Katoliknews.com – Populisme Islam yang bertumbuh subur akhir-akhir ini mengancam kebhinekaan Indonesia sebagai negara-bangsa dan menurunkan kualitas demokrasi di negeri ini. Populisme Islam di Indonesia tidak hanya datang dari kelompok politik agama, tetapi juga kelompok nasionalis.
Hal itu mengemuka dalam orasi kebangsaan yang disampaikan pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani, pada Selasa, 18 Agustus 2020. Orasi kebangsaan ini digelar dalam rangka Hari Kemerdekaan Indonesia dan Dies Natalis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di satu sisi, Saiful mengapresiasi perjalanan demokrasi bangsa Indonesia pasca keruntuhan Orde Baru pada 1998, yang menurutnya sejalan dengan fakta kebhinekaan di Indonesia.
“Terlepas dari sejumlah kekurangan di sana-sini, bangsa Indonesia cukup berhasil dalam pembangunan politik yang relevan dengan kebhinekaan sejak peralihan dari rezim Orde Baru ke Orde Reformasi. Sejak 1998 demokrasi Indonesia mengalami kemajuan, terutama dalam aspek hak-hak politik,” jelasnya.
Dan di sisi lain, lanjut Saiful, ia juga prihatin terutama karena terjadi kemunduran dalam banyak hal berkaitan dengan kebhinekaan sebagai negara-bangsa selama 6 tahun terakhir.
Menurut Saiful, persoalan utama yang menyebabkan turunnya kualitas kebebasan sipil yang terkait kebhinekaan adalah munculnya apa yang disebut sebagai islamisasi pada tataran kebijakan.
“Yang jadi masalah bagi kebhinekaan Indonesia adalah apabila islamisasi itu merupakan produk kebijakan negara atau pemerintah meskipun hanya berlaku bagi yang beragama Islam,” kata Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah ini.
Ia menambahkan, bila itu yang terjadi, maka sesungguhnya Piagam Jakarta kembali hidup dalam alam demokrasi Indonesia saat ini di mana kebijakan negara baik di pusat maupun di daerah hanya berlaku bagi orang Islam, dan tidak berlaku bagi non-Islam.
“Kebijakan negara yang demikian adalah kebijakan sektarian dan diskriminatif, mengingkari konstitusi kita yang inklusif terhadap kebhinekaan agama,” kata dosen lulusan doktoral di Ohio State Univesity, Amerika Serikat itu.
Mengutip studi yang dilakukan Buehler (2013) tentang kebijakan publik yang eksklusif, ia mengatakan bahwa banyak kebijakan publik yang sektarian dan diskriminatif terjadi di berbagai daerah.
Dalam studi Buehler itu, kutip Mujani, dipaparkan bahwa dalam kurun waktu 1999-2009, setidaknya ada 169 kebijakan publik di berbagai provinsi dan kabupaten/kota, yang masuk dalam kategori kebijakan publik bersyariah.
Mengacu pada studi tersebut, Saiful lantas membandingkannya dengan banyak negara yang penduduknya mayoritas Muslim di mana upaya membuat kebijakan publik terkait dengan syariat Islam biasanya muncul dari wakil rakyat dari partai berideologi Islam.
Namun, katanya, “kasus Indonesia berbeda karena partai-partai agama (Islam) justru terlalu kecil dibanding partai-partai nasionalis.”
Yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, kembali menurut studi Buehler, kebijakan publik bermuatan syariah justru dilakukan oleh legislator daerah dari banyak partai nasionalis, bukan hanya partai berideologi Islam seperti PKS.
Saiful menegaskan, di antara legislator dari partai-partai nasionalis, banyak yang tidak peduli dengan platform partai mereka yang menjunjung tinggi kebhinekaan ketika mereka dihadapkan dengan gerakan, jaringan, dan lobi kelompok Islam yang punya agenda menerapkan syariat Islam dalam kebijakan publik di daerah.
“Banyak politisi nasionalis di daerah meleleh ketika dijanjikan oleh kelompok Islam itu bahwa mereka bakal mendapatkan banyak dukungan pemilih dalam pemilu. Demikian juga kepala daerah,” kata penulis buku “Kuasa Rakyat” (Mizan, 2013) itu.
Saiful menyebut gejala tunduknya legislator dan kepala daerah pada agenda kebijakan syariah karena memang dukungan elektoral merupakan karakteristik dari apa yang dikenal sebagai populisme Islam, yaitu keyakinan bahwa agenda-agenda dan kebijakan-kebijakan berbasis sentimen Islam yang diskriminatif terhadap non-Islam mendapat dukungan besar dari orang Islam.
“Di tangan politisi demikian, Indonesia bisa menjadi negara syariah tanpa harus ada partai Islam yang kuat, tanpa harus dipimpin presiden yang berideologi Islam, tanpa harus mengubah UUD kita yang inklusif bagi kebhinekaan itu, dan tanpa gerakan bersenjata seperti dilakukan DI/TII,” ungkapnya.
“Bila populisme Islam dan islamisasi Indonesia itu menguat maka kebhinekaan yang menjadi fondasi negara-bangsa kita menjadi terancam,” pungkas Saiful.
Fidel Punter
Komentar