Oleh: RD Norbeth Tukan
Batinku protes sejenak ketika beberapa minggu lalu sempat berdiskusi singkat dengan Rm. Agustinus Ryadi. Ia seorang doktor filsafat dan dekan di Fakultas Fisafat, yang sedang melakukan peneliatian tentang, “The role of Philosophy for Chines People”.
Ketika menyinggung kematian Mgr. Hilarius SvD, beliau lantas berkomentar soal kematian. Baginya, kematian membuat segalanya menjadi absurd, kosong, tak ada makna. Bahkan hidup juga absurd, karena kematian menamatkan segalanya. Mewah, cantik, agung, hebat, kaya, di hadapan kematian tetaplah absurd.
Tetapi tidaklah demikian, protes batinku. Lantas aku mengatakan, “memang kematian adalah fakta yang tidak dapat dihindari, tapi kematian harus juga diraba-raba dalam iman filosofis eksistensialis, bukan hanya dalam kacamata materialisme marxis. Marcel Gabriel, pernah mengatakan, “bercinta kasih bearti mengatakan, “Engkau tidak akan mati”.
Kebebesan, kebaikan dan kebijaksanaan manusia bukan sekali dipakai dan dibuang, tapi bersifat transenden dan akan selalu dikenang. Raga kaku tak bedaya, tapi kebaikan, kerendahan hati adalah abadi.
Ini berarti kematian bukanlah kristalisasi tapi sebuah perjalanan menuju puncak yang tidak pernah selesai oleh karena kebaikan yang abadi.
Dua Murid Emaus
Yesus, sang guru yang hebat. Harapan, impian, cita cita akan perubahan telah ditanamkan oleh para murid dalam diri sang Guru. Akan tetapi, para murid kecewa. Yesus sang guru ditangkap, disiksa secara keji dan akhirnya mati tergantung di kayu salib, lalu dikuburkan.
Rasa kecewa, stress dan putus asa menyelimuti. Semua mimpi sirna seketika. Semuanya terasa absurd, kosong, tak berdaya. Kegantengan, kesohoran, mukjisat absen dan sirna. Hati sedih, gundah, gulana, getir, pahit, asam dan pekat terasa. Hampa dan semunya hampa.
Para murid kecewa, kembali bersembunyi, malu dan kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan pekerjaan sebagai nelayan, petani.
Namun, di tengah jalan, dalam kekalutan dan kegelapan tanpa harapan, Yesus berjalan bersama mereka. Para murid seakan sedikit terhibur. Karena hari menejelang malam, Sang guru diundang. Terbukalah mata mereka saat sang guru memecahkan roti. Inilah gaya khas sang guru, berkumpul, memecahkan roti dan makan bersama, sebuah komunitas kecil yang ditandai saling mengenal. Mata mereka terbuka ketika sang guru megambil dan memecahkan roti. Segala kenangan kembali. Inilah Yesus.
Sejak 1987, Hilarius Moa Nurak, diangkat menjadi uskup Pangkalpinang. Sebuah perjalanan panjang, sebuah kisah yang mendalam telah terpahat, terpatri dalam diri siapa pun yang ada di keuskupan seribu Pulau itu.
Bahkan lautan, ombak, pulau, pompong, dan pelantar-pelantar tua, para anak pulau pun telah mengkristalkan kisah perjalanan sang gembala ini. Walaupun mungkin hanya sejauh ingatan, sejauh mata memandang.
Tapi sang gembala yang hebat itu, kini hanyut, tenggelam di lautan China selatan oleh karena sebuah karya. Tatapan haru, sedih, kosong, kecewa, sedih dan kesepian terbaca dan terlihat pada diri umat dan para imam.
Umat dan imam Keuskupan Pangkalpinang seperti berlayar tapi tak mempunyai layar, seperti membawa pompong tapi tak mempunyai tekong atau nahkoda. Pada titik ini, kami yakin bahwa roti yang telah engkau berikan, dalam kemasan Cara baru hidup menggereja, membuat kami akan semakin mengenal visi misi: Duduk bersama, pecahkan roti, sharing injil. Itulah iman yang konkrit.
Pada semangat, kerendahan hati, kebijakan, sapaanmu, kami mengenal Yesus sebab meski ragamu kaku tapi visi misimu, adalah abadi dalam kami para imam dan umatmu. Bapa uskup semoga bahagia di surga.
Hari sudah malam, “Tinggalah bersama kami dengan doa-doamu”. Semangatmu tinggal bersama kami. Kematianmu bukanlah absurd. Ragamu absurd, tapi jiwamu, semangatmu abadi. Para filsuf timur, Laotse, Konfucius menegaskan, kematian adalah sebuah harmoni, harmoni dengan alam dan wujud tertinggi.(*)
Komentar