Katoliknews.com – Sebuah buku baru, “Blood of Your Blood, Bone of Your Bone: Pontificate of John Paul (1978-2025) and the Churches in Central and Eastern Europe”, menyoroti peran Paus Yohanes Paulus dalam mengakhiri perang dingin. Buku ini bervolume 1.510 halaman, kontribusi lebih dari 50 penulis dari berbagai belahan dunia.
Editor buku tersebut, Pastor Jan Mikrut, pada peluncuran secara virtual yang diselenggarakan oleh Universitas Kepausan Gregoriana, Roma, pada Oktober lalu, mengatakan bahwa Yohanes Paulus II adalah paus pertama yang mengunjungi sebuah negara yang berada di bawah kekuasaan Komunis masa itu.
“Yohanes Paulus II secara radikal mengubah ‘Ostpolitik’ tradisional Vatikan yang dipimpin oleh Uskup Agung Agostino Casaroli dan berorientasi pada kompromi dengan pemerintah komunis. Sejak awal masa kepausannya, dia (Yohanes Paulus II-red) memulai garis batas yang lebih tegas terhadap pemerintah komunis,” kata Mikrut.
Mikrut yang juga pendiri dan direktur History of the Church in Central-Eastern Europe, seperti dilansir Catholic News Agency, menambahkan, “Gorbachev (Presiden sekaligus Sekretaris Jendral Partai Komunis Rusia pada periode 1985-1991-red) sendiri mengakui kontribusi Yohanes Paulus II dalam jatuhnya komunisme di Eropa dan pada 9 November 1989, yang ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin.”
Dia mengatakan bahwa Paus Yohanes Paulus II yakin bahwa Eropa harus “bernapas dengan dua paru-paru”, yakni dengan persatuan Timur dan Barat.
Buku “Blood of Your Blood, Bone of Your Bone…” diterbitkan oleh Gabrielli Editori. Buku tersebut diberi kata pengantar oleh Kardinal Stanisław Dziwisz, mantan sekretaris pribadi Yohanes Paulus II.
Dalam buku ini, ada bab yang membahas hubungan Paus asal Polandia itu dengan Albania, Austria, Bulgaria, Cekoslovakia, Jerman Timur, Yugoslavia, Polandia, Rumania, dan Hongaria.
Mikrut juga sedang mengedit volume berikutnya dalam seri sejarah Gereja. Buku tersebut akan berfokus pada hubungan Yohanes Paulus II dan Gereja Katolik di Uni Soviet dan dijadwalkan akan diterbitkan pada Februari 2021.
Uskup Agung Marek Jędraszewski dari Kraków mengatakan bahwa judul buku itu berasal dari kata-kata yang diucapkan Yohanes Paulus II sendiri selama perjalanan apostolik pertamanya ke Polandia pada Juni 1979.
“Jadi, rekan-rekan yang terkasih, akankah paus ini, darah dari darahmu, tulang dari tulangmu, bernyanyi bersamamu, dan bersamamu dia akan berseru: ‘Semoga kemuliaan Tuhan terjadi selama-lamanyanya,’” katanya di Gniezno, Polandia Tengah, 17 November 2020.
Jędraszewski menjelaskan, ketika Yohanes Paulus II menggunakan frasa “darah dari darahmu, tulang dari tulangmu” dalam perjalanan kepausan pertama ke Polandia, paus tidak hanya menyadari asal-usul alkitabiah dari frasa yang diucapkan Adam kepada Hawa, tetapi juga menunjukkan bagaimana frasa itu digunakan oleh St. Yohanes Krisostomus dan St. Yohanes Henry Newman
“’Tulang dari tulangku dan daging dari dagingku…’ Sebagaimana Tuhan kemudian mengambil tulang rusuk Adam untuk membentuk seorang wanita, demikian pula Kristus telah memberikan kita darah dan air lambung-Nya untuk membentuk Gereja,” demikian kata St. Yohanes Krisostomos dalam instruksi katekumenatnya, dikutip Jędraszewski.
St. Yohanes Henry Newman, tambah Jędraszewski, menggunakan kata-kata ini untuk berbicara tentang misi para imam: “Dia telah menetapkan [para imam] sebagai pengkhotbah Injil bukan makhluk asing yang berasal dari beberapa jenis yang tidak diketahui, tetapi saudara-saudara Anda – darah dari darahmu dan tulang dari tulangmu.”
Uskup Agung Jędraszewski mencatat bahwa Yohanes Paulus II merasa punya tanggung jawab khusus untuk negara-negara Eropa Tengah dan Timur sejak awal masa kepausannya pada 1978.
“Inilah mengapa dalam surat apostolik 1980’Egregiae Virtutis’ dia menjadikan Santo Cyrilus dan Metodius, bersama St. Benediktus, sebagai pelindung utama Eropa,” katanya.
“Kemudian, dalam ensiklik ‘Slavorum Apostoli’ yang diterbitkan pada 1985 ‘untuk mengenang 11 abad karya penginjilan Santo Cyrilus dan Metodius,’ dia menggarisbawahi fakta bahwa orang-orang kudus dari Thesalonika ‘ini seperti mata rantai penghubung, atau sebagai jembatan spiritual antara tradisi Timur dan tradisi Barat, yang keduanya menyatu dalam satu Tradisi Agung Gereja universal.’”
Uskup Agung Kraków itu juga menyoroti kepedulian paus terhadap Polandia saat menangani masalah aborsi di negara tersebut.
“Saat berbicara menentang aborsi di Kielce pada 3 Juni 1991, dengan penuh emosional, dia mengatakan, ‘Mungkin itu sebabnya saya berbicara seperti ini, karena ini adalah ibu saya, negeri ini! Ini Ibuku, Negara ini! Ini adalah saudara laki-laki dan perempuan saya! Dan pahamilah, Anda semua yang mengambil hal-hal ini dengan sembrono, Anda harus memahami bahwa hal-hal ini tidak mungkin tidak relevan bagi saya, mereka telah membuat saya sakit. Mereka seharusnya menyakitimu juga.”
Senada dengan Jędraszewski, Uskup Agung Tomo Vukšić, Koajutor Uskup Agung Sarajevo, mengenang bahwa Yohanes Paulus II adalah satu di antara para pemimpin dunia yang berbicara pertama kali tentang kekerasan di Bosnia dan Herzegovina pada tahun 1990-an.
Perjuangan Yohanes Paulus II untuk perdamaian terus berlanjut, kata Vukšić. “Perang tahun 1990-an di Balkan pada awalnya tidak membangkitkan minat dan perhatian khusus apa pun baik dari opini publik internasional maupun dari otoritas dunia lain yang mungkin dapat mencegah atau mungkin menghentikannya segera.”
“Yohanes Paulus II termasuk orang pertama yang mengumandangkan suaranya dengan penuh semangat. Beberapa kali di depan umum, dia memperingatkan tentang bahaya dan konsekuensi tragis yang tak terhindarkan baik saat maupun setelah perang, dia berbicara berkali-kali tentang kengerian dan penderitaan yang ditimbulkannya.”
Dia melanjutkan, “Paus sering menyebut peristiwa tragis ini dalam pidatonya kepada umat beriman yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus pada saat doa Angelus. Dia berbicara tentang perang dan penderitaan yang ditimbulkannya saat audiensi pribadi dan umum kepada peserta dari berbagai konferensi politik dan lainnya di Roma, lalu kepada masing-masing negarawan dan delegasi, kepada diplomat dan orang penting lainnya.”
Ian Saf. Sumber: Catholic News Agency
Komentar