Katoliknews.com – Ratusan anak perempuan Dayak, Kalimantan Barat menggelar diskusi dan sharing pada puncak Hari Anak Perempuan Internasional (International day of girls), di Desa Sukakarya, Kecamatan Marau, Ketapang, Kalimantan Barat, Selasa, 11 Oktober 2016.
Acara Hari Anak Perempuan Internasional ini bertajuk “Girls Speak Out” dan diikuti oleh semua anak perempuan mulai dari anak-anak TK, SD, SMP hingga SMA.
Ketua Penyelenggara Peringatan Hari Anak Internasional, Suster Theresia Kurniawati RGS, mengatakan, melalui acara ini anak perempuan Kalimantan ingin menyuarakan kegembiraan dan harapan mereka untuk mewujudkan mimpi menjadikan Kalimantan yang baru.
Menurut Sr Theresia, di pedalaman Kalimantan, potensi anak perempuan untuk maju dan berkembang seringkali terhalang karena adanya kekerasan yang mereka alami baik di rumah maupun di sekolah.
“Survei kecil-kecilan kami menemukan 6 dari 10 anak mengalami kekerasan di dalam rumah dan 8 dari 10 anak mengalami kekerasan di sekolah maupun di jalan,” kata Sr Theresia kepada Katoliknews,com.
Ia menambahkan, rumah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak perempuan, kenyataannya tidak selalu memberi rasa aman.
Beberapa remaja, kata dia, mengalami kekerasan seksual di dalam rumah. Bahkan, ada yang terpaksa harus meninggalkan rumah demi keamanan mereka.
“Pengalaman pahit bagi anak perempuan yaitu ketika ia dilecehkan oleh ayah tiri, namun ibu yang diharapkan membela tetap memilih ayah tiri atau kakaknya tetap memilih suaminya meski ia melakukan pelecehan terhadapnya sebagai adik ipar,” ujar Pemerhati Hak Perempuan dan Anak asal Borneo ini.
Ia melanjutkan, “Kekerasan yang dilakukan oleh anak usia dini pun seringkali tidak disadari oleh orangtua. Kami merasa perlu memberikan penyadaran ancaman ini.”
Pada sesi diskusi lain yang dipandu tiga pemerhati anak perempuan di tempat itu yakni Ignasius, Apheng Arpheles dan Albina Taisd, ada keprihatinan lain dimana banyak anak perempuan yang putus sekolah karena kehamilan.
“Masih dari survei kecil-kecilan kami menemukan 4 dari 10 anak perempuan terpaksa berhenti sekolah karena kehamilan. Bahkan, di satu desa ada 9 dari 10 anak sepanjang tahun ini mengalami hal tersebut,” lanjut Sr Theresia.
Oleh karena itu, kata Sr Theresia, di Hari Anak Perempuan Internasional tahun ini ia bermimpi untuk memperkecil angka putus sekolah dan kasus pernikahan dini.
Menurut Sr Theresia, soal kemampuan, anak perempuan pedalaman memiliki potensi yang sama dengan yang di kota.
“Anak perempuan pedalaman mempunyai potensi yang sama dengan anak-anak di kota. Mereka mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan ide, gagasan dan jiwa kepemimpinannya,” katanya.
“Lantas dengan ikut serta dalam peringatan Hari Anak Perempuan Internasional ini, kami berharap suara-suara lirih dari pedalaman ini dapat didengar dan berpengaruh pada usaha-usaha menguatkan potensi-potensi anak perempuan pedalaman,” harapnya.
Ia mengharapkan “di masa yang akan datang akan banyak lahir pemimpin perempuan yang mampu mengambil kebijakan bagi daerah-daerah pedalaman sehingga dapat sejajar dengan daerah lain dalam hal kemajuan. Anak-anak perempuan Dayak benar-benar menginginkan Kalimantan Baru.”
“Kalimantan harus menjadi tempat yang aman bagi tumbuh-kembangnya seluruh ciptaan. Kalimantan harus menjadi tempat yang aman untuk tumbuh-kembangnya potensi-potensi anak-anak perempuan,” ujarnya.
Sementara itu, secara pribadi Sr Theresia mengatakan bahwa anak-anak perempuan di pedalaman dapat memiliki pengalaman yang sama dengan anak-anak perempuan di belahan dunia yang lain sehingga tumbuh kebanggaan, solidaritas dan kesatuan dengan sesama perempuan untuk memperjuangkan hak-haknya.
Sebagaimana diketahui, pada 19 Desember 2011 lalu PBB telah mendeklarasikan 11 Oktober sebagai Hari Anak Perempuan Internasional untuk mendorong pemenuhan hak-hak anak perempuan dan memperbaiki kehidupan mereka di seluruh dunia.
Roby Sukur/Katoliknews
Komentar