Katoliknews.com – Masalah pengungsi kian krusial di berbagai belahan dunia. Sebagian dari mereka, yang mencapai ribuan orang, terdampar di Indonesia.
Tidak banyak yang peduli, entah karena alasan politik ataupun ekonomi. Yang jelas, jutaan orang saat ini, terlunta-lunta.
Gereja Katolik, terutama lewat aksi nyata Paus Fransiskus, memberi perhatian besar pada masalah ini, di mana misalnya, sebuah aksi yang mengagumkan 16 April lalu, ketika ia membawa 12 pengungsi Suriah dari Yunani ke Vatikan. Mereka adalah korban pengeboman dan imigran yang ditahan setelah mencoba mengungsi ke Eropa Barat.
Sebelumnya, pada upcara Kamis Putih tahun ini, ia membasuh dan mencium kaki pengungsi dari agama lain. Dalam sejumlah khotbah, Paus asal Argentina itu juga menyeruhkan agar dunia membuka pintu bagi para pengungsi.
Langkah itu, secara simbolis menegaskan posisi Gereja di hadapan persoalan ini.
Di Indonesia saat ini ada sekitar 13.700 pengungsi yang tersebar di berbagai tempat.
Mereka umumnya datang dari Afganistan, Myanmar, Somalia, Palestina, Pakistan, Iran, Sri Lanka, Iraq, Palestina, dan sedikit dari Suriah.
Komposisi terbesar adalah dari Afganistan, mencapai 7.000 orang, umumnya anggota suku Hazara, yang memilih pergi karena rasnya dibunuh dan dikejar-kejar.
Indonesia, karena belum meratifikasi Konvensi PBB tahun 1951 dan protokol 1967 tentang Status Pengungsi, tidak terikat kewajiban melindungi pengungsi.
Di tengah persoalan itu, Gereja Katolik melalui berbagai individu, juga lembaga memberi perhatian, salah satunya adalah Jesuit Refugee Service (JRS).
Dionisius Waskita Cahya Gumilang, staf bidang informasi dan advokasi JRS mengatakan dalam diskusi bertajuk “Gereja dan Pengungsi” di Kantor Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Fransiskan, di Jakarta Sabtu akhir pekan lalu, kondisi para pengungsi di rumah detensi sangat memprihatinkan.
Mereka, kata dia, kehilangan kebebasan, diperlakukan layaknya para kriminal. Hidup mereka pun serba kekurangan, sementara akses terhadap pelayanan kesehatan sangat sulit. Ketika sakit parah, mereka tidak tahu harus kemana.
Berdiri pada 14 November 1980, JRS menjadi respon atas munculnya manusia perahu (boat people) dari Vietnam di Pulau Galang, Propinsi Kepulauan Riau kala itu.
JRS ingin hadir sebagai teman bagi mereka. “Karena dalam perjalanan, mereka tidak tahu kepada siapa mereka menyampaikan isi hati mereka.”
Kini, menurut Dion yang sudah dua tahun bergabung dengan JRS, mereka mengupayakan kerja sama dengan pihak kepolisian dan imigrasi terutama agar para pengungsi mendapat akses kesehatan yang lebih baik.
Setidaknya keadaan itu dialami saat ini oleh para para pengungsi di penampungan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, yang dilayani JRS Bogor, termasuk Dion.
“Ketika sakit, mereka mendapat pelayanan medis di rumah sakit terdekat,” katanya.
Menurutnya, sekitar 5.600 pengungsi dan pencari suaka tinggal saat ini ada di Jakarta dan sekitaranya. Di wilayah Bogor, Cipayung, dan Cisarua, Jawa Barat terdapat sekitar 3.000 orang.
Sejumlah kegitan lain dilakukan JRS untuk hadir sebagai teman bagi para pengungsi. “Kami mengadakan pelajaran Bahasa Inggris, juga keterampilan menjahit,” katanya.
Di saat tertentu, jelas dia, JRS mengadakan kegiatan rekreasi, mengadakan lomba catur, main futsal dan sebagainya.
Ini, kata dia, bagian dari upaya mengurangi stres. “Sebab tinggal di rumah detensi dalam waktu lama, tanpa kepastian akan diberangkatkan ke negara ketiga, adalah saat yang sangat menjenuhkan.”
Berbagai upaya itu, kata dia, merupakan aktualisasi dari pernyataan Paus Fransiskus bahwa hospitalitas saja tidak cukup.
“Tidaklah cukup memberi roti jika tidak disertai upaya untuk membangun kemandirian. Kemurahan hati yang tidak mengubah situasi orang miskin tidaklah cukup,” katanya.
Belas kasih yang sejati, yang diberikan Allah dan diajarkan-Nya kepada kita, jelas dia, memanggil kita untuk memperjuangkan keadilan sehingga orang miskin menemukan jalan keluar dari kemiskinan.
JRS juga juga memiliki layanan hukum untuk membantu para pengungsi menyiapkan dokumen yang perlu untuk proses wawancara, dalam rangka penetapan status oleh pemerintah, entah sebagai pencari suaka atau pengungsi.
Terkait proses itu, kata dia, ketika tiba di Jakarta, para pengungsi melapor diri untuk registrasi di Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa bidang pengungsi atau the United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
“Setelah registrasi, pengungsi akan mendapat sertifikat, satu-satunya dokumen yang bisa melindungi mereka,” kayanya.
“Ketika ditangkap polisi, dokumen itu bisa menyelamatkan mereka. Prinsipnya, polisi bisa melindungi orang di bawah perlindungan UNHCR,” jelas Dion.
Setelah diregistrasi, mereka menunggu panggilan untuk wawancara dengan rentang waktu 18-24 bulan. Ada mekanisme yang ketat untuk memastikan apakah seseorang benar-benar pengungsi atau tidak, bisa lima atau enam tahun, baru mendapat suaka dan setelahnya dikirim ke negara ketiga.
Hal ini sangat tergantung pada duta-duta besar yang memperlancar proses ke negara tujuan.
Rentang waktu yang sangat lama ini juga disebabkan oleh sedikitnya jumlah petugas di UNHCR, sekitar 50 orang, sementara pencari suaka yang harus dilayani ribuan.
Terkait pelayanan mereka, ia mengatakan, itu adalah ikhtiar “mengaktifkan peran Gereja.”
Di setiap tempat yang dilayakan, kata dia, “JRS selalu melapor dan berkoordinasi dengan keuskupan setempat.”
“Sejauh ini juga ada kelompok-kelompk umat Katolik, antara lain di Surabaya, yang bekerja sama dengan kami dalam melayani para pengungsi,” katanya.
Johnny Dohut/Katoliknews
Komentar