Oleh: RP DESIDERAMUS ANSBI BAUM, OFM
Baik: selama beribu-ribu tahun menggerakkan banyak orang untuk bertindak, menggetarkan hati tetapi juga membingungkan. Sepatah kata yang dengan mudah menjadi biasa, itu-itu saja dan malah bisa memuakkan. Terutama, kalau orang melihat ada beda dari macam perbuatan baik. Tetapi, benarkah ada beda di antara jamaknya kebaikan?
Sebagai misal. Di lereng pegunungan Meratus, bagian Timur daerah Kalimantan Selatan, ada banyak orang datang menawarkan bantuan bagi masyarakat, tetapi diam-diam mengeruk keuntungan dari sana. Banyak orang datang dengan janji-janji: nanti masyarakat lokal akan bekerja di perusahan, kesehatan diperhatikan, pendidikan memadai. Dan untuk memuluskan usaha itu, biasanya orang datang membawa serta ‘setas uang’, sebagai tanda citra ‘baik’. Tetapi yang didapat masyarakat malah sebaliknya; mereka makin terpinggir dan terpojok, populasi orang Meratus makin menyusut, kesehatan jauh dari memadai, pendidikan tak diperhatikan, hutan menghilang, dan lahan bercocok tanam menyempit. Pendek kata: kualitas hidup dan sosial-lingkungan merosot.
Itu hanya satu contoh bagaimana kebaikan ternyata bisa dimanipulasi untuk melayani nafsu serakah, nafsu akan harta dan kuasa, sementara orang lain menjadi korban dari kebaikan yang pura-pura. Kebaikan seperti itu kita namakan sogok dan brutal: berbuat baik supaya mendapat keuntungan. Sementara itu, ada kebaikan yang dipakai sebagai antisipasi agar kalau satu waktu saya menderita, saya bisa meminta bantuan pada orang-orang yang pernah saya tolong. Syahdan, ketika bantuan yang diharapkan itu tidak muncul, saya berkomentar, “Pernah ndak kamu merasa baik sama orang, tapi orang itu kadada (tidak ada) timbal baliknya ke kamu. Sebel kan, kek, baiknya cuma dimanfaatin doang..” Berbuat baik dengan mengharapkan imbalan, kita namakan Do ut Des: memberi untuk menerima. Juga tidak sungguh, tidak tulus tetapi bulus. Tidak hanya itu, ada juga yang berbuat baik kepada orang lain supaya dirinya aman, dihormati, dipuji dan tentu saja dianggap sebagai orang kudus (baik) selama masih hidup. Jenis kebaikan begini, kita namakan sebagai ingat diri-egois dan lebay.
Tuhan hari ini, dengan seperti menakut-nakuti membawa pesan tertentu bahwa Ia datang membawa pemisahan dan pedang bukan damai dan kerukunan. “Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya…” (Mat. 10:35). Ia datang dengan pesan tegas: Kita harus memilih, atau berbuat baik secara tulus karena kita Murid-Nya atau kita melakukan kebaikan hanya demi kepentingan diri sendiri, keluarga dan komunitas kita. Atas alasan itu, Ia berkata: “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku…”. Perhatian terhadap orang tua atau keluarga tidak ada salahnya dan sama sekali tidak dibenci oleh Tuhan.
Tetapi perhatian dan kebaikan yang kita lakukan terhadap diri, keluarga, dan komunitas dengan menjual-memanipulasi kebaikan dan memanfaatkan serta menjadikan orang lain sebagai sarana untuk mendapat keuntungan; itulah yang ingin dikoreksi oleh Yesus hari ini. Mengikuti Yesus hanya untuk mencari kenyamanan, kuasa, uang dan ketenaran; itulah yang ingin dilawan oleh-Nya, hari ini. Mengikuti Yesus bukan untuk mencari nyaman. Bukan. Tetapi mengikuti Yesus itu berarti agar kita rela melakukan kebaikan dengan jalan mengorbankan diri, mengorbankan kenyamanan. Itulah artinya memikul Salib: meninggalkan segala usaha mencari kenyamanan, rasa bangga-puas diri (kita mati terhadap dosa: Rm. 6:4), apalagi dengan mengorbankan orang lain.
Agar tidak membingungkan, Yesus melanjutkan kata-kata-Nya: “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya demi Aku, ia akan memperolehnya kembali”. Nyawa itu bukan hanya nafas yang memungkinkan hidup, tetapi menyangkut kecenderungan-kecenderungan psikologis kita. Segala hal yang berkaitan dengan keinginan atau dorongan dari dalam diri untuk dianggap keren, berhasil, hebat, dan diakui orang lain. Dan dalam rangka itu juga kecenderungan untuk memiliki kuasa, uang dan mengontrol orang lain. Akar dari segala kebaikan yang pura-pura itu ada di berhala nyawa: hidup menurut nilai-nilai duniawi.
Nyatalah bahwa keinginan-keinginan itu tadi ada dalam diri kita dan muncul dalam berbagai cara dan bentuk kebaikan yang pura-pura. Sehingga ketika Tuhan berkata: “Barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja kepada salah seorang anak kecil ini…” Kita diingatkan untuk bertanya dalam setiap tindakan baik kita: “Apa motivasi, apa alasan terjauh dari perbuatan baik yang saya lakukan?”
Jangan-jangan perbuatan baik dilakukan hanya supaya saya dan keluarga saya aman, lebih dicintai orang, dianggap unggul, dihargai dan diakui. Jangan-jangan agar saya mendapat lebih banyak lagi, lebih mudah mendapat keuntungan, lebih mudah mengeruk dan lebih gampang berkuasa. Jangan-jangan semua itu dilakukan demi mengejar nama baik dan kepuasan diri. Atau malah lebih mengerikan, kebaikan itu dibuat terutama agar saya makin sukses dan kaya, sementara orang lain diperalat, makin menderita, miskin dan terpinggirkan.
Kebaikan yang kita lakukan sejatinya hanya satu dan berakar dari keyakinan ini bahwa kita adalah murid-murid Kristus dan kebaikan itu dilakukan dengan tidak mengharapkan apa-apa kembali kepada kita. Sebab tanpa berharap pun, kita toh tidak akan kehilangan upahnya, begitu pesan Yesus. Atau seperti Wanita Sunem, karena kebaikannya yang tulus, ia mendapat berkat: “…tahun depan, pada musim seperti ini, engkau akan menggendong seorang bayi” (2Raj. 4:16).
Sebagai penutup, saya ingat kata-kata lagu ini: “Kasih ibu, kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia”. Itulah kebaikan itu; satu-jujur dan tulus. Tidak pura-pura.
Penulis adalah seorang Fransiskan, tinggal di Meratus, Kalimantan Selatan
Komentar