Katoliknews.com – Sejumlah tokoh dari berbagai agama dan organisasi pemerhati masyarakat adat menyatakan komitmen untuk menyelamatkan hutan tropis di Indonesia, di tengah menguatnya ancaman kerusahan hutan dan perubahan iklim.
Menyebut “bumi adalah anugerah dan rumah bersama bagi setiap makhluk,” mereka menyatakan, “merasa prihatin terhadap kondisi hutan tropis dunia, khususnya di Indonesia, yang terus mengalami kerusakan, bahkan sebagiannya hilang.”
“Kami mengakui kerusakan dan hilangnya hutan tropis sebagai ancaman keberlanjutan kehidupan manusia hingga generasi di masa datang, karenanya kami menuntut tindakan segera dan tegas,” kata mereka.
“Kami memiliki kewajiban moral dan spiritual yang mendalam untuk menjaga hutan tropis Indonesia,” tambah mereka.
Pernyataan itu mereka sampaikan pada akhir forum Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis Indonesia atau Interfaith for Rainforest Initiative (IRI) yang digelar di Jakarta pada 30-31 Januari 2020.
Penandatangannnya antara lain Mgr. Yohanes Harun Yuwono, Uskup Tanjungkarang yang juga Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia; Din Syamsuddin dari Inter Religious Center; KH. Muhyiddin Junaedi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI); M. Ali Yusuf dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; Gatot Supangkat dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Pdt. Jimmy Sormin M.A dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesiadan Hein Namotemo dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Mereka menyatakan, dengan luas sebesar 93,95 juta hektar, hutan tropis di Indonesia menyediakan habitat penting bagi jutaan rakyat, mata pencaharian, sumber pangan, obat-obatan, air bersih, yang mendukung kehidupan dan aktivitas pribadahan, serta ritual-ritual masyarakat adat.
Hutan ini, kata mereka, juga merupakan “elemen penting bagi identitas dari komunitas yang menjadi kebanggaan dan tanggung jawab bersama untuk dijaga dan dilindungi.”
Mereka menyatakan, pemicu utama kerusakan dan hilangnya hutan di Indonesia adalah sistem kebijakan dan pola pembangunan yang tidak berkelanjutan dan tidak berpihak pada masyarakat yang hidupnya tergantung pada hutan.
“Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dan perizinan untuk alih fungsi hutan dan lahan dalam skala luas untuk usaha perkebunan, pertambangan dan pembangunan infrastruktur, bisnis pembalakan kayu dan melayani pola konsumsi yang berlebihan,” kata mereka.
Kebijakan dan praktik pembangunan demikian, kata mereka, menyebabkan sejumlah masalah, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran lingkungan, menurunnya kualitas hidup manusia, kian dalamnya jurang kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi, ketidakadilan, korupsi dan berbagai konflik lain.
“Kerusakan dan hilangnya hutan tropis ini tidak sejalan dengan ajaran serta prinsip-prinsip agama, kepercayaan dan nilai-nilai adat, konstitusi negara, yang mengamanatkan agar setiap manusia menjaga keutuhan alam dan keadilan sosial,” kata mereka.
Mereka menyatakan, saat ini perlu perubahan mendasar terhadap nilai, gaya hidup, dan kebijakan negara dalam melindungi hutan tropis.
Forum itu menyatakan, “melindungi hutan tropis adalah bagian dari tatanan moral yang memberi penghormatan keutuhan ciptaan-Nya, mencakup keadilan sosial dan ekonomi, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan martabat manusia, dalam mencapai perdamaian dan kesetaraan.”
Mereka pun menyatakan komitmen untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian komunitas masing-masin terkait upaya mencegah krisis dan menentang praktik pengrusakan dan hilangnya hutan.
“Kami siap memobilisasi komunitas kami, dari akar rumput hingga ke kepemimpinan paling tinggi, untuk bergabung, bekerja sama dengan pemerintah, kelompok dan organisasi masyarakat sipil, dunia usaha, serta mitra PBB yang sudah bekerja untuk melindungi hutan,” kata mereka.
Mereka juga mengaku “siap memberi masukan dan mendorong terciptanya perbaikan regulasi yang menghasilkan sistem yang tidak membuka peluang terjadinya kerusakan hutan tropis.”
Para tokoh pun mendesak pemerintah memperkuat dan memenuhi komitmen melindungi hutan dan hak-hak masyarakat adat melalui regulasi dan/atau kebijakan baru, dialog dan menghentikan pemberian izin, melakukan evaluasi, membatasi penguasaan dan pemilikan lahan yang tidak adil, melakukan rehabilitasi dan pemulihan lingkungan, penegakan hukum dan penyelesaian konflik, melindungi dan memulihkan hak-hak masyarakat yang menjadi korban dari eksploitasi hasil hutan serta pelanggaran HAM.
“Kami menyatakan berdiri bersama dalam solidaritas dengan masyarakat adat dan siapapun yang melindungi dan melestarikan hutan, untuk mendapat perlindungan dari ancaman intimidasi serta kekerasan,” kata mereka.
Mereka juga mendesak pemerintah dan komunitas internasional untuk menempatkan perlindungan hutan, pemberdayaan dan pengembangan kapasitas masyarakat sebagai upaya inti untuk mencapai tujuan perjanjian iklim Paris.
“Kami akan mengawal sampai terwujudnya upaya tersebut,” kata mereka.
Desakan lain juga disampaikan kepada sektor swasta; industri ekstraktif, perkebunan skala besar, hutan tanaman industri, usaha pembalakan kayu dan pertambangan agar bertanggung jawab melakukan pemulihan dan perlindungan ekosistem hutan tropis, melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat, dan melakukan divestasi dari dunia usaha yang mengambil keuntungan dari perusakan hutan tropis.
“Kami menyadari bahwa upaya memulihkan dan melindungi hutan tropis di Indonesia bukanlah hal yang mudah,” kata mereka.
“Namun dengan niat yang luhur, solidaritas, dialog konstruktif, ketekunan dan kesamaan tujuan, kami meyakini bahwa kondisi hutan tropis di Indonesia dapat kembali lestari dan memberi manfaat secara berkelanjutan untuk generasi yang akan datang.”
Komentar