Katoliknews.com – Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Ignatius Kardinal Suharyo mempertanyakan kebenaran berita yang diklaim bersumber dari data KWI soal pelecehan seksual yang terjadi di lingkup Gereja Katolik di Indonesia.
Dia mengaku tidak pernah mendapat data atau laporan tersebut.
“Saya sebagai Uskup Keuskupan Agung Jakarta dan sebagai Ketua Konferensi Waligereja Indonesia tidak pernah menerima laporan seperti itu. Maka saya mempertanyakan itu KWI yang mana ya bicara atas nama KWI, bicara tentang perkara itu,” kata Kardinal Suharyo dalam konferensi pers Hari Natal, Rabu, 25 Desember 2019.
“Jadi kalau tanya ke saya, ndak ngerti. Tanyakan kepada yang menulis itu dari mana dia mendapat data dan apakah data itu valid atau tidak atau secara etis melanggar etika atau tidak,” lanjutnya, seperti dilansir Detik.com.
Sebagai ketua dan mengaku tidak mengetahui data tersebut, dia mempertanyakan pihak yang menyebarkan data tersebut karena mengatasnamakan KWI.
Dia kemudian menyampaikan sikap Paus Fransiskus terkait pelecehan seksual di lingkungan Gereja.
“Paus itu jelas sekali sikapnya. Beliau sangat keras, sangat tegas terhadap pastor-pastor yang melakukan pelecehan seksual terhadap, spesifik ya, anak dan orang dewasa yang lemah, itu artinya cacat, difabel dan seterusnya,” kata Suharyo.
Suharyo mengatakan Paus Fransiskus begitu tegas terhadap persoalan pelecehan yang dilakukan oleh pemuka Gereja, karena pastor seharusnya menjaga, bukan menjadi predator.
“Artinya begini, pastor itu kan mestinya menjaga umatnya. Tetapi dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak dan terhadap orang dewasa yang lemah, itu dia menjadi predator, tidak menjalankan tugasnya tapi sebaliknya, malah mencelakakan. Sebab itu, Paus keras,” ujarnya.
Suharyo mengatakan peraturan Agama Katolik terkait menindakan kasus-kasus semacam juga memandang konteks dan tidak dapat disamakan di tiap negara.
Dia mengingatkan untuk lebih mawas diri dalam menyikapi informasi ini.
“Jadi saya hanya mau mengatakan, kita mesti hati-hati benar dengan perkara-perkara seperti itu. Karena apa, karena ini masalah yang menyangkut pribadi orang. Kalau dijadikan bahan jual beli, maksud saya dijadikan bahan yang secara sekedar jadi berita yang nanti tidak dipertanggungjawabkan secara moral itu jadi susah bukan main,” katanya.
Sebelumnya, kabar terkait kasus pelecehan seksual di lingkup Gereja Katolik di Indonesia terungkap dalam laporan Majalah Warta Minggu yang diterbitkan oleh Paroki Tomang – Gereja Maria Bunda Karmel (MBK), Keuskupan Agung Jakarta.
BACA: Laporan: Ada 56 Orang Korban Pelecehan Seksual di Gereja Katolik Indonesia, Termasuk Seminaris dan Suster
Majalah milik paroki yang dilayani para imam Karmel itu melaporkan setidaknya 56 orang mengalami pelecehan seksual di dalam Gereja Katolik di seluruh Indonesia.
Laporan yang berjudul “Pelecehan Seksual di Gereja Indonesia: Fenomena Gunung Es?” itu, diterbitkan pada edisi Minggu, 7 Desember 2019.
Dijelaskan dalam majalah itu yang file dalam formatnya PDF-nya diperoleh Katoliknews.com bahwa laporan itu berdasarkan sebuah diskusi yang diadakan di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta pada akhir November untuk menandai kampanye 16 hari penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Diskusi itu membahas buku “Pelayanan Profesional Gereja Katolik dan Penyalahgunaan Wewenang Jabatan” yang disusun oleh Badan Kerjasama Bina Lanjut Imam Diosesan (BKBLI) dan diterbitkan bersama oleh Penerbit Kanisisius dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada tahun lalu.
Buku itu disebut berisi acuan penyusunan pedoman perlindungan hak-hak anak dan orang dewasa rentan, protokol serta kurikulum formasi pelayanan profesional dalam lingkungan pelayanan Gereja Katolik.
BACA JUGA: Uskup di Filipina: Jika Ada yang Alami Pelecehan Seksual oleh Kaum Klerus, Jangan Diam
Selama diskusi itu, Sekretaris Eksekutif Komisi Seminari KWI, RD Joseph Kristanto mengatakan, walaupun dia tidak memiliki data pasti tentang jumlah korban pelecehan seksual di Gereja Katolik di Indonesia, timnya telah menerima laporan dari informan yang merinci setidaknya 56 korban.
“Dari jumlah itu, ada 21 korban dari kalangan seminaris dan frater, 20 orang suster dan 15 korban nonreligius,” kata RD Kristanto seperti dikutip Warta Minggu.
“Pelakunya siapa? Ada 33 imam dan 23 pelaku bukan imam. Ternyata banyak juga kejadian di tempat-tempat pendidikan calon imam.”
Kristanto mengatakan ia meyakini bahwa ini adalah fenomena gunung es.
“Hitung saja, di Indonesia ada 37 keuskupan, kalau masing-masing keuskupan lima atau sepuluh kasus, silahkan hitung sendiri. Itu baru di keuskupan. Belum di sekolah-sekolah atau panti-panti asuhan,” katanya.
Kristanto mengatakan salah satu cara KWI untuk mencegah pelecehan seperti seperti itu adalah melalui seleksi dan proses pendidikan untuk para seminaris yang ketat.
BACA: Seorang Mantan Pastor Dihukum 30 Tahun Terkait Kasus Pelecehan Seksual
Lidia Laksana Hidayat, seorang psikolog dan pendamping untuk para seminaris, yang menghadiri diskusi itu menyatakan sepakat dengan RD Kristanto dan mengatakan bahwa akar pelecehan seksual sering kali terletak pada masa lalu para pelaku kekerasan seksual, seperti pernah mengalami pelecehan, dibuli, keluarga broken home, bingung dengan orientasi seksual dan sebagainya.”
“Pengolahan diri dan kepribadian itu penting dalam proses pendidikan calon imam,” katanya.
RD Kristanto mengatakan bahwa Paus Fransiskus telah memperjelas posisi gereja dalam surat apostoliknya Vos Estis Lux Mundi yang dikeluarkan pada bulan Mei tahun ini.
“Paus menegaskan, kejahatan seksual menyakiti Tuhan kita, menyebabkan kerugian fisik, psikologis dan spiritual bagi korban dan merusak komunitas orang beriman,” katanya.
Sementara itu Fransisca Erry Seda yang menjadi moderator diskusi mengingatkan bahwa dalam kaca mata relasi kuasa, antara imam/klerus dengan awam ada relasi kekuasaaan, baik secara sosial maupun psikologis.
“Jadi kalau pelecehan atau bahkan pemerkosaan, dalam konteks relasi kekuasaan, yang bertanggung jawab adalah mereka yang berposisi lebih berkuasa,” katanya.
Dalam tajuk atau editorial Warta Minggu, redaksi mengatakan, laporan itu diterbitkan untuk memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional, yang jatuh pada hari ini, 10 Desember.
BACA JUGA: Ganti Rugi untuk Korban Pelecehan Seksual, Gereja Katolik Australia Bayar Rp 2,7 Triliun
“Kita boleh bersyukur bahwa Gereja cukup berjiwa besar untuk tidak mengingkari kelemahannya. Tentu tidak cukup diam saja. Tindakan harus diambil, demi mencegah terjadinya hal yang lebih buruk dan menegakkan keadilan,” demikian isi editorial itu.
“Pelaku harus disadarkan, kita kutuk perbuatannya, bukan kemanusiaannya, perlu diselamatkan dengan tindakan-tindakan korektif konkret yang perlu. Sementara korban harus diselamatkan, dibangkitan dari deritanya.”
Komentar