Setiap tanggal 17 September keluarga Fransiskan merayakan pesta Stigmata Fransiskus Assisi. Di La Verna Fransiskus menerima stigmata, yaitu luka-luka mirip luka-luka Kristus yang tersalib, pada tubuhnya. Dalam sejarah kerkistenan, stigmata Fransiskus merupakan yang pertama. Setelah itu, pengalaman serupa juga terjadi, misalnya pada Padre Pio.
Pegunungan La Verna di wilayah Firenze, Italia tengah merupakan sebuah wilayah yang dihadiahkan pangeran Orlando Catani kepada Fransiskus, oleh karena rasa kagumnya pada khotbah-khotbah, dan terutama cara hidup Fransiskus. Kini di La Verna terdapat biara Fransiskan, tempat para peziarah dari berbagai belahan dunia menimba bekal rohani atau sekedar berwisata.
Pengalaman istimewa akan Kristus tersalib ini terjadi pada 1224, dua tahun sebelum kematian Fransiskus. Sumber sejarah riwayat hidup Fransiskus mengisahkan bahwa ketika ia sedang tenggelam dalam doa dan ulah tapa di pegunungan La Verna, menjelang Pesta Santo Mikhael Malaikat Agung, 29 September, ia mendapat sebuah penglihatan mistik: Seorang malaikat Serafim mirip Kristus tersalib menampakkan diri kepadanya.
Malaikat Serafim tersebut bersayap enam: Sepasang sayap membujur searah kedua kaki, sepasang sayap melingkari pinggang, dan yang lainnya membentang sejajar kedua lengan. Dari lambung serta kedua tangan dan kaki Serafim terpancar berkas-berkas cahaya yang menerpa Fransiskus, tepat pada lambung, kaki dan tangan, sehingga padanya tampaklah luka-luka Kristus tersalib. Ekstase ini memahkotai cintanya yang mendalam akan Kristus yang miskin dan rendah hati. Pengalaman ini memeteraikan kerinduan Fransiskus untuk semakin mirip dengan Kristus. Kristus hidup dalam dirinya secara spiritual maupun badani.
Stigmatisasi Fransiskus memahkotai kecintaanya pada Allah Mahakasih. Misteri salib memperlihatkan bahwa kasih Allah adalah kasih penuh kerendahan hati. Pada salib nyatalah totalitas kasih itu: Putera Allah diserahkan ke dalam tangan manusia. Allah, Sang Ada sempurna, sang Kebaikan Tertinggi telah menjelma menjadi manusia hina; Ia memilih ‘jalan turun’, menanggalkan keilahian-Nya dan menjadi yang hina di antara kita.
Bagi Fransiskus, salib memancarkan misteri kasih Allah. Kasih Allah adalah kasih yang radikal. Sang Cinta sendiri rela menjadi manusia, merentangkan tangan-Nya di kayu salib untuk merangkul manusia dalam kasih. Dalam kematian Tuhan, manusia pendosa menemukan kunci kehidupan. Salib Kristus yang tampak sebagai wajah penderitaan justru menjadi sumber harapan bagi dunia.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Andreatawolo.id, blog milik RP Andre Atawolo OFM. Silahkan membaca tulisan lain dari pengajar teologi dogmatik di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini dengan mengklik di sini!
Komentar