Saya mengenal Romo Sastra [ Romo Prof. Dr. Michael Sastrapratedja SJ] dalam dua fase besar hidup saya, pertama saat beliau menjadi dosen saya, dan kedua saat beliau menjadi kolega senior saya di STF Driyarkara (STFD).
Saat menjadi dosen kami (1980-an), beliau terkesan angker, tidak suka omong, bahkan jika diberi salam pun tampak cuek. Semula saya menduga, ini berhubungan dengan semacam kompleks rendah-dirinya di STFD lantaran tubuhnya yang kecil di kisaran 160 cm, mirip filsuf Immanuel Kant.
Maklum, STFD pada 1980-an penuh dengan dosen-dosen (Patres) asal Eropa, misalnya Pater Verhaak, Pater Bertens, Pater Dister, Pater von Magnis, Pater Olsthoorn, dan Pater Verhaar. Semua ini bertubuh rata-rata 175-an cm. Tetapi dugaan ini segera sirna. Sebab jika kita datang dan berbicara secara pribadi dengannya, Romo Sastra tampak sebagai pribadi yang hangat, humoris dan suka membantu, khususnya dalam bimbingan studi.
Mengobarkan Minat Baca
Bagi kami, Romo Sastra merupakan dosen yang mengobarkan minat baca. Salah satu kekhasannya adalah, waktu kuliah beliau sering membawa dan memperkenalkan buku-buku baru serta memberikan ulasan tentangnya. Pada zaman di mana buku-buku filsafat dan ilmu sosial sulit diperoleh, juga mahal, kuliahnya jadi menarik dan aktual.
Saat kuliah dengannya selalu merupakan luxus intelektual, sebab kita diajak bertualang di dalam pemikiran dari filsuf yang sedang dibahas. Dari sini muncul kuriositas untuk mendalami lebih lanjut pemikiran mereka dengan keinginan membaca langsung karya mereka. Kami lalu ke perpustakaan sekolah, mencari buku itu, dan jika ada lalu meminjamnya untuk dikopi di daerah Rawamangun atau Jl. Percetakan negara, agar menjadi milik pribadi yang siap digarap dengan coretan atau catatan sana-sini pada hasil kopian itu.
Senior yang Bersahabat
Saat menjadi kolega di STFD (sekarang), Romo Sastra adalah senior yang hangat bersahabat dan mudah diajak bekerja sama. Kegiatannya sebagai dosen ia penuhi dan laksanakan dengan baik.
Sesudah tidak terbebani dengan aneka tugas struktural, pada fase ini ia tampak sungguh bisa menikmati hidupnya, baik sebagai pengajar maupun sebagai pribadi. Ia lebih kalem, mudah gembira dengan hal kecil, namun tetap berpikir tajam, dan memiliki Teamgeist (semangat team) yang solid.
Untuk lembaga pendidikan kecil, namun dituntut tetap bermutu tinggi, seperti STFD, persis keutamaan seperti inilah yang kami perlukan. Pada usia senjanya ini juga Romo Sastra kami kenal suka makan makanan enak. Seleranya tinggi. Ia tahu di mana tempat makan yang baik di daerah Menteng dan Kuningan, misalnya. Terkadang Pater Hari Kustanto, juga dosen STFD sudah meninggal, menemani beliau ke sana. Dalam hal cita rasa kuliner keduanya memang bersahabat akrab bak tumbu oleh tutup.
Warisan Pemikiran
Namun, warisan Romo Sastra yang menurut saya paling penting adalah pemikirannya tentang keindonesiaan.
Tahun 1970-an, dalam suatu masa di mana “gaya pikir” rezim Orde Baru perlu ditantang dan dicarikan alternatifnya (ad extra), serta gerakan indonesianisasi Gereja Katolik pasca-Konsili Vatikan II perlu didukung (ad intra), Romo Sastra memberikan kontribusinya yang khas.
Ia menggali pemikiran para tokoh bangsa di masa lalu (misalnya, Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Ki Hadjar Dewantara) dan mencoba menarik relevansinya kini dalam aneka bidang seperti budaya, agama, pendidikan dan ideologi Pancasila.
Untuk tema keindonesiaan itu tentu pikiran Rm. Drijarkara lewat buku Pertjikan Filsafat jadi referensi filosofis paling dasar, sebanding dengan buku babon Manuale philosophiae ad usum seminariorum-miliknya saat studi dahulu.
Sebagian dari refleksi pemikirannya itu sudah diterbitkan. Latar belakang kompetensi Romo Sastra dalam bidang filsafat membuatnya sanggup mendiskusikan tema-tema ini pada tingkat diskursus intelektual dan aktualitas yang lebih tinggi.
Dia Telah Pergi
Sekarang sang Tokoh ini sudah pergi. Dan, kita semua kehilangan dia.
Romo Sastra, terima kasih atas semua pengabdian Romo, khususnya untuk STFD.
Selamat jalan menuju Tuhan, tempat semua hati yang resah menemukan istirahatnya.)***
Romo SP Lili Tjahjadi, Rektor STF Driyarkara.
Komentar