Katoliknews.com – Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) menyatakan tidak setuju dengan isu peleburan Mapel Pendidikan Agama dan Budi Pekerti dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang saat ini menjadi ramai dibicarakan.
Kedua Mapel itu diberitakan sejumlah media akan dilebur menjadi Mapel Pendidikan Kewarganegaraan, Pancasila dan Kepercayaan.
“Pada prinsipnya, kami menghargai upaya penyederhanaan kurikulum, apalagi di tengah situasi pandemi COVID-19 saat ini, yang menuntut banyak penyesuaian. Namun, kami berpandangan bahwa Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan memang sebaiknya tidak dilebur atau tetap terpisah,” kata Pastor Vinsensius Darmin Mbula, OFM, Ketua Presidium MNPK dalam pernyataan tertulis, Jumat, 19 Juni 2020.
Isu peleburan ini sudah mendapat tanggapan juga dari sejumlah organisasi lai, termasuk NU dan Muhammadiyah yang sama-sama menentangnya.
Dalam siaran pers pada 18 Juni, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud, Totok Suprayitno telah menampik isu itu dan menyatakan bahwa “tidak ada rencana peleburan.” Ia juga menjelaskan bahwa diskusi di tim kerja kurikulum masih terus berlangsung yang salah satunya membahas soal penyederhanaan kurikulum.
Sambil menyebut menghargai penjelasan Kemendikbud itu, Pastor Darmin mengatakan, mereka perlu menyatakan sikap terhadap hal ini, dengan sejumlah poin argumentasi penolakan.
Pertama, jelasnya, agama merupakan urusan individu dan institusi setiap agama, dengan berbagai ajaran dan ritualnya sendiri, di mana pemahaman dan ajaran setiap agama beragam dan berbeda serta konsep setiap agama tentang pelajaran agama dan tujuannya berbeda-beda.
“Sementara pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan adalah sesuatu yang menyangkut ideologi negara, yang menjadi perekat bersama, dengan konten yang sama dan berlaku universal untuk semua warga negara,” jelasnya.
Kedua, kata dia, jika ini dilebur, maka akan mustahil mencapai titik keseimbangan materi dari semua agama untuk dimasukkan ke dalam materi pengajaran dan hal ini juga menjadi makin rumit dengan berbagai bentuk aliran kepercayaan.
“Batasan dan ukuran yang sulit diukur ini bisa berdampak pada adanya kecenderungan memberi penekanan pada agama tertentu, yang justru memicu polemik. Hal ini akan makin pelik mengingat urusan terkait hal ini tidak bisa steril dari kepentingan politik kekuasaan,” jelas Pastor Darmin, yang juga Sekretaris Jenderal Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS).
Ketiga, jelasnya, peleburan keduanya akan membawa tantangan yang berat bagi praksis pengajarannya, yang mengandaikan bahwa setiap guru memahami dengan baik materi yang ia ajarkan.
“Padahal, setiap guru tentu berafiliasi dengan agamanya atau aliran kepercayaan tertentu. Yang terjadi kemudian adalah bahaya serius ketika seorang guru harus mengajarkan apa yang ia tidak pahami dengan baik, sehingga terbuka pada penafsiran liar dan kekacauan. Aspek penting soal kedalaman, proses pencarian kebenaran akan sulit tercapai,” jelasnya.
Keempat, tambahnya, daripada menggabungkan keduanya, yang perlu dilakukan adalah bagaimana memastikan bahwa isi dari materi pelajaran agama agar bebas dari pengaruh pemahaman-pemahaman yang bertentangan dengan ajaran suatu agama dan juga ideologi negara, yang disusup oleh kelompok tertentu dengan agenda terselubung.
“Karena itu, perlu ada koordinasi yang terbangun dengan baik antara Kemendikbud dan institusi resmi dari setiap agama demi memastikan kualitas materi pelajaran,” jelasnya.
Dalam poin kelima, ia mengusulkan agar “prinsip penyederhanaan sebaiknya diterapkan dalam konteks mengkaji kembali konten dari dua mata pelajaran itu agar disesuaikan dengan konteks saat ini, terutama dengan model pembelajaran di tengah pandemi COVID-19.”
Namun, ia menambahkan catatan bahwa meskipun mereka menolak peleburan keduanya ke dalam satu mata pelajaran, “itu tidak berarti bahwa kami mempertentangkan keduanya.”
“Pada prinsipnya, kami melihat bahwa nilai-nilai yang diajarkan dalam Mata Pelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti, yang mengacu pada nilai-nilai dalam ajaran sosial gereja adalah sejalan dengan Pancasila,” katanya.
Dalam hal ini, kata dia, pihaknya memandang bahwa mewujudkan dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah bagian dari perwujudan iman.
“Karena itu, ada pengandaian bahwa orang yang pengetahuan agamanya memadai akan dengan sendirinya mengamalkan Pancasila dalam kehidupan dan karena itu menjadi warga negara yang baik,” jelasnya.
Untuk itu, kata dia, tekanan pada Mata Pelajaran Agama Katolik dan Budi Pekerti, tidak hanya sampai atau sebatas pada pengetahuan tentang agama.
“Tetapi lebih dari itu, yakni sampai pada penghayatan atau praksis iman, yang medannya adalah dunia, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” jelasnya.
Dalam konteks Indonesia yang berbhineka dan multikultur, kata dia, “kami juga berpandangan bahwa adalah penting bagi semua orang untuk saling mengenal satu sama lain, tidak hanya terkait agama, tetapi juga adat istiadat, yang darinya diharapkan muncul rasa saling menghargai, toleransi, rasa persaudaraan sebagai sesama manusia.”
“Hal-hal seperti ini tentu menjadi bagian dari tanggung jawab utama kedua mata pelajaran itu: Mapel Agama memberi penekanan pada dasar-dasar ajaran iman tentang hidup berdampingan bersama yang lain dan Mata Pelajaran Pancasila dan Kewarnegaraan pada upaya untuk berdamai dengan corak Indonesia yang dipenuhi keberagaman, sesuatu yang kemudian mesti dilihat sebagai kekayaan,” tegas Pastor Darmin.
Komentar