Katoliknews.com – Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKR) mengecam aksi represif aparat keamanan terhadap masyarakat adat Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berusaha mempertahankan lahan yang mereka klaim sebagai tanah ulayat.
PMKRI menyatakan, aksi represif yang melibatkan polisi, tentara, dan Pol PP itu berbanding terbalik tindakan Presiden Joko Widodo yang pada saat menghadiri upacara Hari Kemerdekaan ke-75, 17 Agustus mengenakan pakaian adat dari Kabupaten TTS.
“Sayangnya, penggunaan busana adat ini berbanding terbalik dengan kebijakan dan pengakuan terhadap masyarakat adat,” demikian isi pernyataan PMKRI yang diterima Katoliknews.com, Kamis, 20 Agustus 2020.
Ketua Presidium PP PMKRI, Benediktus Papa mengatakan, “Penghormatan terhadap budaya dan hak masyarakat adat nusantara mestinya tidak hanya sebatas simbolik.”
“Pemerintah harusnya memberi perhatian dan keberpihakan penuh atas kelangsungan masa depan masyarakat adat dengan melahirkan regulasi yang berpihak kepada masyarakat adat,” katanya.
Pada 18 Agustus, polisi dan tentara yang bersenjata lengkap mendatangi masyarakat adat Besipae yang tinggal di Linamnutu, Kecamatan Amunaban Selatan dan menggusur beberapa rumah warga dan menembakkan gas air mata kepada masyarakat yang berusaha menghadang penggusuran.
Meski rumah mereka hancur, warga, termasuk di antaranya anak-anak memilih bertahan di lahan itu, dengan berteduh di bawah pohon.
Penggusuran itu adalah bagian dari rentetan upaya pemerintah menggusur warga dari lokasi itu, karena berniat mengembangkannya sebagai lahan untuk peternakan.
Pada 12 Mei, saat Gubernur Victor Bungtilu Laiskodat sempat mendatangi lokasi itu, di mana warga berusaha menghadangnya dan para perempuan membuka baju mereka sebagai bentuk protes.
Saat ini 30 rumah warga yang sudah digusur, dan sebagiannya lagi terancam digusur karena sudah masuk dalam lahan yang diklaim pemerintah.
Lahan itu sudah menjadi konflik selama bertahun-tahun, yang bermula pada tahun 1982, ketika lahan itu menjadi lokasi peternakan sapi, bagian dari kerja sama antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Australia.
Warga mengklaim, lebih dari 3000 hektar dari total 6000 hektar lahan yang masuk dalam bagian kerja sama itu adalah ulayat mereka.
Namun, setelah kontrak kerja sama selama lima tahun selesai pada 1987, lahan itu kemudian dikuasai provinsi, dengan kontrak selama 25 tahun.
Pada 2010, dua tahun sebelum kontrak berakhir, warga menolak usulan pemerintah untuk memperpanjang kontraknya.
Perwakilan warga sempat mendatangi beberapa lembaga di Jakarta, termasuk Komnas HAM untuk memperjuangkan hak mereka.
Namun, pada 2012, pemerintah menerbitkan sertifikat atas lahan itu dengan status sebagai milik pemerintah provinsi, dengan luas 3.780 hektar.
Warga Besipae selama ini masih berupaya menduduki lahan itu, yang mereka sebut sebagai tumpuan hidup mereka.
Alboin Samosir, Ketua Lembaga Agararia dan Kemaritiman PP PMKRI mengatakan, “Preferensi pemerintah selama ini cenderung tunduk kepada pemilik modal, keberadaan masyarakat adat dianggap batu sandungan dalam pembangunan, maka tak heran tindakan-tindakan kekerasaan sering dialami oleh masyarakat adat.”
Karena itu, kata dia, butuh produk hukum yang betul-betul pro terhadap masyarakat adat, salah satunya yakni, dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
Selain itu, PP PMKRI juga meminta Pemerintah Provinsi NTT segera menyelesaiakan konflik yang sudah berlarut-larut ini secara adil dan bijaksana.
Mereka menyatakan, keberadaan masyarakat adat merupakah penyanggah utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Dan atas nama kemanusian meminta Pemprov NTT untuk menghentikan pembangunan yang menyingkirkan masyarakat setempat,” kata mereka.
Aria Kiet
Komentar