolik tingkat TK/PAUD-SMA/SMK.
Digelar via Zoom pada 6 April, acara ini diikuti perwakilan dari peserta, guru pendamping, kepala sekolah maupun orang tua siswa, di mana Dewan Juri memberi penjelasan terkait alasan pemilihan finalis yang sudah disampaikan sebelumnya pada 29 Maret serta mengumumkan enam peraih penghargaan untuk setiap kategori.
Ada empat kategori dalam kegiatan ini, yakni tari tradisi untuk TK/PAUD-Kelas III SD, dongeng untuk Kelas IV-VI SD, musik tradisi untuk SMP, dan penulisan sejarah dan tradisi lokal untuk SMA/SMK.
Romo Vinsensius Darmin Mbula OFM, Ketua Presidium MNPK mengatakan pada sambutan pembuka, kegiatan ini diadakan “dengan harapan bahwa pendidikan dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan digunakan untuk membangun keadaban publik, persaudaraan manusia dengan semesta.”
“Yang kita ketahui bahwa sekolah-sekolah Katolik juga memiliki peran dalam mengintegrasikan, menyatukan iman, hidup dan budaya. Oleh karena itu, MNPK merasa betapa pentingnya menghidupkan budaya peradaban Nusantara ini,” katanya.
Pudentia MPSS, Ketua Panitia yang juga Pengurus Harian MNPK mengatakan, komitmen MNPK untuk melestarikan tradisi Nusantara sudah muncul sejak lama, di mana misalnya, pada tahun 2010 diadakan Pentas Seni Tradisi di Bali.
“Ini merupakan embrio dari kegiatan yang kita laksanakan sekarang,” katanya, sambil menambahkan bahwa acara ini akan dilanjutkan pada waktu mendatang.
Ia mengatakan, Indonesia pada dasarnya dikenal sebagai negara adidaya dari segi peradaban, yang sudah diakui oleh UNESCO dan menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sejak 2013 sampai sekarang sudah tercatat 1.230 karya budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional.
Namun, kata Pudentia yang juga Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda dan Tim Penilai Anugerah Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Kemendikbud ini, yang belum tercatat masih banyak, sekitar 9.000 karya.
“Kita dapat membayangkan begitu luar biasanya karya budaya yang kita miliki. Begitu banyak peneliti yang datang dan meneliti tentang kebudayaan bangsa ini, sementara masyarakat lokal sendiri kurang berminat terhadap budaya lokal sendiri,” katanya.
“Hal tersebut mendorong MNPK untuk kembali membangkitkan minat anak-anak sekolah terhadap seni budaya masing-masing daerah,” kata pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini.
Para Peraih Penghargaan
Keenam peraih penghargaan PBN ini ditetapkan dengan “tanpa peringkat” yang dinilai berdasarkan setidaknya 10 kategori, demikian kata Pudentia.
Beberapa di antaranya, jelas dia, adalah originalitas dalam pengelolaan kearifan lokal, penguasaan kelokalan termasuk di dalamnya penguasaan bahasa daerah, teknik, penghayatan dan interpretasi, komposisi, keserasian, dan upaya-upaya menggali sumber-sumber.
Dari hasil penilaian 12 Dewan Juri — perpaduan dari pakar di bidangnya masing-masing dengan perwakilan dari pengurus MNPK—, ditetapkan enam peraih penghargaan untuk setiap kategori.
Tari Tradisi diraih oleh SD Sint Joseph Kabanjahe, Sumatera Utara untuk tari Tangis-Tangis Perik Deleng Sinabung; SDK St. Don Bosco Palangkaraya, Kalimantan Tengah untuk tari Manyaok aken Sungai; SDK Maria Fatima III Jember, Jawa Timur untuk tari Layang-Layang; SD Tegal Jaya Badung, Bali untuk tari Juru Pencar; TK Swasta Sint Xaverius Kabanjahe, Sumatera Utara untuk tari Rintak Kayu, dan TK Maria Ferari Maumere, Sikka, NTT untuk tari Lema Bakut.
Sementara untuk dongeng, diraih oleh SD Fransiskus Pringsewu, Lampung dengan judul Legenda Way Bulok, SD Xaverius 1 Palembang, Sumatera Selatan dengan judul Pohon Asam Kandis Ajaib, SD Xaverius Metro Lampung dengan judul Legenda Sultan Domas, SDK Maria Fatima III Jember, Jawa Timur dengan judul Asal Usul Gunung Bathok, SDK Santo Don Bosco, Palangka Raya, Kalimantan Tengah dengan judul Aman Tuntang Amin; dan SD Sint Carolus Bengkulu dengan judul Pik Ambai.
Peraih penghargaan musik tradisi antara lain SMP Bruder Singkawang Pontianak untuk Besamsam; SMP Budi Dharma Balige untuk Teatrikal Sisingamangaraja XII; SMP RK Deli Murni Deli Tua untuk Er Pangir, SMP Fransiskus Tanjungkarang Bandar Lampung untuk Liman; SMP YPPK Bonaventura Sentani Kabupaten Jayapura untuk Nyanyian Perkusi Papua; dan SMP Sint Carolus Bengkulu untuk Bediang Doli.
Untuk penulisan sejarah dan tradisi lokal diraih peserta dari SMA YPPK Taruna Dharma Jayapura dengan judul Sagu Bukan Hanya Pangan Tapi Identitas Budaya; SMAS Katolik St. John Paul II Maumere, Sikka, NTT dengan judul Ritual Adat Sikka Lodo Hu’er; SMA St. Paulus Pontianak dengan judul Upaya Pelestarian Nilai Kultural Melalui Festival Tradisional Peh Cun; SMA Katolik St. Louis 2 Surabaya dengan judul Nilai dalam Tradisi Sedekah Bumi yang Menjadi Fondasi Kuat Terhadap Arus Globalisasi; SMA Yos Sudarso Metro Lampung dengan judul Menjaga Eksistensi Tari Bedana di Asrama Putra Leo Dehon; dan SMAK Swasta Abdi Sejati Kerasaan 1, Pematangsiantar dengan judul Tor-Tor Sombah Tarian Khas Simalungun.
Pudentia mengatakan, para peraih penghargaan ini mendapatkan trofi, sertifikat dan dana pembinaan, sementara untuk para finalis dan peserta lain mendapatkan sertifikat.
Apa Kata Dewan Juri?
Sulistyo S Tirtokusumo, juri untuk Tari Tradisi mengatakan, pada awalnya tidak menyangka dan betul-betul terkejut bahwa di tengah-tengah pandemi Covid-19 dan terbatasnya waktu persiapan, “ternyata antusiasme dan semangat dari sekolah-sekolah untuk berperan serta di dalam kegiatan ini tetap tinggi.”
Terdapat 29 SD dan 10 TK/PAUD yang mengirimkan materi, dengan jumlah terbanyak tahun ini dari wilayah Sumatera Utara.
Ia mengatakan, hampir semua peserta mempunyai kualitas yang seimbang dan merata, yang dapat dilihat dari unsur penguasaan materi yang menonjolkan latar belakang tradisi daerahnya.
“Saat kita melihat atau sepintas menonton videonya kita dapat cepat mengenali dari mana karya tari tersebut berasal,” kata Sulistyo yang pernah menjabat sebagai Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud (2006-2009); Direktur Kesenian, Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud (2009-2013); dan Direktur Budaya, Taman Mini Indonesia Indah (2015-2018). Penampilan pakaian, tata rias, busana, properti, perlengkapan lainnya juga basis ragam gerak, irama dan musik pengiring, kata dia, juga “mampu menuntun imajinasi penonton kepada suatu daerah tertentu.”
“Adapun pemilihan tema dari peserta juga cukup beragam, meskipun temanya ada yang serius dan di luar dunia anak-anak, namun masih dikemas di dalam bingkai suasana hati anak-anak yaitu keriangan dan nuansa bermain,” katanya.
“Menurut saya di sinilah letak kelebihan dan kepiawaian para gurugrafernya yang mencoba untuk memberi wawasan lebih kepada penari, namun tanpa membebani mental penari, sehingga tarian dapat berjalan dengan lancar karena dilakukan dengan penuh keceriaan khas anak-anak,” katanya.
Ia menambahkan, pemilihan ragam geraknya juga disesuaikan dengan kemampuan anak-anak.
“Ritme dari musik pengiringnya, sengaja dipilih yang mudah dicerna, sehingga gerak, irama, rasa, dapat mengalir kepada pesertanya,” katanya.
Di samping itu, jelas dia, tidak kalah menariknya adalah teknik perekaman gambar atau video, yang rata-rata cukup baik, “sehingga hasilnya mampu mengangkat karya tersebut.”
Ia pun mengusulkan, mengingat pentingnya video sebagai sarana tampilan secara virtual dan juga untuk dokumentasi, maka perlu semacam bimbingan teknis bagi peningkatan kemampuan merekam tari.
Ia menambahkan usulan lain agar kepada peserta didik, di samping belajar tari kreasi yang sudah dikuasai saat ini, juga dilengkapi pengetahuan dan tampilannya, paling tidak diajarkan satu jenis tari tradisional yang masih orginal atau masih baku dari daerah setempat, agar anak-anak bisa lebih menikmati dan menebalkan rasa kebanggaan terhadap kekayaan tradisi yang dimiliki.
“Saya yakin hanya dengan menguasai tari tradisional satu saja, nantinya akan bisa berkembang ketertarikannya ke berbagai cabang seni yang lain,” kata Sulistyo.
Sementara itu Ibu Elly D. Luhtan, yang juga juri tari mengatakan mengapresiasi sekolah-sekolah yang telah terlibat.
“Dalam kondisi pandemi saat ini, kalian masih mau mengikuti PBN dan betapa bangganya kami yang masih bisa melihat generasi penerus melanjutkan seni tradisi kita dengan mengenali, mendekati dan memahaminya, yang merupakan salah satu hal yang luar biasa,” kata Ibu Elly, yang sudah lama berkarya di bidang seni tari, seni peran, baik teater maupun film dan pada 2014 menerima “Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi” dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Bagi yang kali ini mendapat predikat enam terbaik, tetaplah rendah hati dan kembali mencoba untuk kembali menekuni dan kepada para pembina saya sangat salut, yang tak jemu menyertai anak didik kalian,” katanya.
Kepada yang belum terpilih jadi finalis, kata dia, “jangan berkecil hati, ini adalah keberhasilan yang tertunda.”
“Kami tetap menunggu kehadirannya tahun depan dan jika sempat memberikan pembekalan, kami akan bersedia untuk mendampingi,” tambah Elly.
Juri lain untuk tari adalah Romo Darmin, di mana ia menyatakan kekagumannya pada kreativitas para peserta, hal yang menurut dia merupakan hal yang perlu selalu dijaga.
Sementara Ibu Murti Bunanta, juri dongeng mengatakan, ia merasa terharu saat menilai 50 karya dongeng dan menyebut “tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.”
“50 adalah pemenangnya, kalian adalah pemenangnya,” kata Murti, yang telah menulis 60 buku tentang anak.
“Saya mengucapkan terima kasih dan memberikan rasa hormat saya kepada ibu guru, kepada kepala sekolah, kepada orangtua, kepada romo dan suster yang sudah mendukung anak-anak ini,” tambahnya.
Ia mengatakan berterima kasih juga kepada panitia, yang sudah menggali dan menggairahkan anak-anak untuk mempelajari bahasa ibu melalui dongeng, yang selalu dilakukan tidak dengan resmi tetapi dengan rasa senang.
Ia mengatakan, sangat sulit untuk menentukan peraih penghargaan karena peserta “mendongeng dengan hati yang menikmati.”
“Saat saya menonton cara anak-anak berdongeng saya ingin memberikan 50 like, sampai panitia mengingatkan, jangan banyak-banyak like tetapi 20 like, lalu dikatakan harus 6 like,” katanya.
“Saya sangat merasa sedih, karena sulit sekali untuk menilai,” tambah Murti yang menerima 6 International Awards untuk karya-karyanya dan 7 International Awards untuk jasa dan dedikasinya bagi kemajuan sastra anak nasional dan internasional.
Ia mengatakan, dalam penentuan keenam peraih penghargaan, juri mempertimbangkan beberapa unsur, seperti improvisasi dalam membawakan cerita, keterampilan dalam memakai alat musik, keterampilan dalam memakai gerak-gerak tubuh cerita dan apakah betul-betul menikmati saat mendongeng.
Ia mengatakan, sebagai bentuk terima kasih kepada peserta, ia akan memberikan buku-buku dongeng karyanya, yang akan dikirimkan melalui panitia.
Sementara Romo Y.A.M Fridho Mulya SCJ mengatakan, “merasakan hal yang sama dengan Ibu Murti.”
“Saya sungguh-sungguh merasa bahwa mereka tampil dengan luar biasa,” katanya.
Zaini Alif menambahkan, lewat dongeng-dongeng ini, “anak-anak kita seolah-olah kembali menceritakan masa lalu, tetapi mereka sebenarnya sedang menyiapkan masa depan.”
“Saya merasa sangat terharu,” katanya, “dengan anak-anak kita sangat luar biasa.”
“Dari anak-anak kita yang kita gali adalah nilai budaya lokal sebagai kekuatan akar tumbuh mereka,” kata pengajar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.
Ia menambahkan, yang juga luar biasa adalah para pembimbing yang menanamkan kepada anak-anak didik rasa cinta atas budaya.
Sementara Jabatin Bangun, juri musik tradisi mengatakan, apa yang disajikan semua peserta dari Papua hingga Sumatera luar biasa, dan “merupakan sebuah penghargaan bagi kami para juri sebagai penilai.”
Namun, untuk menentukan enam peraih penghargaan, kata dia, mereka pertama-tama mempertimbangkan soal kemahiran, yang menjadi penanda keseringan berlatih.
“Jadi penghargaan dalam perayaan ini, ditujukan dan diberikan kepada anak-anak yang begitu sibuk dengan sekolahnya, menyediakan waktu yang cukup dan secara kontinu atau terus-menerus berlatih pada musik tradisi,” kata Sekjen Asosiasi Tradisi Lisan Indonesia ini yang banyak terlibat dalam Program Badan Ekonomi Kreatif dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ia mengatakan, butuh ketekunan untuk bisa mahir menggunakan alat musik. Ia mencontohkan bagaimana untuk membunyikan surdam, ia belajar dalam jangka waktu tiga bulan.
“Jadi kalau diadakan festival, seminggu sebelumnya kita mengadakan latihan, pasti suaranya tidak akan bagus. Tetapi kalau sudah latihan terus-menerus pasti akan menghasilkan bunyi yang berbeda dari yang hanya tiga bulan berlatih,” katanya.
“Itulah yang menunjukan bahwa anak-anak yang sudah mempunyai kemampuan memainkan dengan baik, yang tekun mewarisi tradisinya, kita berikan penghargaan,” katanya.
Hal yang kedua, kata dia, adalah melihat hubungan antara satu pemain dengan pemain lainnya.
“Apakah dia kompak atau tidak, apakah sudah mampu membuat harmonisasi antara alat pukul, alat tiup yang akan menjadi suatu kesatuan,” katanya.
Terakhir, kata Jabatin, adalah pakaian, penampilan, ekspresi dan dinamika.
“Jika kita main musik dengan nada yang datar saja, itu akan berbeda dengan yang memiliki nada yang bervariasi sehingga terdengar lebih bagus. Hal tersebut perlu diperhatikan,” katanya.
“Saya berharap ini menjadi pembelajaran kedepannya, menjadi bahan diskusi di sekolah-sekolah, supaya anak-anak semakin banyak waktu untuk berlatih bersama, bergembira dan dapat mengekpresikan kebahagiaan, dan itulah yang mau kita capai,” katanya.
Ia menekankan bahwa belajar musik bukan hanya untuk menjadi musisi profesional, tetapi juga melatih kecerdasan dan kreativitas.
“Jadi anak-anak yang belajar musik jauh lebih bahagia karena bisa mengekspresikan rasanya, bisa mengekpresikan kebahagiaannya, bisa berkumpul bersama teman-teman,” katanya.
Selain Jabatin, juri lain untuk tari adalah Gilang Ramadhan dan Theo Wargito.
Dalam pertemuan dengan dewan juri sebelumnya, Gilang mengatakan, hal yang terpenting dari kegiatan ini adalah adanya semangat dari generasi muda untuk melestarikan tradisi yang dimiliki di setiap daerah.
“Ini menjadi modal besar bagi negara ini,” kata Gilang.
Sementara itu, Mukhlis PaEni, dewan juri penulisan sejarah dan tradisi lokal mengatakan merasa antusias untuk terlibat dalam kegiatan ini.
Ia juga memberi apresiasi kepada kepada peserta dari Sumatera Utara yang mengirimkan 27 tulisan dari total 77 tulisan.
“Dari 77 tulisan ini tentu sangat sulit untuk memilih yang terbaik,” katanya. “Semuanya luar biasa, jadi tidak ada satupun tulisan yang jelek atau tidak bagus.”
Ia mengatakan, “yang mengesankan saya adalah dari beberapa tulisan, ada yang menulis lintas yang artinya dia menulis sejarah tradisi dari daerah yang sangat jauh dari daerah asalnya.”
Di samping itu, kata dia, memang sangat banyak juga tulisan tentang sejarah lokal yang ada di daerah sekitarnya.
“Itu merupakan hal yang sangat penting, terutama kita sedang kekurangan penulisan sejarah tradisi lokal, mengingat dimana kebanyakan orang zaman sekarang ini lebih banyak membaca sejarah-sejarah yang berbau politik,” Mukhlis, yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2007-2008) dan Ketua Lembaga Sensor Film (2009 – 2014).
Ia mengatakan, “sangat menarik bagi saya saat anak zaman sekarang menulis sebuah kejadian di masa lampau, tetapi mereka – seperti yang dikatakan Pak Zaini – sedang menyiapkan masa depan.”
Ia berharap, pada tahun-tahun yang akan datang, peserta bisa lebih merata dari berbagai daerah dan berharap para guru terus menanamkan kesadaran untuk menulis kepada peserta didik.
“Dan dari 77 tulisan ini, saya melihat benih-benih akan penulisan etnografi mengenai daerahnya. Ini merupakan modal besar bagi masa depan anak-anak,” katanya.
Pengajar di Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia ini pun mengusulkan agar naskah-naskah ini bisa diterbitkan oleh MNPK.
Sementara Pudentia, yang juga bertindak sebagai juri mengatakan, tulisan-tulisan para peserta adalah karya yang sangat luar biasa dan sangat banyak inovasi.
“Tetapi memang ada beberapa yang mencantumkan dengan jelas sumber-sumbernya dan ada juga yang tidak, ada juga yang melampirkan foto-foto yang menarik yang dibuat oleh siswa sendiri, dan ada juga yang tidak. Mungkin di saat yang akan datang bisa disempurnakan lagi,” katanya.
“Saya juga setuju bahwa ke-77 peserta yang ikut sangat membuat saya bangga,” tambahnya.
Sementara juri lain, Ryan Dagur, mengatakan untuk sekelas peserta didik SMA/SMK karya yang dihasilkan luar biasa.
Ia menambahkan, satu hal yang juga sangat menonjol bahwa para peserta sudah mulai memberikan tanggapan terhadap apa yang mereka tulis, di mana mereka tidak hanya memberi deskripsi, tetapi juga menyampaikan opini mereka sendiri tentang mengapa tradisi yang ditulis itu perlu dilestarikan.
Ia juga menyatakan setuju pada usulan Mukhlis agar karya-karya peserta bisa diterbitkan.
Akan Dilanjutkan
Romo Darmin menyatakan, MNPK berharap bahwa PBN tidak hanya dilaksanakan tahun ini saja, tetapi diadakan setiap tahun.
“Karena itu, para peserta yang sudah ambil bagian di dalam PBN ini tetap semangat, supaya bisa kembali mengambil bagian dalam PBN selanjutnya,” katanya.
Ia juga mengatakan, MNPK juga akan mengadakan beberapa kegiatan lain terkait upaya pelestarian budaya ini.
Dalam suasana Paskah, kebangkitan Yesus Kristus, kata dia, “semoga PBN ini bisa membuat budaya Nusantara kita bangkit kembali.”
Komentar