Katoliknews.com – Bagi Gautam Lewis, sangat sulit melupakan Bunda Teresa yang pada Minggu esok, 4 September 2016 akan dikanonisasi sebagai santa atau orang kudus.
Untuknya, biarawati itu adalah sosok yang berhasil membuat ia lepas dari kemiskinan dan kini hidup nyaman di Inggris.
“Aku lahir di Kalkuta pada tahun 1977, meski tak ada catatan resmi akta kelahiran,” katanya kepada CNN, Jumat, 2 September sebagaimana dikutip Liputan6.com.
“Aku juga tak punya ingatan akan orangtua kandungku dan banyak laporan membingungkan tentang di mana dan kapan aku lahir dan siapa yang melahirkanku.”
Beberapa dokumen mengatakan Gautam lahir di Distrik 24 Parganas– wilayah pinggiran Kalkuta, dari orangtua yang bermasalah.
Namun, dokumen lain mencatat, pria itu lahir di Kota Howrah oleh dokter dari kasta tinggi.
“Ibu angkatku, Patricia, tahunya aku lahir di Howrah, mungkin agar tertarik dengan aku yang dianggap memiliki latar belakang baik.”
Bagi Gautam, mungkin kondisinya yang membuat ia terbuang ke sebuah panti asuhan Shishu Bhavan, rumah Bunda Teresa untuk anak yatim piatu di Kalkuta.
“Saya tidak tahu bagaimana masa kecil saya. Yang saya tahu, saya terkena polio dan nyaris lumpuh. Dan, yang pasti orangtua asliku tak sanggup merawatku dengan baik,” tutur Gautam.
Polio mematikan atau membuat penderitanya cacat permanen.
Namun, Gautam berhasil hidup dari virus yang biasanya menyerang sistem syaraf. Di masa itu, di India, 1 dari 5 anak tewas karena polio.
“Meski saya dibilang anak tak beruntung, tapi saya sendiri merasa beruntung karena Bunda Teresa mengasuh saya.”
“Di panti asuhannya, ada anak-anak berusia 18 bulan hingga 4 tahun. Hanya keluarga hebatlah yang mampu mengadopsi diri saya,” terang Gautama.
Menurut pria yang kini berprofesi sebagai pilot dan fotografer itu, panti asuhan tersebut merupakan tempat yang riuh, ramai dan kacau.
“Tapi Bunda Teresa sedang jadi pekerja sosial, itu bukan pekerjaannya. Ia hanya mengikuti cinta kasihnya kepada iman dan kepercayaannya. Itulah yang menggiringnya menjadi manusiawi.”
Di mata Gautam, Bunda Teresa tidak bermaksud menyembuhkan atau merehabilitasi mereka. Ia ada untuk mengurus orang sekarat, mereka yang dibuang oleh masyarakat dan tak ada yang peduli.
“Panti itu bukan tempat mewah, tapi kami dirawat dengan penuh kasih. Selama kami ada makanan, air dan cinta, sudah cukup.”
Menurut pria yang berwarga negara Inggris itu, ia jarang melihat Bunda Teresa di panti.
Namun, ia selalu memastikan ‘anak-anaknya’ sehat.
Tiap hari Minggu, Bunda Teresa akan datang dan mendadani bocah-bocah panti termasuk Gautam dengan pakaian terbaik. Mereka lantas dibawa ke kapel.
“Saya tak bisa jalan saat itu. Para biarawati harus menggendong saya agar baju tak kotor, namun tak jarang saya harus merangkak di lantai,” ujar Gautam.
“Karena saya merangkak, Bunda Teresa sangat tinggi bagiku, meski sebenarnya ia mungil. Ia selalu memberikan tatapan perlindungan kepada saya. Bunda selalu berbicara pelan dan memiliki aksen Inggris. Saya tak pernah mendengarnya berteriak, namun semua tahu, ia adalah sosok disegani,” kenangnya.
Meski Bunda Teresa merawatnya mereka dengan baik, tetap saja hidup Gautam begitu kelam, sedih dan kesepian. Ia bahkan sempat berhenti berbicara selama 6 bulan tatkala tak seorangpun mau mengangkat anaknya.
“Saya mungkin akan berhenti bicara kalau Bunda tak membawa saya ke psikolog,” tuturnya.
Akhirnya Gautam diadopsi oleh Patricia tahun 1985 dan dibawa ke Auckland, Selandia Baru.
18 bulan kemudian ibu dan anak itu pindah ke Inggris, di mana Gautam mendapat pendidikan bagus, teman yang baik dan pengobatan terbaik.
Pada usia 18 tahun, Gautam berkunjung ke Kalkuta untuk pertama kalinya. Ia bertemu dengan Bunda Teresa sebelum ia meninggal dunia.
“Saya mungkin mengatakan kepadanya saat itu ‘terima kasih telah memberikan saya hidup’, saya sedikit lupa,” kata Gautam.
“Namun, yang pasti saya ingat, Bunda Teresa berkata, ‘Tak ada yang sulit, hanya berbeda. Kalau kamu tak menemukan seseorang yang mau menolongmu di kala kamu butuh, kerjakanlah sendiri, jangan khawatir hal yang tak kamu ketahui…”.
Edy/Katoliknews
Komentar