Oleh: RP DESIDERAMUS ANSBI BAUM, OFM
Elisabeth pastilah orang yang budiman. Seorang yang berbadan dua di uzurnya itu luhur bukan hanya karena ia mengandung ‘nabi Allah yang maha Tinggi’ (Luk 1: 76), tetapi karena ia selalu punya sangka baik, ketika orang lain tidak. Ia misalnya tak hendak mencaci-maki Maria karena hamil di luar nikah. Ia tidak menjadi ‘hakim’ moral yang menuduh Maria bersalah dan berdosa. Ia juga tak langsung menyuruh Maria menikahi Yosef agar aib itu terkubur jauh. Ia bersedia jadi sahabat bagi Maria yang tentu merasa sama sekali sendirian dengan peristiwa ‘Pemberitahuan Kelahiran Yesus’ (Luk 1:26-37).
Ia menjadi teman Maria yang mau berbagi isi hati mengenai rahasia pribadi itu. Tentu karena ia percaya bahwa dalam peristiwa hamil di luar nikah pun, Allah campur tangan. Apa yang tidak mungkin bagi Allah? Allah dapat melakukan apapun yang tak dapat dipikirkan oleh manusia, atau yang sangat alergi dipikirkan – dilakukan manusia. Elisabeth bisa melihat itu. Ia dapat berada bersama Maria dengan cara yang jarang dapat dilakukan oleh banyak orang lainnya di muka bumi ini. Ia dapat melihat karya Ilahi dalam ‘peristiwa aib’ sekalipun. Dan, karena itulah, ia budiman.
Itu semua agaknya punya hubungan dengan pengalamannya sendiri bahwa di usia mudanya, ia tidak mengandung. Elisabeth termasuk golongan yang kena aib: tidak memberi keturunan kepada Zakahria. Dan sekarang, malah di usia tua, ia mengandung. Sama-sama tidak wajar dalam pandangan masyarakat warga. Memang begitulah cara pandang orang-orang umumnya, selalu melihat segala sesuatu dari sudut baik-buruk, jahat-alim, kudus-berdosa. Tentu tidak salah. Tetapi menjadi begitu mengerikan bila kemudian dengan sudut pandang seperti itu, kita malah seolah-olah punya hak untuk menghakimi, menuduh, mengucilkan dan menjadikan orang lain sebagai ‘sampah masyarakat,’ yang pantas dibuang.
Seringkali di hadapan peristiwa yang oleh masyarakat kita dianggap sebagai aib, seperti misalnya ‘hamil di luar nikah’, kita menjadi ahli gosip yang handal, yang fokus meneliti kesalahan orang. Kita seringkali tidak menyelesaikan masalah, tetapi sebaliknya menyiapkan ‘amunisi bunuh diri’ bagi orang-orang yang di-gosip-kan, karena berfokus hanya pada dan menghakimi kesalahan.
Berbeda dengan kita, Elisabeth mengambil posisi lain, barangkali karena ia tahu bagaimana rasanya dipandang sebagai orang yang hidup dengan aib. Karena itu, ia hadir meneguhkan Maria dengan mengajak Maria mengarahkan perhatian pada anak yang dikandungnya: “Terpujilah buah tubuhmu” (Luk 1:28). Perhatian pada anak yang dikandung seringkali memang meneguhkan para perempuan yang hamil di luar nikah, di hadapan macam-macam komentar arogan, sembrono dan dungu dari masyarakat-warga.
Anak memungkinkan para ibu bertahan. Bertahan karena ‘buah rahim’ memungkinkan para ibu yang demikian itu melihat secara baru makna kehidupan. Aib yang paling dalam, sebagaimana dialami oleh Maria dan Elisabeth, dapat bertukar menjadi berkat yang menggembirakan. Apa yang dianggap sebagai jalan penderitaan justeru dapat dilihat sebagai jalan berkat: ‘memelihara kehidupan’. Tentu sulit, tetapi itulah kebijaksanaan yang ditawarkan kepada kita: mampu melihat hal baik (sisi positif) dari setiap peristiwa hidup.
Hanya, ada sedikit masalah lagi yang tak boleh dilewati begitu saja. Di tangan masyarakat warga, lagi-lagi, seringkali malahan anak itu dianggap sebagai ‘anak haram’. Menyedihkan: kita seringkali berlaku sebagai hakim moral! Tetapi semoga bacaan hari ini mengingatkan kita untuk saling mendukung satu sama lain, saling menguatkan satu sama lain, saling memberi harapan dan rela merangkul yang rentan. Semoga kita dapat seperti Elisabeth: tidak menambah beban penderita dengan macam-macam komentar, pandangan, pendapat yang seringkali malah mengaburkan dari pada memberi pencerahan, peneguhan dan kekuatan.
Penulis adalah imam Fransiskan, melayani umat di Meratus, Kalimantan Selatan
Komentar